Pengurus Harian Komunitas (PHKom)

PEREMPUAN AMAN (PA) Natarmage

Wilayah Pengorganisasian PHKom Natarmage berada di Desa Natarmage, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.  Seluruh anggota PHKom Natarmage berasal dari suku Soge dan persebaran anggota PHKom Natarmage tersebar di lima desa di Kecamatan Waiblama, Desa Natarmage, Tuabao, Nebe, Roihut dan Desa Talibura. Sejak Februari 2021, sejumlah 33 Perempuan Adat dari Komunitas Adat Natarmage mengadakan pertemuan kampung dalam rangka mendirikan PHKom Natarmage. Pertemuan bersejarah itu berlangsung di Balai Desa Natarmage. Selain bersepakat mendirikan PHKom Natarmage, dalam pertemuan tersebut sekaligus membentuk kepengurusan PHKom Natarmage dengan cara musyawarah. Hasil musyawarah memberi mandat kepengurusan PHKom Natarmage kepada: Ketua: Donata Dua, Sekretaris: Laurensia Dalima, Bendahara: Elisabet N Mance. Kemudian PHKom Natarmage disahkan pada 23 Juli 2021.

 

PHKom Natarmage bagi Perempuan Adat merupakan sebuah sarana perjuangan dalam mempertahankan ruang hidup dan merebut kembali tanah ulayat Patiahu Nanghale. Karena itu, PHKom Natarmage mulai terlibat dalam berbagai aksi, aliansi, dan advokasi kebijakan. Saat ini, jumlah anggota PHKom Natarmage masih sejumlah 33 Perempuan Adat yang terbagi menjadi tiga kategori usia, pemuda sebanyak 42,42%, dewasa 36,36% dan lansia 21,21%.

 

Sementara itu, pekerjaan anggota PHKom Natarmage selain ibu rumah tangga, juga bekerja sebagai petani. Sedangkan kecakapan anggota PHKom Natarmaege adalah bertani, yaitu sebanyak 100,00% dari jumlah anggota dan kecakapan terbanyak kedua ialah mengolah hasil pertanian atau laut, yakni sebanyak 60,61% dari jumlah anggota dan Dukun Beranak 3,03%. Sedangkan kecakapan lainnya adalah kecakapan atau pengetahuan tentang benih, tanggung jawab ritual , kader penggerak PKK (Program kesejahteraan Keluarga), dan penggerak Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) masing-masing sebanyak 6,09% dari jumlah anggota. 

 

    • Keberadaan Kelompok Perempuan dan Pengalaman Anggota PHKom Natarmage

 

Kemudian kelompok-kelompok Perempuan yang ada di Komunitas Adat Natarmage antara lain: sebanyak 69,70% dari jumlah anggota menyebutkan arisan tenaga, sedangkan PKK 66,67%, arisan 63,64%, organisasi 9,09% dan Pengurus Adat  6,06%. Selain itu, kelompok atau tokoh yang memiliki pengaruh di Komunitas Adat Natarmage sebagai berikut: semua anggota PHKom Komunitas Adat Natarmage menilai Pemangku Adat memiliki pengaruh 100,00%, begitu juga dengan LSM 100,00% (lembaga Swadaya Masyarakat). Kemudian tokoh agama 90,91%, tokoh masyarakat 40,48%, dan 27,27% anggota PHKom Natarmage menilai pejabat/pemerintah setempat.

 

Selain itu, pengalaman yang dimiliki oleh anggota PHKom Natarmage paling banyak dan hampir semua anggota ialah pengalaman mengikuti aksi demonstrasi sebanyak 96,97%, kemudian pernah menjadi bagian dari kelembagaan Adat sebanyak 12,12%, penanggung jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di Komunitas Adat Natarmage 9,09% dan pengalaman mengikuti pelatihan sebanyak 6,06% dari jumlah anggota. 

 

    • Komunitas Adat Natarmage

 

Jauh sebelum datangnya pemerintah, wilayah kelola Komunitas Adat Natarmage, di zaman dahulu tidak ada penghuni sama sekali, hanya hutan belantara. Namun, pada suatu hari di zaman itu, datang sekelompok penjelajah yang berburu binatang hutan dan tumbuhan, para penjelajah ini berasal dari “Siam Sina Malaka” (sebutan pendatang) yang menempuh Selat Malaka menggunakan perahu dalam rangka pencarian tempat untuk menetap. Kelompok tersebut di pimpin oleh seorang yang bernama Sugi Sao. Ketika Sugi Sao sedang beristirahat di bawah pohon asam setelah berburu, terdengar suara burung yang berbunyi “oakauk nararmage”, semenjak itu muncul sebutan “Natarmage” atas tempat tersebut berdasarkan suara burung. Kemudian kelompok Sugi Sao pada akhirnya memutuskan menetap dan kemudian menyebut diri sebagai Suku “Soge”. 

 

    • Ritual Adat Suku Soge

 

Suku Soge memiliki keyakinan terhadap konsep “Tuhan, Bumi, dan Langit” dalam bahasa suku Soge “Ina Nian Tana Wawa Aman Lero Wulan Reta”. Keyakinan konsep itu disatukan oleh sang maha kuasa, yaitu Amapu (Tuhan) atau dalam bahasa kami: “Amapu Tana Wulan” artinya “tuhan penguasa tanah dan langit”. Karena itu, sebelum beraktivitas ada kebiasaan yang wajib dilaksanakan berupa ritual-ritual pemujaan terhadap leluhur dan alam semesta, bahkan semua pekerjaan kami selalu diawali dengan ritual, sebelum berkebun, berladang, berburu atau membangun rumah dan seterusnya. Berbagai benda-benda atau perlengkapan ritual memiliki tempat penyimpanan yang khusus yakni   disebut Sope

 

Keluarga besar Suku Soge dan sub sukunya disebut Suku Pulu Wot Lima Aken Rua Plewong Telu, rumpun kesukuan ini selalu bersama-sama dalam pelaksanaan ritual. Ritual dilaksanakan secara komunal. Umumnya ritual dipimpin oleh Pemangku Adat tertinggi di Kampung yang disebut “Tana Puan”. Terdapat beberapa ritual yang sering kami lakukan, seperti ritual tahunan atau ritual pada momen tertentu. Ritual yang biasa dilaksanakan setahun sekali yakni ritual Balatan Tanah dan Gren Nuba. Ritual Balatan Tanah bertujuan mengistirahatkan tanah yang sudah digunakan menanam, sementara ritual Gren Nuba bertujuan untuk permohonan agar diberikan kesehatan, berkah, kekuatan, dan keselamatan. Ritual tersebut kami laksanakan di Nuba Nanga atau muara sungai. 

 

Selain itu, tempat yang menjadi situs ritual yakni disebut Ai Pua (pohon keramat di tengah kebun), ritual yang dilakukan di Ai Pua semacam permohonan agar diberikan keberhasilan dalam berkebun. Termasuk ritual Mahe yang merupakan tempat keramat di tengah hutan lindung. Sementara, ritual Lepe Likong yaitu ritual yang bertujuan memberikan perlindungan terhadap seluruh wilayah Adat, beserta penghuninya, dari berbagai bentuk yang membahayakan keselamatan dan keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Misalnya beberapa tahun belakangan ini, dilaksanakan ritual Lepe Likong untuk memohon perlindungan dari virus Covid 19. Suku Soge meyakini bahwa wilayah Adat telah di bentengi oleh kekuatan ritual, sehingga virus tidak akan masuk ke wilayah Adat.  

 

Suku Soge diberikan amanat oleh leluhur agar taat pada ritual Adat Lepe Likong. Bahkan, saking hormatnya terhadap ritual Lepe Likong, saat Tetua Adat melakukan ritus selama empat hari, semua orang yang ada di dalam wilayah Adat, tidak boleh bepergian sampai atau keluar dari wilayah Adat. Apabila ada yang melanggar, maka akan mendapat teguran keras dan bisa mendapat sanksi. Sehingga, saat ritual Adat itu dilaksanakan, Masyarakat Adat berdiam diri di lingkungan masing-masing sampai batas waktu yang ditentukan. 

 

Dalam ritual Lepe Linkong ada do’a (dalam bahasa Suku Soge) yang di lantunan dalam bentuk syair,  syair tersebut memiliki arti: “Mohon kepada orang tua dan leluhur, agar menjauhkan angin wabah penyakit, terbawa seiring terbenamnya matahari, lindungi tanah kami, lindungi nyawa kami, semoga sehat dan umur panjang.” 

 

    • Wilayah Kelola Komunitas Adat Natarmage

 

Komunitas Adat Natarmage memiliki prinsip tidak akan meninggalkan tanah Adat/wilayah kelola, meskipun hanya sejengkal, sebab tanah adalah pemberian leluhur, prinsip itu disebut “Tanah Amin Moret Amin”. 

“Tanah amin moret Amin.” Itu ungkapan yang bermakna bahwa tanah kami adalah hidup kami serta menggambarkan prinsip Komunitas Masyarakat Adat Natarmage.

Komunitas Adat Natarmage memiliki Wilayah Adat cukup luas, terbentang dari bibir pantai Nangahale hingga ke daerah pegunungan. Kemudian dari utara perairan Laut Flores di Kecamatan Talibura hingga masuk ke pedalaman yang mempunyai area gunung bukit serta landai menembus ke selatan dari sebagian wilayah di Kecamatan Waiblama. Karena itu, Komunitas Adat Natarmage hidup menyebar dari pegunungan sampai ke pesisir/pantai. Bagi Komunitas Adat yang hidup di pesisir pantai, cara mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari terpenuhi dengan cara menjadi nelayan. Mencari ikan dilakukan pada saat air laut pasang maupun surut yang dilakukan secara beramai-ramai. Selain itu, Ada juga yang mencari ikan dengan cara memanah dan memancing menggunakan perahu kecil. Ikan yang didapatkan sering kali di konsumsi keluarga atau sebagian ikan dijual.

Sedangkan di kebun, tanaman utama yang di tanam adalah padi, namun di samping padi terdapat juga berbagai jenis umbi-umbian dan sayuran. Sementara itu, tanaman yang diandalkan untuk mendapatkan uang tunai adalah jambu mete. Pengerjaan kebun dilakukan secara bergiliran, hal itu merupakan kebiasaan leluhur sejak zaman dahulu, kerja berkelompok ini dilakukan secara bergiliran tanpa perlu membayar tenaga dengan uang atau upah kerja. Dari cara kerja tersebuti setiap orang saling membantu dan meringankan beban pekerjaan di kebunnya masing-masing. 

Misalnya Pada musim kemarau, di sela-sela kesibukan harian, kami membersihkan kebun jambu mete secara berkelompok. Sedangkan pada musim hujan, terutama di penghujung tahun kami mengolah lahan untuk ditanami padi dan jagung, termasuk umbi-umbian di sela-sela tanaman utama. Sementara di pekarangan rumah, hampir di setiap keluarga memiliki tanaman kelapa dan tanaman sayuran. Kelapa menjadi salah satu bahan aku yang digunakan Perempuan Adat Natarmage membuat kue dan dari bahan pangan lokal lainnya. Selain itu, Perempuan Adat Natarmage juga mengakses program gerakan kedaulatan pangan dan ekonomi Masyarakat Adat berupa bantuan ternak kambing 11 ekor yang di inisiasi dari PB AMAN.

    • Masalah-masalah yang dihadapi PHKom Natarmage
    • Panjang Umur Hak Guna Usaha (HGU) di Tanah Adat

Sejak tahun 1812, Belanda mendatangkan perusahaan yang bernama Soenda Company yang kala itu mengembangkan tanaman kapas di Desa Natarmage. Perusahaan tersebut merampas wilayah kelola Komunitas Adat Natarmage atau Suku Soge, termasuk Suku Goban yang berada di pantai Pedan, di wilayah yang disebut Patiahu Nanghale. Kedua suku tersebut memiliki hubungan sosial yang erat dan telah lama hidup berdampingan. 

Setelah dari perusahaan Soenda Company, lahan HGU itu berpindah tangan ke misionaris barat tahun 1965-1969, berbarengan dengan maraknya gerakan Tanam Salib, yang melarang praktik-praktik ritual adat bahkan hingga memberantas situs-situs tempat ritual dilaksanakan. Mulai dari  ritual Ai Pua, Sope, dan Mahe. Situs-situs tersebut diganti dengan simbol salib. Pada 1969 Masyarakat Adat dipaksa oleh seorang pastor keturunan eropa untuk membongkar dan menguburkan Mahe (tempat kami melakukan ritual milik saudara kami dari Suku Goban). Awalnya Masyarakat Adat menolak melakukannya, akan tetapi kemudian Masyarakat Adat mendapat tuduhan sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI) jika bersikeras menghalang-halangi penghancuran situs-situs tersebut. 

Selanjutnya pengelolaan HGU beralih dari PT. Diag Vikaris Apostolik Keuskupan Agung Ende kepada PT. Krisrama Keuskupan Maumere. Peralihan pengelolaan HGU itu berdasarkan dokumen keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 4/ HGU/89 tanggal 5 Januari 1989 tentang pemberian HGU kepada perkebunan kelapa PT. Diag dalam rentang waktu 25 tahun, dari tahun 1989 sampai Desember 2013. Akan tetapi, HGU terus berlanjut. Padahal mestinya berakhir pada tahun 2013. 

    • Pendudukan Kembali Tanah Adat

Sejak kedatangan perkebunan Belanda, perlawanan sudah mulai dilakukan oleh Nenek Moyang.  Sengketa demi sengketa atas tanah eks HGU terus berlangsung dari masa ke masa, bahkan hingga hari ini. Tidak hanya itu, perlawanan yang muncul juga disebabkan penghancuran situs-situs ritual Adat yang dilakukan oleh berbagai perusahaan yang datang. 

Komunitas Adat Natarmage dan Komunitas Adat Runut sepakat bahwa tanah eks HGU di Nangahale Patiahu tanah leluhur kedua komunitas tersebut. Karena eks HGU berada wilayah adat kedua Komunitas Adat tersebut, maka komunitas Adat sepakat mengklaim kembali tanah Adat.  Bahkan aksi pendudukan berlanjut hingga tahun 2013, yang mana HGU mestinya berakhir, namun secara diam-diam terus berlanjut tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat. 

Sengketa lahan antara perusahaan PT. Krisrama Keuskupan Maumere dengan Masyarakat Adat   sempat di mediasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Sikka pada 2005. Akan tetapi kesepakatan  hasil mediasi kemudian diabaikan oleh pemerintah daerah (Pemda) sendiri. Begitu juga pada tahun 2013, ketika kontrak HGU sudah berakhir, Pemda juga mengabaikan tuntutan atas kepastian masa akhir HGU. Oleh sebab itu, pada tahun 2014 Masyarakat Adat serentak menduduki lahan eks HGU di Nangahale Patiahu hingga saat ini. Aksi pendudukan tersebut dilakukan oleh 700 kepala keluarga secara serentak turun menduduki lokasi tanah eks hak guna usaha (HGU). 

    • Ancaman Terhadap Tempat Ritual Adat 

Saat ini, pembangunan di wilayah pesisir sudah mulai dicanangkan, mulai dari berdirinya perusahaan bernama mutiara, yang baru mulai di bangun. kemudian pemerintah daerah juga telah merencanakan wilayah pesisir atau di plot sebagai kawasan wisata dan pabrik pengalengan ikan. Tidak ada yang salah dengan itu, namun di satu sisi  keluarga besar Suku Soge atau Suku Pulu Wot Lima Aken Rua Plewong Telu terancam terusir dari wilayah Adat. Suku Soge tinggal dan telah lama menghidupi wilayah tersebut terancam kehilangan ruang hidup, situs dan ritual Adat. Beberapa Ritual Adat yang telah hilang, yaitu Ritual Balatan Tanah (pendingin tanah) dan Gren Nuba (meminta berkah, kekuatan, kesehatan, dan keberhasilan lain dalam hidup). Tempat atau lokasi Ritual Gren Nuba di laksanakan di daerah muara sungai atau Nuba Nanga. Sementara itu, beberapa situs Nuba Nanga kini telah di rusak oleh perusahaan, termasuk pohon yang sering di gunakan untuk ritual di  area pesisir yaitu pohon Nangahale juga ikut di tebang perusahaan.

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top