Pengurus Harian Komunitas(PHKom)
Wilayah Pengorganisasian PHKom Kompetar berada di Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah Pengorganisasian PHKom Kompetar (Komunitas Pejuang Tanah Adat Rendu) dilahirkan oleh 34 Perempuan Adat pada tanggal 31 Juli 2018 sebagai sarana perjuangan mempertahankan wilayah Adat. Komunitas Adat Rendu tinggal di Desa Rendu Butowe, di sebelah utara berbatasan dengan Desa Labolewa yang dibatasi dengan sungai. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Raji. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Randuwaso. Sementara di sebelah timur berbatasan dengan Desa Ulupulu. Jumlah penduduk desa Rendu Butowe sebanyak 1147 jiwa dengan jumlah 247 kepala keluarga. Desa Rendu Butowe memiliki 2 sekolah dasar, 1 SMP, 1 Puskesmas dan 2 kapela.
- Kepengurusan PHKom Konmpetar
Setelah resmi disahkan, kepengurusan organisasi pertama yang terpilih berdasarkan hasil musyawarah Temu Daerah sebagai berikut, Ketua: Rosina Wonga, Sekertaris: Hermina Mawa, dan Bendahara: Angelina Mesiana Mau. Rencana kerja yang disepakati PHKom Kompetar ialah mewujudkan Perempuan Adat yang memiliki peran mempertahankan tanah Adat beserta Adat istiadat yang menghidupinya serta menciptakan kedaulatan ekonomi rumah tangga dan komunitas.
Masa kepengurusan PHKom Kompetar ditetapkan dalam satu periode, selama 5 tahun. Dalam satu periode sekali dilaksanakan Temu Daerah untuk menentukan pengurus dan rencana kerja. Akan tetapi, pergantian bisa dilakukan kapan saja, sifatnya situasional/kondisional, kapan pun pengurus berhak mengajukan berhenti dari tanggung jawab kepengurusannya, hal itu berdasarkan kesanggupan masing-masing pengurus. Seperti halnya yang terjadi pada di PHKom Kompetar pada periode kedua, kepengurusan belum menginjak belum 5 tahun, di tahun keempat PHKom Kompetar sudah melakukan Temu Daerah. Temu Daerah tersebut dilaksanakan 24 April 2022 di Kampung Rendu. Hasil musyawarah tersebut memberikan mandat kepada: Ketua: Hermina Mawa, Sekertaris: Beatriks Nazu dan Bendahara: Anggela Mesina Mau, dengan periode 2022 sampai 2027. Kemudian tahun 2023, pengurusan kembali di ganti, terutama ketua digantikan oleh Rosina Wonga, karena Hermina Mawa menjadi Dewan Nasional (Denas), sementara Sekretaris dan Bendahara masih orang yang sama.
PHKom Kompetar adalah salah satu Wilayah Pengorganisasian yang masuk pada Region Bali Nusra. Saat ini, anggota yang bergabung bersama PHKom Kompetar berjumlah 52 Perempuan Adat yang berasal dari 4 suku besar antara lain: suku Isa, Giku, Rendu dan Gaja. Masing-masing suku memiliki suku turunan atau sub suku. Sebagian besar anggota berasal dari suku Rendu, sedangkan Komunitas Adat yang bergabung dengan PHKom Kompetar berasal dari 2 komunitas, yaitu komunitas Rendu dan Gaja.
Anggota PHKom Kompetar terbagi menjadi tiga kategori usia antara lain: dewasa sebanyak 70% dari jumlah anggota, sedangkan pemuda sebanyak 16% dan lansia 14% dari jumlah anggota. Berdasarkan data yang terhimpun, pekerjaan anggota PHKom Kompetar sebagian besar adalah petani, dengan persentase 82% dari jumlah anggota, kemudian Ibu rumah tangga sebanyak 9%, guru honorer 3% dan wiraswasta hanya 1%.
- Pengalaman Anggota PHKom Kompetar
Anggota PHKom Kompetar memiliki pengalaman yang cukup beragam dan tidak sedikit anggota yang memiliki pengalaman lebih dari satu pengalaman. Sebagian besar anggota memiliki pengalaman mengikuti aksi unjuk rasa atau demonstrasi yakni sebanyak 57%, aksi demonstrasi tersebut sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap pembangunan waduk lambo yang menggusur wilayah Adat Komunitas Adat Rendu. Di samping itu, pengalaman anggota yang pernah mengikuti berbagai pelatihan sebanyak 17% dari jumlah anggota, pelatihan tersebut antara lain: pelatihan kader posyandu, mengolah hasil pertanian, pencelupan benang atau mewarnai benang, pembuatan pupuk bokasi sekaligus analisa hasil pertanian, tenun ikat, menu masak berkembang dan lain sebagainya.
Kemudian sebanyak 15% dari jumlah anggota memiliki pengalaman mengurus atau menjalankan organisasi. Pengalaman tersebut antara lain: pengurus atau ketua kelompok tani atau so’l Susa, kebun kolektif, pengurus kelompok tani tunas muda dan pengurus kelompok Santa Anna. Di samping itu, anggota yang pernah menjadi sekretaris kelompok tani sebanyak 4% dari jumlah anggota. Tidak ada anggota yang memiliki pengalaman pengurus atau ketua kelembagaan Adat, akan tetapi, sebesar 9% anggota mempunyai pengalaman menjadi penanggung jawab ritual, upacara perayaan di Komunitas Adat.
Sejak 2018, PHKom Kompetar melakukan berbagai kegiatan, di antaranya melakukan pertemuan rutin membahas kerja lanjutan, kegiatan bersih-bersih lingkungan RT (Rukun Tetangga) atau geladi bersih dan berkebun secara kelompok. Di samping itu PHKom Kompetar juga menyediakan layanan pinjaman uang, terutama untuk keperluan pendidikan dan kesehatan bagi anggota Komunitas, meski jumlahnya masih sangat terbatas.
- Keberadaan kelompok Perempuan dan Tokoh yang berpengaruh di PHKom Kompetar
Keberadaan kelompok-kelompok Perempuan yang ada di lingkungan komunitas atau Desa antara lain: PKK, arisan, arisan tenaga, organisasi keagamaan, pengurus adat dan tiga kelompok tani. Dari berbagai kelompok tersebut paling banyak ialah kelompok arisan sebanyak 86% dan arisan tenaga 75%. Sementara kelompok lainnya yaitu kelompok keagamaan sebanyak 19%, Program Keluarga Berencana (PKK) 11%, dan kelompok lainnya sebanyak 21%, kelompok lainnya terdiri dari kelompok tani berdikari, kelompok pembuatan sayur, dan tani tunas muda.
Sedangkan tokoh atau lembaga paling berpengaruh di lingkungan di Komunitas, Kampung atau Desa, masing-masing memiliki tingkat pengaruh yang berbeda-beda, berdasarkan penilaian seluruh anggota sebagai berikut: pejabat atau pemerintah setempat 67%, tokoh masyarakat 42%, Pemangku Adat di nilai memiliki pengaruh 28%, Tokoh Agama 30%, dan lainnya 2%. Pejabat pemerintah memiliki pengaruh yang paling banyak ketimbang Pemangku Adat di komunitas.
- Sejarah Suku Rendu
Konon diceritakan sekitar 400 tahun yang lalu, leluhur masyarakat adat Rendu datang dari sebuah pulau. Salah seorang pemimpin bernama Mosa Fo’a bersama 7 orang pemberani lainnya mengembara ke Uludhawe hingga bukit Warikeo dan menetap di tempat tersebut. Saat itu, terjadi peperangan suku antara Suku Wolawea dan Suku Lambo. Leluhur orang Rendu datang membantu Suku Wolawea dan memenangkan perang itu. Mereka kemudian mendapatkan hak penguasaan atas wilayah yang kemudian disebut dengan Redu, yang artinya bukit-lembah berbatu. Namun semenjak kedatangan pemerintah, karena penyebutan Redu dianggap sulit kemudian menjadi Rendu, yang tidak memiliki arti apa-apa.
Di dalam masyarakat adat Rendu terdapat tiga suku besar, yaitu Suku Redu, Suku Gaja, Suku Isa dan satu suku kecil yaitu Suku Malawawo. Di dalam setiap suku tersebut terdapat sub suku yang disebut dengan woe yang berarti ruh suku. Setiap suku pada dasarnya memiliki pengaturan sendiri soal ritual adat, aturan adat, tempat-tempat keramat, batas-batas penguasaan tanah dan wilayah adat yang bersifat otonom sebagai hasil dari perjanjian perdamaian atau kesepakatan adat di masa lalu. Setiap suku memiliki kampung adat dan simbol adat yang berbeda. Suku Redu pusat dari kampung adatnya terletak di Dusun Rendu Ola. Sedangkan Suku Gaja dan Isa pusat kampung Adat berada di Dusun Sawotiwa. Simbol adat dari Suku Redu berupa reo yang terbuat dari dari kayu yang bercabang. Sedangkan simbol Suku Gaja berupa batu nabe. Simbol Suku Isa memiliki peo yang terbuat dari dari batu.
Sebelum diberi nama Rendu Ola, Rendu Ola dahulu merupakan sebuah bukit kecil bernama “Wolo Witiu Ze’e” Wolo artinya bukit, Witu itu rumput, sedangkan Ze’e belum diketahui apa artinya hingga saat ini. Berdasarkan tuturan orang tua, suku Rendu berasal dari Sumba lambing, persatuan pake bamboo (Bheto) dalam bahasa Rendu. Ketiga suku tersebut biasanya melakukan Ritual Adat secara bergulir, ketika suku Rendu selesai melakukan Ritual Adat, kemudian berlanjut dilakukan suku Isa dan terakhir suku Gaja. perbatasan antara kampung atau suku hanya dibatasi dengan benteng batu yang tersusun rapi.
- Masyarakat Adat Rendu Kuat Memegang Adat
Terdapat beragam ritual Adat yang masih dijalankan oleh Masyarakat Adat Rendu hingga kini. Ritual Adat ini berkaitan dengan pengelolaan tanah dan ruang hidup lainnya yang dihubungkan dengan rasa syukur kepada Tuhan, penghormatan kepada leluhur, pemberantasan hama, kebersamaan dan kerja sama, serta mengingat sejarah masa lalu. Pada umumnya, ritual ini dilakukan dalam suatu gabungan yang unik antara tarian, nyanyian mantra dan doa. Setiap acara adat akan dimulai dari Suku Redu, baru diikuti Suku Isa dan kemudian Suku Gaja dan Suku Malawawo.
Ritual Adat Gua Ru, ritual dalam pertanian ini terdiri dari 7 rangkaian upacara sejak membuka lahan hingga pasca panen danke 17 rangkaian upacara tersebut dilaksanakan di waktu yang berbeda. Kemudian Ritual Adat Gua Wula Leja, ritual ini dimaksudkan untuk syukuran hasil panen dan membuka kegiatan upacara adat pada musim panas. (Tau Ae, Koa Ngi’i/Ki Dhiri). Ritual Gua Wula Leja terdiri dari 3 rangkaian upacara yang berbeda waktu. Dari kalender tahunan, ada satu bulan khusus yang dilarang untuk melakukan upacara adat maupun acara keluarga lainnya, yaitu pada bulan Agustus (bulan ke 8). Hanya upacara 17 Agustus yang bisa dirayakan. Menurut cerita leluhur, bulan Agustus adalah bulan pecah. Ada sebutan adat atau sumpah pada angka bulan itu yaitu “zua butu mata”. Zua artinya dua, butu artinya 8, mata artinya mati. Itulah mengapa pada bulan Agustus atau angka 8 tidak boleh dilaksanakan acara. Apabila ada yang melakukan acara pada bulan itu akan terjadi kejadian yang tidak baik.
Selain beberapa Ritual Adat yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan tanaman, masyarakat adat Rendu juga memiliki beberapa upacara inisiasi Adat, yang berkaitan dengan siklus hidup manusia. Salah satunya adalah tauae dan koangiki. Para Tetua Adat menjelaskan menjelaskan kalau acara adat itu khusus untuk anak-anak yang berumur dari 11 tahun sampai dengan 17 tahun. Upacara ini untuk menandakan bahwa seorang anak sudah menginjak dewasa. Ada dua acara yang khusus untuk anak perempuan yaitu tauae dan koangiki (potong gigi). Sedangkan untuk anak laki-laki bernama tauae. Acara itu bisa memakan waktu 3-5 hari. Sedangkan taunuwa khusus untuk bapak-bapak yang sudah berkeluarga. Upacara ini artinya sama dengan sunat. Semua bapak-bapak wajib melakukan itu. Jika tidak dilakukan acara itu, maka seorang laki-laki masih dikatakan anak-anak.
- Wilayah Kelola Komunitas Adat Rendu
Rendu merupakan memiliki wilayah Adat yang luas mencakup 7 wilayah administrasi desa yakni: Desa Rendu Butowe, Rendu Tengah Tiba, Rendu Wawo, Lange Dhawe dan Rendu Teno, desa Rengklu Tutu Bhada, Waja Mara, yang berada di kecamatan Aesesa selatan, kabupaten Nagekeo. Masyarakat Adat Rendu memiliki ritual Adat, rumah Adat, bukit-bukit, sejarah, pegunungan, dataran serta memiliki sungai-sungai kecil. Di wilayah adat Rendu terdapat berbagai jenis pohon besar antara lain: pohon Lele, Bheka, Wala, Nengi, Nara dan lain sebagainya.
Berbagai jenis kayu tersebut yang dimanfaatkan sebagai bahan material rumah. Namun ada satu jenis kayu yang tidak boleh digunakan untuk membuat rumah, terkecuali rumah adat, yaitu jenis katu Bone atau Ana Doe dalam bahasa Rendu. Sedangkan atap rumah terbuat dari alang-alang, terutama rumah adat diwajibkan menggunakan alang-alang, sedangkan dinding rumah menggunakan Pelupu atau Gede yang dibuat dari bambu. Akhir-akhir ini, jenis kayu yang digunakan membangun rumah yaitu Kayu Rebu sudah suit ditemuakan. Biasanya jika menebang pohon selalu disertai dengan ritual adat tertentu, dengan sesajen ayam, babi dan lainnya.
- Pemukiman dan Pekarangan
Pemukiman bagi Masyarakat Adat Rendu bukan hanya terdiri dari rumah tinggal saja, melainkan suatu hamparan luas yang terdiri dari halaman dan kebun belakang. Selain merupakan tempat tinggal, umumnya pemukiman Masyarakat Adat Rendu juga disertai adanya tempat pemakaman leluhur yang berada di sebelah rumah. Dalam beberapa hal, pemukiman juga merupakan tempat menjalankan ritual Adat seperti tau nuwa, tau ae, kose, sekaligus tempat untuk berkebun dan memelihara ternak, tempat menenun serta menjadi tempat ibadah bersama.
Kebun di sekitar rumah berada di pinggir jalan raya, terbentang hingga batas Sungai Wangga. Kebun didapatkan dari hasil pembagian tanah yang dilakukan pada tahun 1994 oleh panitia bentukan pemerintah desa dan tokoh-tokoh Adat. Pembagian tanah kavling direncanakan sejak tahun 1991, oleh kepala desa bersama tokoh masyarakat dan tokoh Adat bersepakat untuk mengukur kavling dari Watujere sampai Kagewae (kali kagewae) perbatasan Rendu dengan Lambo. Pengukuran ulang dan pembagian dilakukan oleh karena penduduk desa semakin banyak di Desa Rendu Butowe dan Desa Labolewa.
Setiap perumahan umumnya memiliki halaman yang luas, maka pemukiman biasanya juga digunakan para perempuan sebagai tempat untuk menenun dan menanam beberapa tanaman yang merupakan bahan bumbu dapur untuk memasak, seperti kunyit, halia, sere, daun kemangi, daun sop, bawang putih, bawang merah, daun salam,asam, lombok, kemiri, lengkuas; beberapa tanaman untuk obat-obatan seperti jahe merah, kencur merah, sereh merah, temulawak, daun beluntas, binahong, daun sirsak, mengkudu, labu cina merah. Selain itu, di beberapa rumah, para perempuan juga menanam daun pandan, daun lontar, daun gebang sebagai bahan untuk membuat anyaman.
- Kebun dan Lahan Pertanian
Kebun dan lahan pertanian milik masyarakat adat Rendu memiliki fungsi yang penting yaitu untuk pemenuhan kebutuhan pangan untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Kebun ditanami berbagai jenis tanaman lokal, padi lokal, jagung, ke’o (jali), rolo (jagung solor), lengah (wijen), jewawut, uwi, kacang-sayur-sayuran (labu besi, tomat, kacang tanah, kacang hijau, sawi, tomat, bayam, kangkung, dan lainnya) dan buah-buahan (pisang, alpukat, nanas, jeruk, jambu dan lainnya).
Selain itu, di lahan pertanian ini masyarakat adat Rendu juga biasa menanam berbagai tanaman komoditi yang khusus untuk dijual seperti jambu mete, kemiri, vanili dan kakao dan berbagai tanaman keras, utamanya untuk bahan bangunan seperti sengon, mahoni, jati, dan beragam jenis bambu. Setiap kebun pangan dikelilingi pagar untuk menjaga hewan-hewan peliharaan kami masuk ke kebun, hewan peliharaan tersebut antara lain: kerbau, sapi, kuda, kambing, babi, anjing, ayam dan bebek. Hampir setiap rumah memiliki hewan peliharaan yang dipelihara di dekat rumah atau berkeliaran dan berkelana di padang yang luas.
Di kebun dan lahan pertanian ini, perempuan banyak memegang peranan sekaligus pengetahuan yang penting tentang tata cara berkebun. Peran perempuan sangat besar dalam mengelola lahan. Untuk jenis padi dan jagung, menanam dan memanen bisa dilakukan oleh semua orang, baik laki laki maupun perempuan. Namun, ada jenis tanaman yang khusus dilakukan oleh perempuan saja dan caranya hanya perempuan saja yang tahu, yaitu pada tanaman ke’o (jali), rolo (jagung solor), dan lengah (wijen).
Di samping wilayah kelola sebagai sumber ekonomi, keterampilan memintal kapas menjadi benang merupakan salah satu keterampilan Perempuan Adat dan tambahan pemasukan ekonomi bagi Masyarakat Adat Rendu. Benang kapas digunakan sebagai bahan membuat kain tenun yang dikerjakan oleh Perempuan Adat, terutama pada musim hujan dan waktu senggang di masa menunggu panen. Kapas merupakan tanaman yang bisa tumbuh pada iklim tropis dan dapat mulai dipanen ketika menginjak umur 3 bulan semenjak ditanam. Masyarakat Adat Rendu menanam kapas di samping rumah dan kebun, tanaman kapas bahkan sudah Sejak zaman Nenek Moyang ditanam Masyarakat Adat Rendu. Tidak hanya itu, keterampilan lainnya adalah mengolah berbagai jenis obat herbal dari yang didapatkan di hutan, dilengkapi dengan keahlian dukun beranak dan ritual penyembuhan bagi orang sakit.
- Ladang Penggembalaan
Di Desa Rendu Butowe, selain kebun dan lahan pertanian, area yang paling terluas adalah ladang penggembalaan. Ratusan ternak terbiasa di lepas dalam ladang penggembalaan ini. Selain bermanfaat untuk menggembalakan binatang ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan kuda, ladang penggembalaan ini juga berfungsi penting bagi masyarakat adat, di antaranya sebagai tempat untuk menyediakan air minum ternak dan pakan ternak. Di tempat ini pula, biasanya Masyarakat Adat Rendu melatih hewan ternak agar jinak yaitu dengan memberi garam kepada hewan ternak.
Ladang penggembalaan memiliki fungsi lainnya yang sangat penting bagi masyarakat adat Rendu, yaitu sebagai tempat untuk berburu beragam jenis binatang seperti monyet, babi hutan, ayam hutan dan lainnya. Beberapa ladang penggembalaan juga digunakan sebagai tempat ritual berburu adat. Masyarakat adat Rendu juga menjadikan lahan penggembalaan sebagai tempat cadangan pangan jika musim kemarau tiba. Di saat gagal panen atau musim kemarau panjang terjadi, masyarakat adat Rendu biasa mengambil bahan makanan seperti umbi-umbian dan beragam jenis buah-buahan.
Para perempuan dalam masyarakat adat Rendu biasa memanfaatkan ladang penggembalaan sebagai tempat untuk mencari kayu bakar, mencari enau untuk bahan ijuk sapu, makanan babi dan atap rumah. Di tempat ini pula umumnya perempuan adat memanfaatkan beragam jenis obat-obatan (koro wolo, mesi keli, bunge, dan lainnya) dan bahan anyaman dan tenunan, utamanya dari bambu wulu yang biasa tumbuh di ladang penggembalaan.
- Hutan
Hutan adalah salah satu kekayaan ruang hidup Masyarakat Adat Rendu. Di tempat ini, biasanya Masyarakat Adat Rendu mengambil kayu untuk bahan-bahan bangunan (enau, rotan, dan lainnya) dan sebagai tempat melakukan beragam ritual adat seperti berburu Adat. Hutan Adat juga memegang peranan penting karena di wilayah ini Masyarakat Adat Rendu biasa mendapatkan bahan-bahan untuk Ritual Adat seperti daun dan kayu keta, yang berfungsi untuk ritual penyembuhan orang sakit dan upacara peletakan pondasi rumah. Termasuk umbi hutan sebagai makanan tambahan baik bagi kami maupun hewan peliharaan dan juga persembahan Ritual Adat.
Tidak hanya itu, hutan juga sebagai tempat mencari kunyit dan kemiri. Kemiri mesti dicari di hutan, sebab di Kampung atau di sekitar pemukiman tidak ada pohon kemiri, dilarang untuk menanam kemiri. Di Hutan Adat ini pula, Masyarakat Adat Rendu mendapatkan kayu rebu yang digunakan untuk Upacara Adat Peo. Di hutan, para perempuan khususnya biasa mendapatkan kayu bakar, pewarna tenun, umbi-umbian dan beragam jenis obat-obatan alami. Di beberapa hutan adat juga terdapat sumber mata air yang menopang kehidupan masyarakat adat sehari-hari.
Sebagian besar Masyarakat Adat Rendu tidak pernah mengalami krisis pangan, pernyataan itu diperkuat berdasarkan data SDGS (Sustainble Devolopment Goals) yang dikumpulkan oleh PEREMPUAN AMAN, sebesar 100% responden menyatakan persepsi bahwa Komunitas Adat Rendu tidak pernah mengalami krisis pangan. Sumber pangan didapatkan dari berbagai jenis wilayah kelola Masyarakat Adat Rendu.
- Mata Air dan Sungai
Cukup banyak mata air yang berada di Wilayah Adat Rendu. Sekitar 50 mata air tersebar di desa Rendu Butowe. Di setiap mata air biasanya terdapat 3-5 periuk air di sekitar mata air yang digunakan untuk menampung air. Fungsi mata air bagi masyarakat adat Rendu adalah untuk kebutuhan harian keluarga seperti air minum, masak, mandi, dan mencuci. Mata air dan periuknya juga sangat bermanfaat bagi para perempuan di Rendu untuk penyiraman tanaman di musim kemarau dan pengolahan pupuk pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan.
Selain itu, beberapa mata air juga digunakan untuk menjalankan ritual adat. Selain mata air, sungai juga merupakan ruang hidup yang penting. Sungai banyak berfungsi untuk keperluan mandi dan mencuci. Selain itu, sungai adalah tempat untuk memberi minum ternak dan mencari beragam jenis ikan, belut, udang, dan katak dan mengairi tanaman. Sungai juga sering menjadi tempat bagi masyarakat adat Rendu untuk mengambil bahan bangunan (pasir, batu dan kerikil). Sungai juga menjadi tempat untuk
melakukan beberapa ritual adat seperti tapa suza, teba, sele jebu.
- Aksi Penolakan Waduk Mbay/Lambo
Bagi Masyarakat Adat Rendu, penolakan atas pembangunan Waduk Lambo didasarkan pada argumen bahwa pembangunan tersebut akan menenggelamkan enam pemukiman warga. Beberapa dusun diperkirakan akan tenggelam di antaranya: Dusun Malapoma, Roga-roga, dan Jawatiwa di Desa Rendu Butowe; warga Dusun Kadhaebo, di Desa Ulupulu; serta warga dusun Boanai dan Boazea di desa Labolewa. Apalagi bagi Masyarakat Adat, pemukiman bukan hanya merupakan tempat tinggal, melainkan juga tempat pemakaman leluhur, tempat menjalankan ritual, tempat pakan ternak, tempat menenun dan juga tempat ibadah bersama.
Pemerintah Kabupaten Ngada mulai merencanakan pembangunan Waduk Mbay di Lowose, Desa Rendu Butowe. Pada tahun 2000, pemerintah Ngada mulai melakukan melakukan peninjauan lokasi Waduk Mbay (sekarang berubah nama menjadi Waduk Lambo) di Lowose, Desa Rendu Butowe. Hanya saja, peninjauan lokasi ini dilakukan tanpa melakukan pemberitahuan dan persetujuan dari pemerintahan desa dan Masyarakat Adat. Masyarakat Adat tidak dilibatkan dalam diskusi agenda pembangunan waduk lambo, tiba-tiba saja beredar rekaman vidio dengan narasi “kampung kami mengalami kekurangan air”, padahal tidak demikian, kampung Malapoma tidak pernah kekurangan air. Justru pembangunan waduk Lambo yang akan menenggelamkan Masyarakat Adat.
Dua tahun setelah itu, 2002, pemerintah daerah melakukan pematokan, pengeboran dan pengiriman tim AMDAL. Setelah itu, Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi tentang Pembangunan Waduk Mbay. Pada momen itu, masyarakat menolak sebab mereka kemudian mengetahui bahwa rencana itu akan menenggelamkan enam pemukiman milik warga, yaitu warga dusun Malapoma, Roga-roga, dan Jawatiwa di desa Rendu Butowe; warga dusun Kadhaebo, di desa Ulupulu; serta warga dusun Boanai dan Boazea di desa Labolewa. Untuk menguatkan penolakan ini, warga dari beberapa desa kemudian membuat Forum Perjuangan Penolakan Pembangunan Waduk Mbay.
Pada proses ini, kemudian Pemerintah Daerah mengajak warga yang tergabung dalam Forum Perjuangan Penolakan Pembangunan Waduk Mbay untuk melakukan studi banding ke Waduk Tilong, Kupang. Warga melakukan wawancara pada masyarakat terdampak dan justru melihat warga terdampak mengalami kerugian berupa hilangnya lahan pertanian, hutan Adat, dan padang ternak. Waduk Tilong hanya menjadi lokasi pariwisata yang menguntungkan para investor. Warga di sekitar Waduk Tilong tidak merasa mendapatkan manfaat dari pembangunan waduk tersebut. Selain itu, warga yang terdampak Waduk Tilong juga menjadi korban janji palsu pemerintah. Mereka dijanjikan ganti rugi kompensasi dari pembangunan waduk. Namun, hingga sekarang kompensasi itu tidak pernah diberikan.
Waduk yang konon katanya untuk air baku dan air minum ini, ternyata waduk sebagai tempat pariwisata, masuk ke waduk harus membeli karcis masuk seharga Rp. 500-1000. Setelah dari Waduk Tilong, kemudian warga diajak ke kantor Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mendengarkan hasil presentasi dari kajian amdal dan studi banding dari beberapa elemen yakni dari tim A, Universitas Nusa Cendana, dan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Mereka merasa tidak mendapatkan kejelasan tentang dampak-dampak negatif dari pembangunan waduk. Mereka hanya mendapatkan penjelasan dari sisi keuntungan pembangunan waduk.
Pembangunan waduk seluas 718 hektare sempat terhenti karena mendapatkan penolakan dari Masyarakat Adat Lowose, bukan karena anti terhadap pembangunan waduk, akan tetapi lokasi pembangunan waduk, yakni kampung atau pemukiman. Bahkan lokasi alternatif telah disodorkan oleh Masyarakat Adat Lowese yaitu di Lowopuhu dan Malawaka sebagai tempat pengganti pembangunan waduk. Akan tetapi pemerintah tetap bersikeras membangun di Lowese atau di wilayah Adat Rendu.
Rencana pembangunan Waduk Mbay terhenti sepanjang dua belas tahun, antara tahun 2003-2015. Baru setelah Jokowi menduduki kursi kepresidenan dan menekankan strategi pembangunan ekonominya pada percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, rencana untuk membangun kembali Waduk Mbay (yang kemudian berubah menjadi Waduk Lambo) kembali bergeliat. Masyarakat mulai mendengar kembali sosialisasi tentang rencana pembangunan Waduk Lambo pada Juni 2015. Saat itu, Forum Perjuangan Penolakan Pembangunan Waduk Mbay mulai kembali aktif bergerak dan berganti nama menjadi Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo yang beranggotakan masyarakat adat dari suku Rendu, Ndora dan Lambo.
Berbagai cara, bentuk dan ekspresi penolakan waduk Lambo di lakukan oleh Perempuan Adat dari tiga Komunitas Adat tersebut. Mulai dari pemasangan baliho (berisi seruan penolakan Waduk lambo) hingga aksi nyata dengan cara menanam pohon dan kapas di sekitar lokasi pembangunan waduk. Puncaknya, pada Juni 2016, ketika Tim Konsultan Survei yang disewa oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo berupaya memasuki lokasi pembangunan dengan dikawal oleh Satpol PP, Polisi, TNI bersenjata, para Perempuan Adat menghadang dan menutup jalan dengan cara bergandengan tangan. Satpol PP memaksa untuk membuka jalan, memukul tangan, mendorong para ibu-ibu hingga jatuh dan mengakibatkan dua orang perempuan pingsan. Setelah peristiwa ini perempuan dan anak-anak mengalami tekanan psikologi dan tidak dapat menjalankan aktivitas keseharian, seperti berkebun, beternak di padang rumput, memasak dan pergi ke sekolah. Masyarakat kemudian melakukan seremonial adat untuk mengutuk semua pihak yang menyerobot wilayah adat suku Rendu.
Kekerasan serupa kembali juga terjadi pada 8 November 2016. Saat itu, masyarakat melihat mobil truk menuju lokasi pembangunan waduk dengan dikawal oleh Satpol PP dan anggota Polres Ngada. Masyarakat kemudian menghadang truk dan mulai membawa tali dan bambu untuk memagari lokasi masuk pembangunan Waduk Lambo. Kapolres Ngada memerintahkan Satpol PP untuk membuka pagar dan terus mendapatkan perlawanan dari para perempuan adat Rendu. Karena terus terdesak oleh dorongan ibu-ibu melakukan aksi telanjang dada dan mengutuk dengan sumpah adat kepada Pemda Nagekeo, SATPOL PP dan Polres Ngada. Melihat aksi telanjang dada, Kapolres Ngada, Andi Suwandi, menghina aksi itu dengan mengatakan “saya sedang menonton video gratis, silahkan telanjang. Apa yang ada di kamu, sama dengan saya punya istri, hanya beda tipis”. Pada saat itu juga, salah satu anggota polisi mengancam akan mengebom kampung Malapoma yang tidak menerima pembangunan waduk.
Pemerintah melakukan berbagai cara menghadapi penolakan pembangunan waduk. Upaya yang dilakukan mulai dari bujukan secara langsung, ancaman, hingga tindakan intimidasi kerap kali terjadi, bahkan pemerintah melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga yang bersikukuh menolak pembangunan Waduk Lambo. Pada tahun 2016, polisi, Satpol PP dan aparat lainnya membangun posko penjagaan di halaman Desa Rendu Botawe yang berdekatan dengan pemukiman dan kebun Masyarakat Adat, hal itu membuat orang-orang ketakutan, terlebih karena memiliki trauma di masa lalu, terutama orang tua. Pada tahun 1994 suku raja pernah terjadi konflik soal tanah hingga jatuh korban. Kini, Polisi, tentara dan Satpol PP sering masuk keluar kampung dengan membawa senjata mengingatkan kejadian kelam di masa lalu, itu membuat semua orang takut pergi ke kebun, bahkan untuk sekedar keluar rumah.
Perlawanan Perempuan Adat terhadap pembangunan Waduk Lambo sudah lama dilakukan. Pada tahun 2015 pemerintah desa mengadakan sosialisasi pembangunan Waduk Lambo yang dihadiri berbagai pihak antara lain: Ketua BPD, Tokoh Adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda yang hadir tanpa undangan yang mewakili tiga wilayah Adat. Pemuda Adat tersebut beasal Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL).
Kemudian pada 19 April 2019, ruang sosialisasi kembali dibuka oleh pemerintah desa, sempat terjadi adu argumen yang panas antara Perempuan Adat dengan Satpol PP, namun argumen Perempuan Adat terlalu kuat untuk dibantah. Namun karena merasa kalah argumen dan tidak terima, akhirnya Satpol PP terpancing emosi yang berujung melakukan kekerasan fisik. Beberapa Perempuan Adat dicekik Satpol PP dan dipukuli. Di tengah-tengah pertikaian itu, seorang pria memukul Satpol PP menggunakan helm, hingga berlumuran darah, pria tersebut di penjara selama 9 bulan akibat pembelaannya. Tidak lama waktu berselang, aksi protes dilakukan oleh Perempuan Adat makin memuncak. Permpuan Adat telanjang dada di depan pintu masuk Waduk Lambo yang dijaga ketat oleh, tentara, polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan senjata lengkap.
Sedangkan perjuangan di ranah hukum, PHKom Kompetar menempuh jalur paralegal bersama dengan devisi Hukum dan HAM AMAN WP Nusa bunga dan PP MAN. Selain itu, PHKom Kompetar turut serta dalam forum penolakan waduk lambo dan menjadi bagian Musbes (Musyawarah bersar) dengan 3 wilayah Adat penolak Waduk Lambo. Tiga wilayah tersebut adalah Komunitas Rendu di desa Rendubotawe kecamatan Aesesa selatan, Lambo, di Desa Labolewe kecamatan Asesesa dan Ndora, di Desa Ulu pulu kecamatan Nanggaroro.
Selain itu, PHKom Kompetar bersama tiga komunitas Adat melakukan audiensi sekaligus aksi protes di kantor Nagekeo, kantor DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan kantor Pertanahan. Kemudian PHKom Kompetar bersama tiga komunitas Adat tersebut membangun kembali rumah jaga yang sempat di rusak oleh oknum atau pihak pro pembangunan waduk, lokasi rumah atau pos jaga tersebut berada pintu masuk menuju lokasi pembangunan Waduk Lambo. Di samping membangun rumah jaga, Masyarakat Adat yang tergabung tidak lupa melakukan Ritual Adat memberikan makanan atau sesajen kepada leluhur. Ritual tersebut dimaksudkan untuk memanggil leluhur dari tiga Wilayah Adat untuk tinggal dan menjaga lokasi yang akan di bangun waduk.
PHKom Kompetar juga terlibat dalam proses membuat peta partisipatif yang merupakan sebuah argumentasi mempertahankan dalam wilayah kelola masyarakat Adat. Persoalan waduk adalah persoalan kita bersama, karena dampaknya akan dirasakan seluruh masyarakat yang berada di Kabupaten Nagekoe, bukan hanya Masyarakat Adat di Mbay. Membuat peta tak lain ialah sebuah proses memastikan wilayah kelola masing-masing saling bertaut dan disepakati bersama. Pemetaan dilakukan pada tahun 2016 oleh PHKom PEREMPUAN AMAN Kompetar bersama Pengurus AMAN Wilayah Nusa Bunga, devisi UKP3 dan lainnya.
- Krisis
Sejak tahun 2016 sampai hari ini, kami terus berurusan dengan kepolisian, pengadilan, BPN, desa dan lain sebagainya. Situasi makin kacau dan nyaris tidak ada harapan mempertahankan wilayah Adat, bahkan untuk mendapatkan ganti rugi saja teramat sulit dan melelahkan. Akan tetapi kami tidak memilih untuk pasrah, diam dan menerima, kami tetap menyuarakan kebenaran.
Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, Konflik horizontal antar warga dan antar suku terus dipelihara terutama dengan cara menyebut bahwa pihak kontra pembangunan waduk menghalangi proses pembebasan lahan dan pembayaran kompensasi. Selain melanggengkan konflik horizontal, pemerintah juga melakukan kekerasan, teror, dan utamanya menangkap atau menahan para pimpinan Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo. Beberapa di antara Perempuan Adat mengalami peristiwa trauma yang mendalam akibat kejadian tersebut.
Saling melapor dan klaim antar suku tanah juga terus terjadi, apalagi sudah berlangsung penetapan lokasi (penlok) pertama dan masuk pada penlok kedua. Penetapan lokasi berarti penetapan luasan lahan yang akan mendapatkan uang kompensasi. Masing-masing individu, keluarga dan suku sibuk mendapatkan tanah seluas mungkin, baku pukul dan saling mengklaim tanah ulayat. Sementara itu, banyak juga orang yang tidak terakomodir.
Komunitas Adat Rendu sempat meminta bantuan untuk memediasi konflik dan mengakomodir proses ganti rugi dan relokasi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), termasuk kejelasan informasi yang sebenarnya tentang kompensasi. Namun BPN tidak membantu. Kami malah diarahkan mengadu dan bertanya ke Desa, sementara Desa juga terus menghindar saat ditanya, hingga akhirnya kami mendatangi satu demi satu pejabat/perangkat desa.
Pada penetapan lokasi yang pertama banyak aset yang tidak dicatat, kami merasa dirugikan. Kebun yang terdapat banyak tanaman hanya di cantumkan 3 rumpun tanaman serai. Sementara pohon dan beragam tanaman lainnya tidak di hitung, bahkan tidak sedikit rumah yang juga tidak dihitung. Pendataan tersebut dilakukan oleh BPN, Badan Wilayah Sungai (BWS) dan pihak lainnya, mereka di kawal kepolisian dan tentara. Pendataan yang mereka lakukan hanya mengira-ngira tanaman yang ada atas tanah ulayat dan cenderung mengurangi.
Setelah pendataan penetapan lokasi pertama, BWS NT2 Kupang dan Pemerintahan Desa setempat bekerja sama melakukan pembayaran uang kompensasi, dengan harga 30 ribu satu meter. Akan tetapi simpang siur harga lahan mulai terjadi, timbul saling curiga dan tidak percaya sehingga berpotensi memicu konflik. Harga lahan kisaran mulai dari 60 hingga 174 ribu satu meter.
Pembayaran uang kompensasi tahap pertama sudah di lakukan, dengan besaran ratusan juta hingga miliar rupiah. Pembayaran uang kompensasi dilakukan 2 sampai 3 kali, pembayaran pertama cenderung dengan jumlah yang besar, di Komunitas Rendu misalnya, pembayaran uang kompensasi yang pertama mencapai miliar rupiah. Sementara pembayaran kedua dan seterusnya semakin kecil. Sebagian besar yang sudah mendapatkan pembayaran uang kompensasi yakni penlok pertama, sementara penlok kedua kabarnya uang dari pusat belum cair, tetapi pembayaran kompensasi sudah berjalan. Di Komunitas Adat Rendu sudah banyak hewan yang sengsara, rumput-rumput sudah tidak ada, pembangunan waduk sudah masuk ke kampung. Tidak ada lagi harapan mendapatkan wilayah Adat yang sedang dibangun, perjuangannya ada pada bagaimana mendapatkan jaminan kehidupan yang lebih layak di tempat yang sudah ditetapkan akan menjadi lokasi relokasi.
- Penurunan Produktifitas dan Ketidakpastian Harga Jual Hasil Pertanian
Sejak tahun 2016, meski harga jual sedikit naik akan tetapi produktivitas atau hasil panen jambu mete menurun drastis. Harga jambu mete mengalami kenaikan harga dari delapan ribu rupiah menjadi sembilan ribu rupiah satu kilogram dari harga dari tangan petani. Berbeda halnya pada tahun 2017, harga tidak naik tetapi hasil panen jambu mete melimpah. Meski harganya 8 ribu satu kilogram, akan tetapi hasil panen lebih banyak dibanding tahun 2016. Sementara itu harga jual di pasaran terbilang cukup mahal, berkisar 32 ribu sampai 25 ribu satu kilogram. Penurunan hasil panen terus terjadi hingga saat ini.
Penyebab penurunan hasil panen jambu mete adalah cuaca pancaroba, sehingga banyak pohon jambu mete yang rusak, bunga dan daun berguguran. Ketika jambu mete yang sedang berbunga lalu di terpa hujan dan panas dalam rentang waktu pendek dan silih berganti, mengakibatkan bunga berguguran dan menghitam. Kerusakan pohon jambu mete tidak segera ditangani dengan obat dan pupuk karena tidak ada uang untuk membelinya.
- Kehilangan Sumber Air
Satu dari sekian banyak sumber mata air berada di area kebun milik seorang di kampung Niogori, sebagian besar warga memenuhi kebutuhan air dari sumber air tersebut, salah satunya dusun Malapoma. Sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan terhadap mata air, ritual upacara Adat biasanya dilakukan di sekitar mata air. Namun, Pada Tahun 2002 bantuan pembangunan bak penampungan air minum datang dari sebuah LSM, kemudian beberapa pihak mengklaim kebun dan menguasai mata air tersebut.
Sementara itu, Sumber air lainnya didapatkan dari pingi, seperti halnya kebutuhan air masyarakat Adat Rendu. pingi umumnya dibuat atau digali di pinggir sungai kecil, bentuknya persis sumur air pada umumnya, biasanya memiliki kedalaman yang dangkal, fungsi pingi ialah tempat untuk menampung air yang keluar dari mata air. Namun, kebutuhan air belum sepenuhnya tersedia untuk semua kebutuhan, misalnya saja untuk kebun, air harus diambil dari sungai atau pingi. Di samping itu, belum ada layanan air yang lebih memadai, ketersediaan air pada musim hujan cenderung aman untuk kebutuhan non-konsumsi, seperti mandi, mencuci piring, ternak, tanaman dan lainnya. Itu pun perlu berupaya lebih, dengan cara menampung air hujan. Sedangkan untuk konsumsi, kebanyakan masyarakat Adat di Rendu tidak berani mengonsumsi air hujan, air untuk di konsumsi harus diambil langsung dari sumber air, sungai dan pingi. Sebelum di konsumsi, itu pun harus melewati proses penyaringan terlebih dahulu.
- Diskriminasi Perempuan Adat dalam Komunitas
Persepsi Perempuan adat dalam komunitas adat masih sangat rentan dan sering kali Perampuan Adat mendapat perlakuan diskriminatif. Bahkan hal itu terjadi dalam situasi bencana atau konflik sekalipun. Perempuan masih ditempatkan pada ruang domestik, mengurus keluarga ketimbang terlibat dalam keputusan komunitas Adat atau publik. Seperti halnya keterlibatan Perempuan Adat yang masih terbilang sangat sedikit dilibatkan dalam ritual berkebun, perkawinan, pesta dan kematian. Perempuan Adat sebagian besar hanya menjadi anggota komunitas Adat, sedangkan peran perempuan adat menjadi pengurus dan ketua Komunitas Adat sangat sedikit. Ha itu diperkuat dengan hasil survey GBV (Gender Base Violence) yang dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN, dari sebanyak 523 responden, hanya 1,3% atau 7 orang yang memiliki peran sebagai ketua komunitas Adat, andaipun menjadi ketua Komunitas Adat, sebagian besar Perempuan Adat menginjak usia yang tidak lagi muda, yaitu berkisar 51-60 tahun. Usia tersebut dianggap sudah memiliki kapasitas dalam pengambilan keputusan.
Kepengurusan PHD Langkat yang pertama periode 2016 sampai 2021, berdasarkan Temu Daerah hasil musyawarah memutuskan pengurus sebagai berikut: Ketua: Rushayati. Sekretaris: Rosmita Br Siahaan dan Bendahara: Masrifah. Sementara itu, pada Temu Anggota kedua yang dilaksanakan pada 21 Oktober 2021, pertemuan dilaksanakan secara virtual dan dihadiri oleh 23 anggota PHD Langkat di Kampung Pertumbukan. Dalam Temu Daerah kedua tersebut PHD Langkat sepakat memberikan mandat kepengurusan PHD Langkat pada periode 2021 hingga 2026 dipercayakan kepada Ketua: Rushayati, Sekretaris: Afridayanti dan Bendahara: Mahyanun.
Saat ini, anggota PHD Langkat berjumlah 47 Perempuan Adat yang berasal dari 5 komunitas yaitu komunitas Selemak, Sekemak, Sei Benang, Kuwala Begumit, Kampung Pertumbukan dan Batu Gajah. Komunitas tersebut tersebar di empat kecamatan antara lain : kecamatan Wampu, Stabat Selesai, dan Medan Denai. Anggota PHD PEREMPUAN AMAN Langkat paling banyak tersebar di Kecamatan Selesai dan Wampu, tepatnya di Desa Pertumburan sebanyak 55,32% dari jumlah anggota dan sisanya menyebar di berbagai Desa, Desa Kuala Begumit, Mancang, Selemak dan lain sebagainya.
Sebagian besar pekerjaan anggota PHD Langkat ialah petani sebanyak 46,81% dari jumlah anggota dan pekerjaan ibu rumah tangga cukup banyak yaitu sebesar 25,53%, sisanya wiraswata 4,26%, dan sisanya masih bekerja untuk orang lain, tidak memiliki tanah (landlees). Sementara itu, kecakapan yang memiliki anggota PHD Langkat sebagian besar adalah mengolah hasil pertanian atau laut sebanyak 87,23% dari jumlah anggota dan memiliki kecakapan bertani yaitu 36,17%. Kemudian pengalaman ikut aksi/demonstrasi cukup banyak yaitu sebanyak 23,40% dari jumlah anggota dan anggota yang pernah menjadi bagian dari kelembagaan adat sebanyak 17,02%. Sedangkan kecakapan lainnya mencakup: Kader penggerak Posyandu dan kader penggerak PKK (Program kesejahteraan Keluarga).
Kemudian keberadaan kelompok-kelompok Perempuan di komunitas, Kampung atau Desa. Anggota PHD Langkat menyebutkan sebanyak 27,66% keberadaan kelompok Arisan, perwiritan (pengajian) sebanyak 8,51% dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) 6,38%. Keberadaan kelompok yang paling sedikit ialah lembaga keagamaan (2,13%) dan lembaga Adat (2,13%). Sedangkan lembaga atau tokoh di komunitas atau Kampung yang dinilai memiliki pengaruh oleh anggota PHD Langkat yakni tokoh agama (12,77%) dan tokoh masyarakat (12,77%).
Wilayah Kelola Komunitas Adat Batu Gajah
Komunitas Adat Batu Gajah adalah salah satu Komunitas Adat yang bergabung dengan PHD Langkat, komunitas ini berada di Desa Mancang, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat. Komunitas Adat Batu Gajah memiliki beberapa jenis wilayah kelola di dalam Wilayah Adat. Wilayah kelola ini dimiliki oleh keluarga atau individu yang mengelola/memanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Wilayah kelola komunitas Batu Gajah tersebut terdiri atas sawah, kebun, hutan dan ladang. Termasuk wilayah kelola yang jarang dimanfaatkan yakni sungai, rawa, dan laut.
Dari berbagai jenis wilayah kelola di atas, ladang merupakan wilayah kelola yang sebagian besar dimanfaatkan Komunitas Adat Batu Gajah, sebanyak 96,5% memiliki ladang dengan luas berkisar 400 hingga 1 hektare. Sementara sawah, kebun dan kolam ikan termasuk juga wilayah kelola yang dimanfaatkan anggota komunitas, dengan persentase masing-masing 3,4%. Akan tetapi ada ketimpangan kepemilikan ladang, sebanyak 3,4% anggota komunitas memiliki luas ladang dua hektare dan sebagian besar memiliki ladang 1 hektare dengan persentase 51,75, sedangkan luasan terkecil dimiliki oleh 20,7% anggota komunitas, yakni 400 meter persegi. Itu artinya, untuk memenuhi kebutuhan harian Komunitas Adat Batu Gajah, sebanyak 96,6% anggota komunitas memiliki lahan di bawah 2 hektare. (Sumber_SDGs PHD Langkat).
Wilayah kelola Komunitas Adat Batu Gajah utamanya adalah kebun, akan tetapi luasan kebun tidaklah lebih dari dari dua hektare, yang biasanya kebun berada tidak jauh dari rumah atau pekarangan. Kebun ditanami berbagai kebutuhan harian, mulai dari sayuran, kacang tanah, kacang panjang, cabai dan lain sebagainya. Termasuk pohon aren, durian, kayu dan seterusnya. Begitu juga dengan pekarangan. Sedangkan di ladang, meski saat ini tidak banyak yang memiliki ladang, tanaman utamanya adalah padi ladang yang di panen sekali dalam setahun. Jenis padi yang ditanam adalah padi lokal, jenis padi Rias, Jongkong, Kukubalan dan lain sebagainya. Ciri dari pertanian padi ladang ialah menanam secara bersamaan, untuk mengurangi serangan burung pemakan padi.
Dalam berladang padi, ada ritual yang biasa dilakukan, pertama Ritual Adat menanam benih yang dilakukan sehari sebelum menanam. Perlengkapan ritual ini antara lain: satu botol air putih, tepung tawar, tungkal atau sebatang tongkat kayu keras, seperti kayu kopi atau jenis lainnya, dan tempurung kelapa. Tungkal ditancapkan di tengah ladang, kemudian tepung tawar di masukan ke dalam tempurung kelapa dan di siram air. Ritual ini sebagai bentuk memohon keselamatan dan kesuburan padi.
Kedua, ritual menuai padi atau mengendong padi. Ritual ini juga dilakukan sehari sebelum menuai padi. Perlengkapan ritual ini hanya perlu selembar kain baru yang digunakan untuk menggendong 12 tangkai padi yang berkualitas kemudian dibawa ke rumah dan di gantung di perapi (tempat yang berada di atas tungku). Padi dipercaya sebagai tanaman yang punya perasaan dan merespons perlakuan, karena itu ritual ini sebagai bentuk permisi/pamit, rasa syukur serta memohon keberkahan padi.
Ketiga, setelah panen selesai, padi hasil panen disajikan berupa makanan olahan yang disebut emping. Makanan emping dibuat dari hasil padi yang sanggrai (dipanaskan di atas kuali) setengah matang, kemudian padi ditumbuk dalam lesung dan di tampi untuk memisahkan kulit dengan isi padi. Sebagai bumbu, disiapkan kuah yang terbuat dari santan kelapa, dan gula merah/aren, emping disajikan untuk di makan bersama-sama dengan anak-anak, tetangga dan kerabat. Praktik ini merupakan bentuk dari ras syukur terhadap pada yang sudah di panen.
Aktivitas PHD PEREMPUAN AMAN Langkat
Penguatan Ekonomi Komunitas
Penguatan ekonomi yang pernah di inisiasi PHD Langkat salah satunya peternakan lele, terutama di dua komunitas, Komunitas Adat Batu Gajah dan Komunitas Adat Patumbukan. Kegiatan ternak lele merupakan upaya ketahanan pangan komunitas dengan dana dukungan dari PEREMPUAN AMAN, terutama di masa pandemi covid 19 yang terjadi sejak tahun 2020 awal. Hampir semua Perempuan Adat yang berada di PHD Langkat tidak ada yang memiliki pengalaman beternak lele sebelumnya, akan tetapi, ternak lele dilakukan sembari mempelajari bagaimana ternak lele yang baik dan menghasilkan. Ratusan hingga ribuan bibit lele dibagikan ke komunitas-komunitas yang mau beternak lele. Termasuk pangan dan vitamin lele. Meskipun hasilnya belum maksimal, namun hasil beternak lele sebagian besar sudah bisa mencukupi kebutuhan konsumsi atau kebutuhan protein keluarga, kemudian berbagi dengan tetangga, saudara dan juga di jual untuk menambah pemasukan ekonomi. Masih di masa wabah pandemi covid 19, selain ternak lele. ternak bebek juga merupakan bagian dari penguatan ekonomi Komunitas Batu Gajah.
Selain itu, kegiatan penguatan ekonomi juga dilakukan dengan cara membuat kebun kolektif. Kebun kolektif dilakukan di komunitas Adat Petumbukan dengan luas lahan 7200 meter persegi. Lahan tersebut berada di pinggir Sungai Wampu. Berbagai jenis tanaman yang ditanam, mulai dari kacang panjang, kangkung, terong, cabai dan lain sebagainya. Akan tetapi,belum lama kebun kolektif di kelola Perempuan Adat dan baru menghasilkan satu kali panen kacang panjang, kebun kolektif ini terkena luapan air sungai karena pada saat itu musim hujan dan kebun tidak bisa digarap lagi.
Di samping itu, untuk membangkitkan semangat tumbuh dari kegagalan kebun kolektif dan ternak lele. Di samping dukungan dari PEREMPUAN AMAN Sekretariat Nasional dan PB AMAN (Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. PHD Langkat juga berinisiatif membuat layanan arisan uang yang di undi bulanan, tiga bulan sekali. Termasuk koperasi juga berfungsi sebagai layanan menunjang berbagai bentuk usaha komunitas, termasuk bertani sawit, jagung, ubi, pisang, buah-buahan, sayuran dan lain sebagainya.
Produksi Gula Aren
Keahlian membuat gula aren merupakan warisan dari leluhur, di Komunitas Batu Gajah hampir setiap keluarga memiliki pohon aren (merget), sekaligus setiap rumah tangga produksi gula aren sebagai penopang ekonomi harian. Paling tidak, satu keluarga memiliki lima hingga 10 pohon aren di kebun yang di sadap secara bergantian. Satu pohon aren mampu menghasilkan 15 hingga 20 liter air nira, 15 liter air nira setara dengan 6 sampai 7 kilo gram gula aren dengan proses memasak berjam-jam lamanya.
Komunitas Adat Batu Gajah percaya ada musim tertentu di mana hasil nira akan berkurang, musim ini disebut musim terek, khususnya pada musim kemarau disertai angin kencang. Selain itu, hasil nira juga dipercaya dipengaruhi oleh hubungan suami istri, jika hubungannya harmonis maka hasil nira akan lebih banyak, ketimbang tidak harmonis.
Air nira, selain diolah menjadi Gula aren, juga bisa digunakan menjadi bahan membuat cuka dan minuman tradisional dan kesehatan yakni tuak. Sementara gula aren biasanya digunakan untuk bumbu masakan, pemanis kue, campuran jamu, baik di konsumsi untuk pengidap penyakit diabetes dan lain sebagainya. Menjual gula aren tidaklah sulit, apa lagi dengan harga 18 hingga 20 ribu satu kilo gram, harga yang cukup terjangkau. Gula aren bisa di jual di sekitar kampung, tetangga, warung kopi/kedai kopi, tengkulak dan lain sebagainya. Selain itu, gula aren juga sangat dibutuhkan untuk acara pesta seperti pernikahan, kematian dan acara besar lainnya, sebagai salah satu bahan membuat kue dodol misalnya. Pesanan gula untuk satu kali pesta biasanya tidak kurang dari 20 hingga 30 kilo gram.
Aktivitas dan Keberhasilan PHD Langkat
Dalam kongres AMAN yang diselenggarakan di Kampung Tanjung Gusta, Sumatera Utara, PHD Langkat terlibat dan berpatisipasi secara penuh, mulai dari terlibat dalam berbagai rapat persiapan maupun ketika kegiatan kongres berlangsung. Kemudian mengurus peserta kongres, membantu dalam seluruh rangkaian kongres hingga sosialisasi dan konsolidasi kongres. Salah satu hasil dari kongres AMAN ke-5 keluarnya Surat Keputusan (SK) pengakuan wilayah adat dari kepala desa, untuk Kampung Tanjung Jati, termasuk di dalamnya pengakuan wilayah adat (pemukiman, kebun) Komunitas Batu Gajah.
Selain itu, PHD Langkat juga turut aktif dalam sarana membangun kapasitas Perempuan Adat. Mulai dari mengikuti workshop pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Kemudian berbagai konsolidasi PEREMPUAN AMAN dari beberapa Negara, mengikuti Himas dan hari ke 20 tahun AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Termasuk workshop kepemimpinan, kesetaraan gender, Gender Base Violence (GBV), pelatihan tentang keterampilan ternak lele di Kampung Tualang Pusu dan lain sebagainya. Berbagi kegiatan tersebut diselenggarakan oleh PEREMPUAN AMAN dan PB AMAN.
Pendudukan kembali Tanah Adat
- Perkebunan Nusantara II (PTPN 2) mencakup Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat, Kotamadya Medan dan Kotamadya Binjai, Sumatera Utara. Perkebunan Nusantara ini mengembangkan komoditas tembakau, kelapa sawit dan tebu beserta pabrik pengolahannya, terdapat 2 pabrik gula dan 4 pabrik pengolahan kelapa sawit. PTPN 2 dikelola oleh tiga anak perusahaan yakni PT. Nusa Dua Bekala, PT Nusa Dua Propertindo, dan PT. Tembakau Deli Medika.(Sumber_https://ptpn2.com/) Sejak 2001 hingga 2021, Sumatera Utara kehilangan hutan yang diakibatkan perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 108.209 hektare, paling tinggi terjadi pada tahun 2005, yakni seluas 14.007 hektare. https://map.nusantara-atlas.org/
Sementara itu, komunitas-komunitas Adat yang berada atas tanah ulayat sejak dahulu dipaksa dan disingkirkan dengan berbagai kekerasan dan kebrutalan PTPN 2 menggunakan polisi, tentara hingga preman. Salah satu komunitas Adat yang menolak untuk pasrah dan menjadi saksi kekerasan ialah Komunitas Adat Batu Gajah dan rakyat penunggu batu gajah, yang berupaya menduduki kembali, terutama sejak 2001 hingga 2011 puncaknya. Di awal-awal pendudukan, warga menanami lahan-lahan kosong di sela-sela tanaman (lapok) cokelat milik PTPN 2, lapok/tanah kosong ditanami pisang, umbi, termasuk sayuran. Baru saja menuai panen dan menikmati pertama, PTPN 2 membabi buta, sehingga mencabuti tanaman warga, membabat semua tanaman, termasuk merusak gubuk. Akan tetapi, upaya menduduki lahan tidak berhenti, malah makin banyak yang masuk ke area PTPN dengan membawa perlengkapan berkebun dan bekal makanan untuk membuka kebun di lahan PTPN.
Bentrok pun terjadi lagi hingga menimbulkan kerusuhan di mana-mana, PTPN makin marah dari sebelumnya. Selain ditangkap dan dipukuli, beberapa warga kena tembakan senjata api oleh polisi. Sementara tanaman warga ditebangi menggunakan gergaji mesin, dalam sehari sekitar 10 hektare kebun warga dihancurkan PTPN.
Sejumlah Perempuan Adat dan beberapa laki-laki juga ikut ditangkap hingga dikurung selama berbulan-bulan. Bahkan polisi dan perwira mengejar rakyat penunggu batu gajah hingga ke rumah-rumah warga dan sebagian warga terpaksa harus mengungsi ke hutan selama beberapa malam, sedangkan anak-anak dititipkan ke tetangga yang tidak terlibat dalam bentrokan.
Hingga pada akhirnya pada tahun 2005 pendudukan lahan sempat aman tanpa gangguan, warga menguasai kembali puluhan hektare lahan. Berbagai tanaman sayuran, pisang dan lain sebagainya mulai aman dan cukup menghasilkan. Bahkan tanaman buah-buahan sempat menghasilkan seperti rambutan, kelapa, durian, manggis dan seterusnya. Dari hasil tanaman tersebut terutama dalam rentang waktu 2005 sampai 2011, warga yang sebelumnya tidak mampu membangun rumah, mulai mampu membangun rumah, kemudian anak-anak mereka bisa menyelesaikan kuliah, menikah dan membeli kebutuhan seperti motor, barang-barang rumah tangga lainnya dan juga memperbaiki rumah. Termasuk di lahan tersebut rakyat penunggu Komunitas Batu Gajah sempat membangun kantor.
Hingga pada akhirnya, cerita kesejahteraan itu hilang dalam sekejap mata. Di tahun 2011 PTPN 2 mengerahkan beberapa unit alat berat (eskavator), truk beserta ratusan tentara, polisi dan preman bayaran untuk melenyapkan aktivitas Komunitas Adat Batu Gajah. Tanaman, gubuk dan kantor dalam hitungan jam tidak tersisa. Bentrokan dan kerusuhan kali ini lebih besar dari yang sebelumnya, tembakan peringatan dari polisi berhamburan, hingga seorang anak yang sedang digendong menangis ketakutan di pangkuan ibunya, kemudian satu demi satu orang ditangkap. Bahkan kali ini Perempuan Adat yang berada di garis depan perlawanan juga ikut ditangkap dan di kriminalisasi.
Kerusakan Sungai
Sungai Selesai termasuk salah satu sungai yang berada di wilayah kelola Perempuan Adat Batu Gajah. Sungai Selesai selain berfungsi untuk kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci, juga banyak ikan yang bisa didapatkan di Sungai Selesai. Cara mendapatkan ikan bisa dengan cara memancing atau membuat jebakan, jenis ikan yang didapatkan biasanya ikan mata merah, patung, dongdong dan lain sebagainya. Selain ikan, Sungai Selasai juga menjadi tempat bermain anak-anak.
Namun aktivitas tersebut tidak lagi bisa dilakukan, akibat berbagai hal. Pertama, sungai telah tercemar oleh limbah pabrik kelapa sawit yang membuang limbah ke Sungai Selesai akibatnya air sudah tidak lagi layak untuk di konsumsi, bahkan untuk mandi, termasuk penggunaan racun kimia untuk mendapatkan ikan . Kedua, pembuangan sampah berupa pelepah sawit ke sungai sehingga sungai menjadi banyak duri yang berbahaya. Ketiga, aktivitas perusahaan galian C (batu dan pasir sungai) kedalaman sungai makin hari maki dalam, sehingga tidak lagi aman untuk beraktivitas. Berbagai penyebab tersebut membuat Sungai Selesai tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan, malah sebaliknya, sungai menjadi tempat yang membahayakan bagi keselamatan kita.
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- rumah-pa@perempuanaman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954