Pengurus Harian Komunitas (PHKom)

PEREMPUAN AMAN (PA) Kompetandor

Wilayah Pengorganisasian PHKom Kompetandor berada di Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagakeo, Nusa Tenggara Timur. Kecamatan Nangaroro berada di pesisir pantai Flores, di antara perbatasan Nagekeo dan Ende.

Di Wilayah Adat Ndora, terdapat 3 agama yakni, Katolik, Islam dan Kristen Protestan, penduduk mayoritas menganut Agama Katolik. Wilayah Adat Ndroa meliputi tiga Desa, Desa Bidoa, Desa Paga Mogo  dan Desa Ulupulu.

Desa Ulupulu berada di jalur jalan Aegela-Bajawa, diapit oleh desa Bidoa di sebelah timur dan Desa Ulupulu 1 di sebelah barat. Sebelah selatan, Desa Ulupulu berbatasan dengan Gunung dan Hutan Manungae, sedangkan sebelah utara berbatasan dengan padang ternak. Desa Ulupulu terdiri atas 4 (empat) wilayah dusun yakni: Dusun Sipi, Malabo, Masolewa-Kadhahebo dan Galawea-Tibakisa. Ada 16 Rukun Tangga (RT) dengan pembagian setiap dusun terdapat 4 RT.  Berdasarkan Data Dinas Kependudukan, terdapat sebanyak 428 Kepala Keluarga, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.728 jiwa, terdiri dari laki-laki 825 jiwa dan perempuan 903 jiwa. 

Sejak 2021, PHKom Kompetador dirintis oleh sejumlah 25 Perempuan Adat berasal dari Komunitas Adat Ndora. Kelahiran PHKom Kompetandor merupakan sebuah respons atas ancaman perampasan Tanah sekaligus sebagai sarana perjuangan Perempuan Adat dalam mempertahankan wilayah Adat. Penetapan kepengurusan PHKom Kompetandor dilakukan pada Temu Daerah yang dilaksanakan Oktober 2022 dan memberikan mandat kepengurusan kepada: Ketua: Siti Aisyah, Sekretaris: Maria Fartunata, dan Bendahara: Yosinta Wea. Kepengurusan tersebut berlaku selama periode 2022 hingga 2027. 

Anggota PHKom Kompetandor sebagian besar bekerja sebagi petani yakni sebanyak 76,00% dan Mahasiswi 24,00% dari jumlah anggota. Sementara, kecakapan yang dimiliki anggota terdiri dari kecakapan bertani, pengetahuan tentang benih dan penanggung jawab Ritual Adat. Dari ketiga kecakapan tersebut kecakapan  paling banyak dimiliki anggota yakni bertani sebanyak 51,43%, kemudian kecakapan pengetahuan tentang benih 28,00% dan kecakapan penanggung jawab Ritual Adat hanya 4,00% dari jumlah anggota. 

Kemudian keberadaan kelompok Perempuan yang ada di PHKom Kompetandor sebagian besar adalah kelompok arisan sebanyak 60,00%. kemudian kelompok keagamaan 20,00%, arisan tenaga 12,00% dan pengurus Adat 4,00%. Sementara, kelompok atau tokoh masing-masing memiliki yang berbeda-beda di PHKom Kompetandor. Tokoh yang dinilai memiliki pengaruh yang pertama adalah Pemangku Adat, 92,00% anggota menilai demikian. Selain itu, tokoh masyarakat 68,57%, sedangkan tokoh agama dan Lembaga Swadaya Masyarakat masing-masing hanya 4,00% dari jumlah anggota. 

Di samping itu, anggota juga memiliki pengalaman yang cukup beragam dan tidak sedikit anggota yang memiliki pengalaman lebih dari satu. Pengalaman anggota paling banyak adalah pengalaman pernah menjadi bagian dari kelembagaan Adat sebanyak 80,00%, begitu juga dengan pengalaman ikut aksi demonstrasi 80,00%. Sedangkan pengalaman mengikuti pelatihan sebanyak 56,00%, kemudian menjadi pengurus organisasi 36,00%, dan menjadi penanggung jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di komunitas Adat 12,00% dari jumlah anggota. 

    • Komunitas Adat Ndora

Berdasarkan tuturan Tetua Adat, nama asli Ndora sebenarnya Doa. Doa bermakna saudara, teman, kerabat dan sahabat. Filosofi yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah memandang semua orang sebagai saudara, keluarga, teman, sahabat dan tidak menganggap orang lain sebagai musuh. Doa berubah nama menjadi Ndora di zaman sekarang karena perkembangan zaman. Bagi sebagian orang, kata Ndora dianggap lebih enak didengar dan mudah disebutkan. 

Di wilayah Adat Ndora terdapat 17 suku yang masing-masing suku di pimpin oleh kelapa suku. Pengaturan wilayah Adat, pembagian lahan garapan, termasuk menentukan ritual-ritual tertentu berada di tangan kepala suku. Dari berbagai suku-suku terdapat satu Peo atau  pemersatu suku (tempat poe disebut Pu’u Peo Aka Laba”). Pada zaman nenek moyang, setiap tahun rutin dilaksanakan ritual adat di “Pu’u Peo Aka Laba” yang melibatkan 17 suku. Ritual Adat yang dilaksanakan disebut ritual “Tau Wete. 

Salah satu suku yang berada di Desa Ulupulu yakni Suku Bani. Tanah persekutuan Suku Naka Bani merupakan tanah yang diperoleh dari hasil peperangan leluhur yang bernama Kutu Wio dengan Nusa Dhua dan Dhedhu Wati dari Lambo. Tanah Ndora ini dijuluki ‘toa tana woa, ngada tano papa’, yang artinya “orang Ndora kerja saja di tanah Ndora yang penting melalui sepengetahuan kepala suku”. Kutu Wio juga punya amanat, ‘Da loo mae pogo, da kamu mae koe, Miu sowa wate wonga dau kema sama’, yang artinya batangnya jangan dipotong, akarnya jangan digali, kalian boleh memetik bunga bersama-sama. Maksud dari pernyataan ini adalah tanah ini hanya boleh diolah, tidak boleh dijual atau diuangkan. 

Akan tetapi, tidak semua tanah di wilayah Adat di suku-suku Ndora merupakan hasil peperangan. Beberapa suku dapat menguasai tanah dikarenakan para Mosalaki leluhur atau orang pertama yang mendiami wilayah itu memiliki banyak harta dan berkuasa sehingga dia mengambil wewenang untuk mematok, menguasai dan mengelola tanah.

    • Wilayah Kelola Komunitas Adat Ndora

Ruang hidup Wilayah Adat Ndora terdiri dari: rumah dan pekarangan; kebun dan ladang; mata air dan sungai; gunung dan hutan; serta padang ternak. Di Masyarakat Adat Ndora, rumah dan pekarangan selain sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai jenis tanaman belaka, melainkan juga memiliki fungsi ritual, di mana makam leluhur juga biasanya ditaruh di sebelah rumah untuk memudahkan ziarah.Termasuk di Wilayah Suku Naka Bani.

Suku Bani memiliki pedoman soal batas-batas wilayah kelola berdasarkan batas alam. Ulu tu Kana (Wolokadho), eko watu je (Rendu), see see mona nge (batas alam tersebut tidak boleh digeser lagi). Masyarakat Adat hanya mempunyai hak garap dan boleh mengelola tanah suku, dengan syarat, tanah tidak boleh disertifikatkan.  Alasan di balik larangan sertifikat tanah adalah untuk mencegah jual-beli tanah sebagai amanah leluhur.

    • Pekarangan dan Rumah

Pekarangan rumah pada umumnya dipagari keliling rumah. Pagar, selain berfungsi pembatas dengan tetangga, juga berfungsi sebagai penghalang hewan ternak agar tidak masuk ke dalam pekarangan dan merusak tanaman. Selain rumah, di pekarangan juga terdapat berbagai jenis tanaman keras seperti mahoni, jati putih, dan jati yang ditanam di samping pagar sekeliling pekarangan rumah. Selain itu, juga ada tanaman komoditas jangka panjang yang tidak ditanam dalam jumlah banyak, seperti kelapa, mangga, nangka, jambu mete, kopi dan lain sebagainya.

Tanaman yang tidak cocok ditanam di Desa Ulupulu ialah kelapa dan pisang. Hal itu disebabkan karena jenis tanah yang berwarna merah, liat, mengering dan terbelah di musim panas. Meskipun beberapa tanaman tersebut dapat tumbuh, namun tidak subur dan tidak menghasilkan buah yang baik. Sementara itu, terdapat juga jenis tanaman pangan, tanaman obat dan sayuran seperti kacang, ti zia (suweg), ubi, ubi kayu, cabe rawit, halia, kunyit, jahe, sereh, kemangi dan beragam jenis bunga. 

Di bagian depan, samping atau belakang rumah, terdapat kuburan, di kuburan tersebut anggota keluarga sering memanfaatkan sebagai tempat istirahat siang, atau tempat berbincang keluarga. Selain itu, di depan rumah, biasanya terdapat batu nabe dan tubuh musuh sebagai tempat ritual. Halaman rumah Masyarakat Adat Ndora juga sering dijadikan sebagai tempat ritual, seperti ritual kose/po’o untuk memasak nasi bambu, dan ritual ze—ritual rutin yang dilakukan oleh masing-masing keluarga seperti pada masa bulan sabit dan bulan gelap. 

Halaman rumah juga sering digunakan sebagai tempat kumpul keluarga pada saat musyawarah keluarga, penerimaan adat belis, panggung acara nikah, sambut baru, dan lainnya. Di beberapa rumah, pekarangan rumah juga dimanfaatkan sebagai kandang ternak babi, kambing atau ayam. 

Pada umumnya, akses dan kontrol atas rumah dan pekarangan berada di dalam keluarga inti. Namun, pada umumnya, praktik memanfaatkan dan meminta hasil yang ditanam umum dilakukan. Seseorang bisa saja meminta dan mengambil hasil panen dari tetangga, sejauh untuk kebutuhan konsumsi dan meminta izin. 

    • Kebun dan Ladang

Masyarakat Adat Ndora mewarisi keterampilan dan pengetahuan berkebun dari nenek moyang. Lahan rata-rata memiliki lebih dari 1 lahan. Nenek moyang orang Ndora dahulu berkebun di kawasan Gunung Manungae. Cara berkebun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Zaman dahulu, nenek moyang tidak mengizinkan untuk menanam jenis tanaman lain selain jagung. 

Akan tetapi, sejak sekitar tahun 1960an ada 3 keluarga dari Paga Mogo (kampung lama Masyarakat Adat Ndora) mulai membuka ladang untuk menanam padi ladang. Namun, jarak tempuh yang terlalu jauh, lahan tersebut ditinggalkan. Masyarakat Adat Ndora mulai banyak menanam padi kembali di ladang tahun 1980an. Awalnya, jenis padi yang ditanam padi merah, padi gogo varietas lokal seperti ampere dan padi 100 malam.

Di area kebun dan ladang, Masyarakat Adat Ndora mengombinasikan beragam jenis tanaman. Jenis tumbuhan komoditas jangka panjang seperti kemiri dan jambu mete merupakan tumbuhan yang paling banyak ditanam oleh masyarakat Adat Ndora. Kemiri dan jambu meter mulai diperkenalkan sejak akhir tahun 1970an dan 1980an, oleh Kepala Desa Ulupulu, dengan niat untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

Pada masa awal penanaman kemiri, banyak masyarakat yang tidak mendukung dan menganggap kemiri sebagai tanaman yang tidak boleh di budidaya sebab tanaman kemiri membutuhkan lahan luas dan memiliki dahan dan daun yang rimbun. Masyarakat Adat Ndora khawatir kemiri akan menggusur ladang jagung, yang merupakan makanan pokok Masyarakat Adat Ndora saat itu. Namun, hingga saat ini, kemiri dan mete merupakan dua jenis tumbuhan komoditas yang menopang ekonomi Masyarakat Adat Ndora. 

Selain kemiri dan jambu mete, tumbuhan komoditas lainnya adalah pala, vanili, cengkeh, kopi dan kakao yang ditanam dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, antara 10-50 pohon, tergantung luas lahan. Vanili dan pala merupakan jenis tanaman yang baru ditanam dalam beberapa tahun terakhir untuk uji coba. Masyarakat membeli bibit tanaman vanili dan pala dari Bajawa dan Ende.

Di ladang pertanian, Masyarakat Adat Ndora banyak menanam jenis makanan pokok seperti padi ladang, jagung, beragam jenis umbi-umbian, sorgum dan jali. Hanya saja, dua jenis tanaman terakhir ini, sorgum dan jali mulai tidak banyak ditanam oleh masyarakat karena kesulitan mendapatkan bibit. Tanaman lain seperti beragam jenis kacang-kacangan, tanaman sayuran seperti cabe, tomat, dan lainnya, serta tanaman buah juga banyak budidaya.

Tahun 2003, Desa Ulupulu, khususnya Dusun Galawea, dilanda banjir bandang. Rumah, ternak, dan hasil pertanian masyarakat di dusun Galawea rusak dan hancur. Karena itu, selepas banjir bandang, pemerintah gencar melakukan penghijauan dengan membagikan bibit mahoni pada masyarakat. Mahoni, jati putih dan sengon juga mulai ditanam di kebun sekitar tahun 2000an, melalui pemberian bibit dari pemerintah dan sebagian warga membeli dengan uang sendiri.

    • Padang

Pada awal tahun 1979-1980an Masyarakat mulai membuat terasering, balik tanah dan pagar secara bersama-sama dalam kelompok kerja. Saat itu juga mulai ditanami umbi-umbian, kacang-kacangan, padi dan jagung di lokasi sudah di terasering itu.  Terasering itu untuk menjaga terjadi erosi di musim hujan.

Lahan perkebunan di kawasan Gunung Manungae mulai ditinggalkan dan hanya digunakan untuk penanaman kemiri. Banyak orang Ndora turun ke padang dan mengelola lahan di padang. Apalagi, pada tahun 1980an, Negara sudah mulai mengklaim kawasan hutan Manungae dan menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan lindung. Warga dilarang berkebun dan beraktivitas di kawasan hutan Manungae. Sejak mulai berkebun di padang dan menanam ubi kayu, ubi tatas, kacang-kacangan, jagung, padi, sejak itu pula pemanfaatan dan konsumsi ubi hutan seperti ondo, kewa, dan kebu mulai berkurang.

Padang rumput yang terhampar luas lebih banyak digunakan oleh Masyarakat Adat Ndora untuk beternak. Binatang ternak yang di lepas begitu saja oleh para pemilik ternak. Ketika tiba masa penjualan ternak, pemilik ternak akan menangkap dan mengangkut ternak untuk dijual. Sebagian pemilik ternak juga membuat kandang di padang ternak ini. Hewan ternak pulang ke kadang dengan sendiri, makan minum cari sendiri, hewan ternak hanya perlu di berikan garam setiap 2 atau 3 hari sekali. Selain digunakan untuk menggembalakan ternak, padang rumput juga dimanfaatkan Masyarakat Adat untuk mencari kayu bakar dan beragam jenis tumbuhan buah.

    • Hutan dan Gunung Munungae

Menurut Tetua Adat Suku Nakabani, Gunung Manungae adalah tempat sakral. Terdapat cerita mengenai kesakralan Gunung Manungae: “Ada seorang wanita cantik dan tinggi bernama Bue Bare. Kuburnya masih ada sampai sekarang. Di  siang hari Bue Bare menjadi batu, kalau malam dia menjadi wanita cantik. Orang   yang ingin masuk ke kampung tersebut pada malam hari dan berniat buruk, akan disambut kemudian bersetubuh dengannya. Konon jika hal itu terjadi dia akan menjepit kemaluan orang tersebut sampai mati. Tempat tersebut sampai sekarang dinamakan Bare dan menjadi pintu masuk ke gunung Manungae”.

Siapa pun yang akan berkunjung ke Gunung Manungae, di syaratkan untuk meminta izin dan memberi sirih pinang di tempat tersebut. Selain cerita soal kesakralan, Gunung Manungae juga memiliki narasi tentang harapan akan kemakmuran dan kesejahteraan. 

Masyarakat Adat Ndora pada awalnya tinggal di lereng dan kaki Gunung Manungae. Kampung-kampung lama Masyarakat Adat Ndora yang tersebar di lereng dan kaki Gunung Manungae, di antaranya adalah Kampung Mogokaro, Wolopan, Wolosabi, Woloanga, Wolokadho, Wido, dan Wolondi yang masuk dalam administrasi Desa Ulupulu.  Menurut sebagian tetua adat Ndora, Masyarakat Adat Ndora mulai meninggalkan Gunung Manungae dan berpindah ke bawah pada generasi ketiga. Sementara, Masyarakat Adat Ndora yang hidup saat ini merupakan generasi kedelapan. 

Selain terdapat kampung-kampung lama, di Gunung Manungae juga terdapat tempat ritual pemersatu 17 suku, yaitu pu’u peo raka laba dan kuburan para leluhur yang bersejarah. Para leluhur yang dimakamkan di sana, konon, adalah para leluhur yang lihai berperang dalam memperjuangkan tanah Adat Ndora dan selalu diundang untuk membantu pasukan perang di beberapa daerah yang membutuhkan. Menurut cerita Tetua Adat, terdapat kubur Nenek Moyang mereka sepanjang 5 meter. Di Hutan Manungae juga terdapat Goa Maria, yang berada di dalam administrasi Desa Bidoa, batu nabe sebagai tempat ritual, dan beberapa sumber mata air. Di bagian bawah dari Gunung Manungae terdapat hamparan luas tanaman kemiri.

Jaman dahulu, penguasaan dan pengaturan atas Gunung dan Hutan Manungae berada di tangan pemimpin adat (mosalaki). Namun, sejak tahun 1980an, wilayah Gunung dan Hutan Manungae mulai ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung oleh pemerintah. Sejak saat itu, mulai ada pelarangan untuk membuka kebun di Gunung dan Hutan Manungae dari pemerintah.

    • Mata Air dan Sungai

Wilayah kelola Komunitas Adat Kompetandor salah satunya adalah sungai, air sungai biasanya digunakan untuk menyiram tanaman, berupa sayuran terutama pada musim panas. Mata air dan sungai merupakan wilayah kelola yang teramat penting bagi Komunitas Adat Ndora. Beberapa mata air terdapat di kaki Gunung Manungae, Desa Ulupulu terdapat beragam sumber mata air yang tersebar, yaitu mata air Aenio, Aeoi, Matamogo, dan Mula. Di Ulupulu terdapat beragam sungai yang orang kampung biasa menyebutnya lowo (kali), yaitu Lowotadho, Lowo Galawea, Lowo Lia, Lowo Aenio. 

Masyarakat Ndora pada umumnya menggunakan mata air untuk pemenuhan kebutuhan air dan memanfaatkan beberapa jenis tanaman obat tradisional, termasuk umbi-umbian hutan sebagai sumber pangan di masa krisis. Sebagian mata air juga digunakan sebagai tempat ritual. Sebagian masyarakat masih menggunakan sungai sebagai tempat mandi dan mencuci. Sungai juga sebagai tempat untuk mencari beragam jenis ikan, udang, belut dan lainnya. Selain itu,  di sungai juga menjadi tempat mengambil pasir dan batu-batu, baik untuk pembangunan rumah maupun dijual. Akses pada sungai bersifat terbuka, siapa pun bisa memanfaatkan hasil di sungai. Penambangan pasir dan batu sudah dimulai sejak tahun 1975.

    • Pengetahuan Perempuan Adat Ndora

Perempuan Adat Ndora umumnya memiliki pengetahuan menenun dan mengayam. Sejak kecil Perempuan Adat Ndora diajarkan untuk menenun dan menganyam oleh anggota keluarga. Hingga pertengahan 1980an, Perempuan Adat menenun masih menggunakan kapas karena banyak orang membudidayakan tanaman kapas. Hampir setiap kebun dan pekarangan ditanami tanaman kapas.  Setelah membuat gulungan benang, kemudian proses  pewarnaan  benang menggunakan bahan-bahan alam. Untuk membuat benang menjadi warna hitam, daun taru dan  oka (kapur sirih). Sedangkan untuk menjadikannya berwarna kuning, menggunakan kunyit dan kapur sirih atau kebo (mengkudu). 

Ada beberapa jenis tenun yang sudah dihasilkan antara lain: selendang bunga; sarung bunga; dan sarung telo poi (sarung yang  banyak motifnya). Perempuan Adat Ndora sangat bersyukur memiliki keahlian menenun karena sudah banyak hasil tenunnya yang sudah dijual demi memenuhi kebutuhan sehari harinya, baik selendang maupun sarung. Pada masa pandemi, waktu banyak digunakan untuk menenun. 

Kegiatan menenun tidak boleh dilakukan setiap saat. Menenun hanya bisa dilakukan di musim tertentu saja, yakni musim panas dari bulan Mei hingga Oktober. Sedangkan di musim hujan bulan November sampai April atau setelah menanam padi, kegiatan menenun tidak diperbolehkan. Larangan ini berlaku bagi semua masyarakat Ndora. Pelanggaran terhadap larangan itu maka akan mendapatkan sanksi yang disebut junutu, yaitu denda berupa babi besar untuk  makan semua orang di kampung. Larangan ini juga berlaku untuk kegiatan menganyam. Semua masyarakat Ndora dilarang untuk membuat anyaman setelah menanam padi sampai usai melaksanakan ritual Jee.

Menganyam juga merupakan jenis pengetahuan dan kerajinan tangan yang dihasilkan oleh Perempuan Adat di Ndora. Sekitar tahun 1976 ranjang tempat tidur masih menggunakan ranjang bambu yang dibuat sendiri. Selain itu, alas ranjang juga berupa tikar  yang dianyam dari pandan hutan, begitu juga dengan bantal. Bantal berasal dari hasil anyaman zea (pandan hutan) yang diisi dengan Daun Luba. Anyaman juga menggunakan lontar yang disebut dengan kebi sebagai koper. 

Perempuan Adat termasuk jarang menjual hasil anyaman di pasar. Jika ada orang yang membutuhkan, konsumen biasanya langsung membeli di rumah. Perempuan Adat Ndora menghasilkan beberapa kerajinan anyaman antara lain: tikar, bere, ponu dan sobha. Bere biasa digunakan untuk menyimpan benih dan mengambil hasil dari kebun seperti jagung, sayur, ubi-ubian dan lainnya. Ponu adalah anyaman yang kapasitasnya besar kurang lebih 500 kg untuk menampung padi di lumbung atau di pondok dan juga sebagai wadah persediaan pangan keluarga. Sobha adalah anyaman dengan kapasitas lebih kecil dari ponu kira kira 20 kg. Dalam hajatan keluarga, sarana yang harus dipenuhi oleh pihak ine ame salah satunya adalah tikar dari anyaman pandan yang berukuran 120 x 200 cm. Semua wilayah kelola beserta Pengetahuan Perempuan Adat kini berada di ujung tanduk, terancam punah oleh pembangunan waduk Mbay/Lambo.

    • Masalah yang dihadapi Komunitas Adat Ndora

Pembangunan Waduk Mbay sempat terhenti sepanjang dua belas tahun, antara tahun 2003-2015. Setelah Jokowi menduduki kursi kepresidenan dan menekankan strategi pembangunan ekonomi pada percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, rencana untuk membangun kembali Waduk Mbay (yang kemudian berubah menjadi Waduk Lambo) kembali bergeliat pada Juni 2015. Saat itu, Forum Perjuangan Penolakan Pembangunan Waduk Mbay mulai kembali aktif bergerak dan berganti nama menjadi Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo yang beranggotakan Masyarakat Adat dari suku Rendu, Ndora dan Lambo.

Juli 2016, Komunitas Adat Ndora, Rendu dan Lambo mengirim surat yang berisi penolakan lokasi waduk lambo. Oktober 2016, wakil Bupati berkunjung ke titik nol lokasi waduk di Rendu dan membawa pesan balasan surat penolaka, Istana minta data luasan lahan yang akan terendam/peta, data potensial dan jumlah penduduk. Setelah kami kirim 3 jenis data tersebut. Seorang datang dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) ke Rendu  meninjau lokasi waduk. Setelah itu tidak ada lagi tindak lanjut.

Masih di tahun 2016, ketika Tim Konsultan Survei yang disewa oleh Pemerintah Kabupaten Nagekeo berupaya memasuki lokasi pembangunan dengan dikawal oleh Satpol PP, Polisi, TNI bersenjata, para Perempuan Adat menghadang dan menutup jalan dengan cara bergandengan tangan. Satpol PP memaksa untuk membuka jalan, memukul tangan, mendorong  para ibu-ibu hingga jatuh dan mengakibatkan dua orang perempuan pingsan.

Kekerasan serupa kembali terjadi pada 8 November 2016. Saat itu, masyarakat melihat mobil truk menuju lokasi pembangunan waduk dengan dikawal oleh Satpol PP dan anggota Polres Ngada. Masyarakat kemudian menghadang truk dan mulai membawa tali dan bambu untuk memagari lokasi masuk pembangunan Waduk Lambo. Kapolres Ngada memerintahkan Satpol PP untuk membuka pagar dan terus mendapatkan perlawanan dari para Perempuan Adat Rendu.

Karena terus terdesak oleh dorongan ibu-ibu melakukan aksi telanjang dada dan 

mengutuk dengan sumpah adat kepada Pemda Nagekeo, SATPOL PP dan Polres Ngada. Melihat aksi telanjang dada, Kapolres Ngada, Andi Suwandi, menghina aksi itu dengan mengatakan “saya sedang menonton video gratis, silahkan telanjang. Apa yang ada di kamu, sama dengan saya punya istri, hanya beda tipis”. Pada saat itu juga, salah satu anggota polisi mengancam akan mengebom kampung Malapoma yang tidak menerima pembangunan waduk.

Bagi masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo, penolakan pembangunan Waduk Lambo didasarkan pada argumen bahwa pembangunan tersebut akan menenggelamkan enam pemukiman milik warga, yaitu warga dusun Malapoma, Roga-roga, dan Jawatiwa di Desa Rendu Butowe; warga dusun Kadhaebo, di Desa Ulupulu; serta warga Dusun Boanai dan Boazea di Desa Labolewa. Terlebih, pemukiman bukan hanya tempat tinggal, melainkan tempat pemakaman leluhur, tempat menjalankan ritual, tempat pakan ternak, tempat menenun dan juga tempat ibadah bersama. Pembangunan Waduk Lambo juga berpotensi menghilangkan lahan pertanian di delapan Desa, yaitu Desa Rendu Butowe, Ulupulu, Ulupulu 1, Bidoa, Natatoto, Labolewa, Olaia, dan Desa Ngegendhawe. Termasuk puluhan mata air.

Meski saat ini tidak secara langsung digusur, seperti Komunitas Adat Rendu dan Lambo, akan tetapi wilayah Ada Ndora dalam posisi terancam akan terendam air dari bendungan waduk Lambo/Mbay. Wilayah Adat Rendu dan wilayah Adat Ndora tidak lah terlalu jauh, kedua wilayah Adat tersebut hanya dibatasi sungai/kali bernama Tando, wilayah Adat Ndora berada sedikit lebih atas ketimbang Wilayah Adat Rendu. Air dari waduk lambo akan merendam wilayah kelola Komunitas Adat Ndora. Hal itu sudah jelas akan terjadi, karena belakangan ini sudah mulai terdengar rencana pemerintah membangun jembatan gantung.

Berdasarkan hasil pemetaan AMAN Nusa Bunga, sekitar 1084 ha luas wilayah Adat Ndora yang akan terendam. Tidak hanya itu, Bendungan Sutami yang berada di hilir waduk Lambo akan surut, waduk Sutami selama ini berfungsi sebagai pusat irigasi sawah. Sementara itu, pembangunan waduk makin gencar, bahkan pembongkaran struktur tanah sudah dengan bom, dalam sehari paling tidak terdengar ledakan bom dua kali, karena alat berat sudah tidak mampu lagi membongkar lapis batuan Wilayah Adat Rendu

    • Krisis

Sejak tahun 2016 sampai hari ini, kami terus berurusan dengan kepolisian, pengadilan, BPN, Desa dan lain sebagainya. Situasi makin kacau dan nyaris tidak ada harapan mempertahankan wilayah Adat, bahkan untuk mendapatkan ganti rugi saja teramat sulit dan melelahkan. Akan tetapi kami tidak memilih untuk pasrah, diam dan menerima, kami tetap menyuarakan kebenaran. 

Sepanjang tahun 2021 hingga 2023, Konflik horizontal antar warga dan antar suku terus dipelihara terutama dengan cara menyebut bahwa pihak kontra pembangunan waduk menghalangi proses pembebasan lahan dan pembayaran kompensasi. Selain melanggengkan konflik horizontal, pemerintah juga melakukan kekerasan, teror, dan utamanya menangkap dan menahan para pimpinan Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo. Beberapa di antara Perempuan Adat mengalami peristiwa trauma yang mendalam akibat kejadian tersebut.

Saling melapor dan klaim antar suku tanah juga terus terjadi, apalagi sudah berlangsung penetapan lokasi (penlok) pertama dan masuk pada penlok kedua. Penetapan lokasi berarti penetapan luasan lahan yang akan mendapatkan uang kompensasi. Masing-masing individu, keluarga dan suku sibuk mendapatkan tanah seluas mungkin, baku pukul dan saling mengklaim tanah ulayat. Sementara itu, banyak juga orang yang tidak terakomodir. 

Komunitas Adat Ndora sempat meminta bantuan untuk memediasi konflik, mengakomodir warga kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan kejelasan informasi yang sebenarnya tentang kompensasi. Namun BPN tidak membantu. Kami malah diarahkan mengadu dan bertanya ke Desa, sementara Desa juga terus menghindar saat ditanya, hingga akhirnya kami mendatangi satu demi satu pejabat/perangkat Desa.

Pada penetapan lokasi yang pertama banyak aset yang tidak dicatat, kami merasa dirugikan. Kebun yang terdapat banyak tanaman hanya di cantumkan 3 rumpun tanaman serai. Sementara pohon dan beragam tanaman lainnya tidak di hitung, bahkan tidak sedikit rumah yang juga tidak dihitung. Pendataan tersebut dilakukan oleh BPN, Badan Wilayah Sungai (BWS) dan pihak lainnya, mereka di kawal kepolisian dan tentara. Pendataan yang mereka lakukan hanya mengira-ngira tanaman yang ada atas tanah ulayat dan cenderung mengurangi.

Setelah pendataan penetapan lokasi pertama, BWS NT2 Kupang dan Pemerintahan Desa setempat bekerja sama melakukan pembayaran uang kompensasi, dengan harga 30 ribu satu meter. Akan tetapi simpang siur harga lahan mulai terjadi,  timbul saling curiga dan tidak percaya sehingga berpotensi memicu konflik. Harga lahan kisaran mulai dari 60 hingga 174 ribu satu meter.  

Pembayaran uang kompensasi tahap pertama sudah di lakukan, dengan besaran ratusan juta hingga miliar rupiah. Besaran pembayaran  uang kompensasi dilakukan 2 sampai 3 kali pembayaran, pembayaran pertama cenderung dengan jumlah yang besar, di Komunitas Ndora misalnya, pembayaran uang kompensasi yang pertama mencapai 3 miliar rupiah, sementara pembayaran kedua dan seterusnya semakin kecil. Sebagian besar yang sudah mendapatkan pembayaran uang kompensasi yakni penlok pertama, sementara penlok kedua kabarnya uang dari pusat belum cair, tetapi pembayaran kompensasi sudah berjalan. Wilayah Adat Ndora sebagain besar masuk pada penlok kedua, Komuntias Adat Ndora sementara ini terbilang masih aman, kebutuhan pangan masih bisa tercukupi dari wilayah kelola. Sedangkan di Suku Rendu sudah banyak hewan yang sengsara, rumput-rumput sudah tidak ada, pembangunan waduk sudah masuk ke kampung. 

Scroll to Top