Pengurus Harian Daerah (PHD)
Wilayah Pengorganisasian PHD Tilung Indung berada di Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan. PHD Tilung Indung didirikan semenjak 6 Oktober 2021 oleh sejumlah 32 Perempuan Adat yang bersepakat menciptakan sarana perjuangan mempertahankan Wilayah Adat. Kemudian pada 23 Desember 2021 PHD Tilung Indung di sahkan, sekaligus melaksanakan Temu Daerah untuk menentukan kepengurusan PHD Tilung Indung dengan mekanisme musyawarah dan memutuskan mandat kepengurusan sebagai berikut: Ketua: Rahmilawati, Sekretaris: Raisa Norlatifah dan Bendahara: Ridhatunnisa.
Persebaran anggota PHD Tilung Indung tersebar di delapan desa di Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Desa Pembakulan, Batu Perahu, Hinas Kiri, Juhu, Atiran, Murung B, Sumbai, dan Datar Batung. Anggota PHD Tilung Indung berasal dari 11 Suku, Suku Dayak Alai dan Balai Juhu, Balai Manta, Balai Buhul, Balai Batu Kambar ,Balai Kiyo, Balai Datar Batung, Balai Datar Batung, Balai Linau, Balai Sumbai, Balai Munjal Pagat/Balai Panatnya Mula Ada, dan Balai Harung Diwata/ Balai Peninggalan Datu Nene.
Anggota PHD Tilung Indung terbagi menjadi tiga kategori usia, yang sebagian besar adalah pemuda sebanyak 51,61% dari jumlah anggota, kemudian usia dewasa sebanyak 35,48%, lansia hanya 3,23% dan sebanyak 6,45% belum di ketahui. Sedangkan jenis pekerjaan anggota PHD Tilung Indung secara umum terdiri dari ibu rumah tangga, petani, wiraswasta, guru honorer, perangkat desa dan lain sebagainya. Di samping pekerjaan, anggota PHD Tilung indung juga memiliki kecakapan cukup beragam. Kecakapan paling banyak dimiliki yakni bertani sebanyak 74,19% dari jumlah anggota, kemudian kader penggerak Posyandu 22,58%, begitu juga dengan kader penggerak PKK 22,58%. Namun hanya sedikit saja yang memiliki pengetahuan tentang benih yakni sebanyak 3,23% dan Dukun Beranak sebanyak 3,23% dari jumlah anggota.
Selain itu, keberadaan kelompok-kelompok Perempuan yang ada di komunitas, kampung atau desa di PHD Tilung Indung sebagai berikut: sebagian besar kelompok arisan sebanyak 54,84%, PKK 41,94% dan organisasi keagamaan 6,45%. Termasuk arisan tenaga 3,23%, dan kelompok lainnya 9,68%, meliputi kelompok tani, Pemerintah Desa, panitia bantuan sosial dan lainnya. Sedangkan kelembagaan atau tokoh yang berpengaruh di komunitas, Kampung atau Desa antara lain: Pemangku Adat 74,19%, tokoh masyarakat 61,29%, tokoh agama 45,16%, dan pejabat/pemerintah setempat sebanyak 41,94% dari jumlah anggota. Dan yang terakhir adalah Pengalaman yang dimiliki sebagai berikut: pengalaman menjadi penanggung jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di komunitas sebanyak 45,16% dari jumlah anggota, selain itu pengurus organisasi sebanyak 19,35%, kemudian pengalaman mengikuti pelatihan 9,68%, ikut turun aksi demonstrasi 9,68% dan pengalaman lainnya 3,23%.
Letak Wilayah Adat
Wilayah Pengorganisasian PHD Tilung Indung berada di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Kami sering disebut Suku Meratus, yang memiliki dua sub suku yang berbeda. Di wilayah Timur disebut sebagai Dayak Alai dan wilayah Hantakan disebut dengan Dayak Labuan Amas. Nama kedua sub Suku tersebut diberi diambil dari nama sungai besar yang terbentang di sekitar wilayah masing-masing. Akses menuju komunitas Adat Dayak Maratus dan Dayak Alai sangat sulit dan belum memadai. sedangkan dua komunitas lainnya, komunitas Adat Juhu dan Komunitas Adat Aing Bantaidi Kecamatan Batang Alai Timur, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 14-20 jam. Di samping itu, masih banyak komunitas Adat yang belum masuk listrik dan jaringan sinyal telepon atau internet. Komunitas Adat tersebut berada di wilayah pegunungan.
Sejarah Suku Bangsa
Salah satu Komunitas Adat yang bergabung dengan PHD Tilung Indung yakni Komunitas Adat Juhu. Mengingat ada catatan tertulis masa lalu tentang Desa Juhu, orang pertama yang mendiami Desa Juhu adalah Datu Maujahku lahir pada tahun 1814. Nama Juhu merupakan nama salah satu sungai yang mengalir di wilayah tersebut, arti Juhu sendiri adalah sebuah kata atau istilah yang mengarah pada pengartian sejuk, jernih, bersih, alami, dan indah laksana permata yang terpelihara dengan baik. Sementara itu asal-usul Masyarakat Juhu merupakan kelompok yang masih satu kerabat dengan sub suku Daya Meratus Alay yang mendiami wilayah di sekitar hulu Sungai Alay dan merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan.
Desa Juhu hingga saat ini masih lestari terpelihara dengan baik, berkat adanya kerja sama antara kebijakan Kepala Desa dan Masyarakat Adat setempat. Kerja sama tersebut utamanya memelihara dan melindungi Hutan Adat dari kerusakan dan ancaman. Sebelum memisahkan diri, Desa Juhu dahulunya memiliki satu pembakal/pemimpin (menyediakan atau memberi bekal) dengan Desa Hinas Kiri. Kemudian sejak adanya pemekaran desa oleh pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Desa Juhu berdiri sendiri dengan Pemimpin pertamanya adalah bernama Maribut, beliau menjabat selama 10 tahun. Kemudian pembakal kedua di jabat oleh Ma’amun selama 10 tahun. Selanjutnya kepemimpinan di pegang oleh seorang pemimpin bernama Pinan yang menduduki masa jabatan yang paling lama yaitu 36 tahun.
Sejarah Masyarakat Komunitas Adat Juhu
Suku Bangsa Dayak Meratus memiliki asal-usul yang secara umum dikenal adalah suku Melayu Arkeis atau Purba seperti halnya suku anak dalam pegunungan Kerinci. Dahulu kala Suku Melayu Arkeis berdiam dan menguasai tepian pantai sekitar wilayah Kota Banjarmasin. Kemudian karena alasan ekonomi-politik, ketika zaman Majapahit dan Kesultanan Banjar, komunitas Adat Dayak Arkeis berpindah sebanyak 3 kali. Berpindah ke Kabupaten Martapura, kemudian ke Kabupaten Barabai lalu berpindah lagi ke Kabupaten Kandangan sampai kemudian menyebar mendiami wilayah Pegunungan Meratus.
Walaupun sedikit lebih kuno, namun kisah sejarah Masyarakat Adat Dayak Meratus dan peninggalan-peninggalan budaya sampai sekarang masih lestari. Seperti simbol parahu atau perahu dalam langgatan atau tempat sesajian/sesajen, juga tihang layar atau tiang layar yang menyimbolkan gambaran perahu di depan Balai. Secara umum suku Dayak Meratus memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa Banjar atau bahasa Dayak di Kalimantan pada umumnya, yaitu Bahasa Dayak Meratus yang merupakan rumpun tertua dari bahasa Melayu saat ini.
Suku Dayak Meratus adalah sub suku Ngaju yang pada masa lalu bermigrasi ke Pegunungan Meratus. Hal itu buktikan dengan kesamaan tradisi ladang berpindah di pegunungan yang sampai sekarang masih dijalankan. Termasuk sebutan pemimpin Adat yakni Balian, serta beberapa kemiripan kepercayaan setempat dengan Dayak di Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur.
Walaupun demikian sebutannya Balian sebenarnya juga bukan hanya di Kalimantan, namun juga di Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Seorang Belian memiliki fungsi Adat hampir mirip terutama dalam hal pengobatan secara metafisik. Pengobatan dilakukan dengan sebuah upacara pengobatan tradisional Dayak Meratus atau disebut Betandik. Masyarakat asli juhu juga memiliki kemiripan dalam melakukan ritual Adat dengan tradisi di Jawa dan terutama di Aceh Gayo, dari mulai mantra, tarian, daun muda pohon aren menjadi prasyarat utama ritual. Perempuan Adat dalam upacara religius memiliki peran utama dan juga dalam pengelolaan ladang, kebun, penyiapan sesajen ritual, dan perlengkapan lainnya di komunitas.
Pola Pemukiman
Masyarakat adat Dayak Meratus tinggal dalam dua model pemukiman sekaligus, yang pertama yaitu sistem lingkungan Balai, masing-masing umbun atau keluarga batuh memiliki bilik yang mengelilingi Balai. sehingga model pemukiman bersifat solid dan saling terkait. Selain itu, sangat dimungkinkan terjadi kesatuan aktivitas dan konsolidasi selalu diselenggarakan. Model perumahan Meratus semacam ini juga disebut sistem rumah besar (Big House), berbeda dengan kebanyakan Dayak di Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur yang cenderung memiliki model rumah panjang (Long House).
Sistem yang kedua yaitu sistem lingkungan pondok, setiap umbun/keluarga memiliki pondok atau gubuk di ladang masing-masing. Sistem pondokan ini menuntut struktur rumah semi permanen karena pada dasarnya pondok mengikuti Pahumaan atau landang berpindah (gilir-balik). Oleh karenanya secara umum Pondok bersifat menyebar sesuai dengan sebaran ladang masing-masing umbun. Dalam kebiasaan yang umum, setiap umbun lebih banyak menghabiskan waktunya di Pondok daripada dalam Balai, terutama untuk menjaga Pahumaan dari gangguan hewan atau burung pada waktu tumbuh biji padi.
Sejak tahun 1970-an, terutama setelah pecahnya konfrontasi dengan Negara Malaysia, pemerintah menerapkan program gerakan resettlement atau pemukiman kembali karena Komunitas Adat Maratus dianggap wilayah tertinggal terutama di pegunungan. Pemerintah membangun rumah hanya untuk satu kepala keluarga, jadi tidak lagi beberapa kepala keluarga tinggal dalam satu balai atau rumah yang sama. Sejak saat itulah mekanisme ruang yang di miliki Komunitas Adat Dayak Meratus berubah seiring dengan perubahan dinamika masyarakat. Kemudian pada tahun 1978, program resettlement kembali dilakukan, program ini hanya menyediakan hanya rumah, sebagian kebutuhan disediakan secara swadaya, seperti sistem pengairan dan lainnya. Pemukiman dibagi dalam beberapa bangunan, terdiri dari kompleks sekolah, beberapa rumah permanen, Balai Adat dan bangunan lainnya.
Bentang Alam
Bentang Alam PHD Tilung Indung merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan tropis, oleh karenanya flora di Komunitas Adat Juhu didominasi oleh vegetasi hutan hujan tropis. beberapa jenis jenis pohon keras yang ada di hutan seperti meranti, ulin dan damar yang mendominasi hutan di Meratus. Wilayah Adat Meratus berdekatan dengan garis khatulistiwa sehingga menunjang keragaman flora fauna di dalamnya. Kerapatan (jarak antara satu pohon dengan pohon lainnya) di hutan tropis sangat tinggi. Hal ini dipengaruhi dengan intensitas hujan, kanopi-kanopi tinggi dan paparan sinar matahari yang banyak. Pada daerah yang berbukit-bukit sering kali cuaca menjadi lebih ekstrim. Hal ini mendorong adaptasi pada kehidupan di dalamnya.
Iklim di wilayah Pegunungan Meratus masuk dalam klasifikasi Iklim A, yakni wilayah tropis. Curah hujan rata-rata di Pegunungan Meratus lebih dari 3000 mm dengan suhu berada di atas 18 derajat celcius dengan rata-rata suhu 24 derajat celcius pertahun. Secara geomorfologi, Wilayah Adat Juhu terletak di pegunungan Meratus dengan sedikit landai dan didominasi dengan lereng bergelombang yang puncaknya mengarah ke pegunungan besar yakni Pegunungan Meratus.
Puncak tertinggi wilayah pegunungan Meratus adalah Gunung Besar dengan ketinggian 1.904 mdpl, puncak Kilai 1411 mdpl, sementara itu pemukiman di rata-rata berada di ketinggian 450 mdpl. Jenis tanah di wilayah komunitas di dominasi oleh Podsolik dengan kandungan sedikit pasir. Tanah jenis ini dibagi dalam dua kelompok berdasarkan warna, kekuning-kuningan dan warna gelap. Warna tersebut menggambarkan tingkat kandungan hara yang ada di dalamnya.
Wilayah Kelola Komunitas Adat Maratus
Perempuan Adat Maratus melihat hutan itu sangat penting bagi kehidupan, kenapa disebut penting? hutan merupakan sebagai wilayah kelola yang menopang keberlangsungan hidup. Dengan adanya hutan kami bisa berladang, mencari kayu bakar, berburu, mencari obat-obatan dan mencari kebutuhan lainnya. Perempuan Adat tidak setuju kalau wilayahnya diambil alih oleh pihak perusahaan ataupun para oknum lainnya yang mengambil hak-hak Masyarakat Adat. Jika saja kawasan hutan Adat diambil alih maka akan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan Masyarakat Adat. Itu artinya hilangnya layanan alam.
Sebagai Perempuan Adat kami juga belajar dan merasakan dari dampak perusahaan, terutama ketika berkunjung ke daerah lain yang wilayahnya sudah dikuasai perusahaan. Di sana, perusahaan banyak memicu bahkan sumber masalah. Perusahaan tambang batu menghabisi Hutan Adat, perkebunan kelapa sawit dan pemukiman transmigrasi. Harapan kami hutan selalu dijaga karena hutan adalah surga bagi kami semua.
Pemerintah wajib memperhatikan dan menghormati keberadaan Masyarakat Adat terutama hak atas wilayah kelola. Salah satu dari sekian banyak fungsi hutan adalah tempat menikmati berbagai jenis buah-buahan lokal. Seperti buah baluan (rambutan hutan), baramban (buahnya seperti buah karet), binjai (mangga hutan), binturong (seperti sukun), durian, dandali (buah di akar pohon), hambawang (mangga hutan), hampalan (mangga hutan), jari-jari, Gitaan (kapul hutan), kambayau, kapayang (buah sayur seperti kelapa) dan seterusnya.
Kemudian jenis burung di antaranya, enggang, tanghulu, elang ga’ak, haruai, walet, matah bulu (cacak), punai sipang, tuntukun, ambasan, cakuras, burung api, parigam, bayinah, ala-alak, bakuwak, karawiling, siyau, hawat, suwit, karahiyang, tanasak( kulibri), lincang kuning, dan punai. Sedangkan Hewan buruan antara lain: babi, kijang, menjangan, pelanduk, tanggiling, biawak, warik, bangkui, undau uwa-uwa, landak, angkes, biyuntung, ripung, dan saat (sadu). Hewan buruan menjadi salah satu sumber utama dalam memenuhi kebutuhan protein Masyarakat Adat.
Selain itu, wilayah kelola sungai juga berfungsi sebagai sumber protein yang tak kalah penitng. Di sungai ialah tempat mendapatkan berbagai ikan, mulai dari ikan karayau, pintit (lele), masapi, saluwang, pangkul, tandikit, udang, katai (kepiting), bilis dan seterusnya. Termasuk terdapat berbagai Jenis kodok yaitu kodok yaung, lumpuh, langkaran, lincap, dan lampinik. Kemudian Jenis ular piton, tadung, mangkilalangan, tanggal bajud, ripung, dan tatak emas. Hewan-hewan yang tidak tidak diburu juga memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan Adat.
Pengetahuan Perempuan Adat Maratus
Perempuan Adat memiliki pengetahuan dalam pengobatan tradisional, dengan menggunakan berbagai jenis tumbuhan yang tumbuh di dalam wilayah kelola Masyarakat Adat Maratus. Jenis tumbuhan atau pohon yang biasa dimanfaatkan seperti kayu ulin (obat stamina), bangaris (obat stamina), wawangan (pengharum air aren), halinjuang (obat sakit perut), rukam (sakit perut), gilinggang (gatal-gatal), arau (penyakit kuning), seluang bilun untuk obat pegal. Pengobatan menggunakan berbagai tumbuhan hutan sering kali didahului dengan pengobatan supranatural, seperti menggunakan air putih dari gunung yang dimamang atau melalui pengobatan yang disebut Bahayaga atau supranatural, serta Dialini.
Peran Perempuan Adat di Ladang
Keterlibatan Perempuan Adat dalam berladang cukup dominan. Mulai dari proses membersihkan ladang, kemudian mengumpulkan dedaunan dan ranting-ranting kayu kemudian di bakar dan seterusnya. Proses pembersihan ladang membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 20 sampai 30 hari. Alat dan bekal yang sering Perempuan bawa ke ladang yakni parang, air, nasi, lauk dan lainnya. Sesudah dibersihkan, kemudian dilakukan ritual menugal atau menanam bibit padi.
Pada saat penanaman bibit padi, Perempuan Adat biasa menyiapkan bahan ritual terlebih dahulu, bahan tersebut berupa sagu, kelapa, gula merah, ketan, beras, telur, buah pisang yang matang, kunyit, kayu halinjuang, daun enau yang masih muda dan ayam hidup. Selain menyiapkan sesajin Perempuan Adat juga mengelompokan bibit padi dengan sesuai jenisnya. Setelah itu, Perempuan ikut menabur bibit padi ke dalam lubang tanah yang sudah dilubangi oleh para laki-laki menggunakan sebatang kayu yang diruncingkan, lalu di tancap kan ke tanah, dengan jarak masing-masing lubang sekitar 15-20 cm.
Ketika selesai menanam bibit, biasanya 1 sampai 2 bulan padi tersebut akan ditumbuhi rerumputan sehingga menghambat pertumbuhan padi. Saat itu juga Perempuan Adat membersihkan rumput. Sesudah membersihkan rumput biasanya menunggu 1 sampai 6 bulan padi baru matang atau siap untuk dipanen. Selebihnya keterlibatan perempuan di ladang seperti memasak, panen dan juga dalam ritual panen.
Ladang Berpindah Komunitas Adat Bahuma
Ladang berpindah bagi masyarakat Dayak Meratus merupakan bagian dari satu aturan adat pertanian setempat yang disebut Bahuma. Bahuma merupakan bagian integral dan merupakan nilai-nilai dasar kepercayaan lokal yang disebut Kepercayaan Balian. Perladangan dalam masyarakat adat Dayak Meratus bukan hanya hanya pekerjaan menghasilkan padi untuk dimakan. Namun merupakan falsafah kehidupan dari ajaran kepercayaan Balian di mana masyarakat yang merupakan bagian dari keturunan Datuk Ayuh, pengemban jalan hidup berladang melalui nilai-nilai perpindahan.
Kegiatan ladang berpindah dijalankan sesuai dengan aturan dan kebiasaan yang hidup sejak lama. Tradisi ladang berpindah yang berlangsung seiring dengan kepercayaan dan budaya masyarakatnya menjadi nilai yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan adat menjadi alternatif bagi konservasi hayati yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat Adat yang terbukti selama ratusan tahun mampu mempertahankan kelestarian di sekitarnya.
Sistem Tumpang Sari dalam Adat Bahuma/ladang
Di Pahumaan atau ladang memiliki sistem tanam tumpang sari. Jenis padi dalam Pahumaan bermacam-macam, padi umumnya dibedakan berdasar ukuran butir padi, besar dan kecil. Padi besar disebut dengan Padi Banta’I atau padi ukuran berat, yang biasanya menjadi syarat untuk upacara panen yang disebut Ba Aruh atau Aruh, padi jenis ini merupakan tanaman utama di Pahumaan, yang dipanen dalam lima bulan sekali. Kemudian padi kecil atau padi halus, padi kecil yang merupakan tanaman padi sampingan, yang biasa panen dalam 3,5 bulan sekali.
Kemudian ada beberapa varietas padi lokal: Padi Singkar, Buyung, Patiti, Cangu dan Bayumbung. Termasuk juga beraneka jenis padi Lakatan atau beberapa ketan lokal di antaranya: Kopas, Pading, Tikmas, Harang, Linau, dan Urik. Biasanya beraneka jenis ditanam berbarengan pada satu musim, dalam satu ladang terbagi menjadi empat blok yang masing-masing ditanam jenis padi yang berbeda-beda. Cara semacam ini efektif untuk mencegah atau antisipasi kegagalan panen yang lebih besar, jika seandainya satu jenis padi gagal panen, maka jenis lainnya masih ada kemungkinan tidak gagal.
Selain tanaman padi, Pahumaan biasanya dipenuhi dengan tanaman lainnya seperti aneka buah-buahan (pisang, tarap, nangka, sirkaya, kastila atau papaya, semangka), aneka sayuran (walu /labu, kacang tanah, timun, bayam, kacang panjang, sawi, kara). Termasuk juga aneka umbi-umbian: berbagai jenis ketela. Termasuk aneka tanaman obat-obatan, seperti tebu, kayu manis, bahkan tembakau untuk konsumsi rumah tangga. Pengetahuan berladang secara tumpang sari umumnya dikuasai oleh Perempuan Adat Maratus.
Peran Perempuan Adat dalam Ritual
Keterlibatan Perempuan Adat dalam upacara atau ritual Adat selain menyiapkan sesajen, Perempuan Adat juga maringgit (membuat hiasan dari daun enau muda). Selain itu, satu sampai dua hari sebelum mengadakan ritual, biasanya Perempuan juga menyiapkan bahan ritual yang didapatkan dari ladang ataupun sekitar permukiman. Seperti kencur, halinjung, daun sirih, daun enau dan lainnya.
Setelah semua perlengkapan bahan ritual sudah disiapkan, pada hari akan melaksanakan ritual biasanya Perempuan Adat memasak wadai-wadaian, mengolah ringitan dari daun enau atau daun biru dan juga mengolah bubur dari tepung. Ketika ritual akan dilaksanakan, pekerjaan Perempuan Adat makin banyak, terutama dalam menyiapkan kebutuhan ritual Adat, seperti menyediakan air gula merah, nasi ketan (lamang) dalam bambu buluh, ayam hidup dan juga sembari mengiringi Balian (Bapanjulang/Patati).
Keterlibatan Perempuan Adat dalam Musyawarah Desa
Keterlibatan Perempuan Adat dalam musyawarah desa cukup aktif, terutama dalam proses pengambilan keputusan dan juga merancang kebijakan pemerintahan desa. Namun tidak semua Perempuan Adat bisa terlibat, di beberapa tempat dalam musyawarah desa masih ada di mana tugas Perempuan Adat hanya memasak ataupun menyiapkan konsumsi saja. Karena itu, masalah tersebut menjadi semangat bagi Perempuan Adat mendirikan PHD Tilung Indung sebagai sarana perjuangan, salah satunya memperjuangkan keterlibatan Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
Perempuan Adat Mempertahankan Wilayah Adat
Perubahan Masyarakat Adat melalui intensitas interaksi dengan dunia luar membawa akibat pada budaya dan pandangan hidup. Sehingga mempengaruhi perilaku dalam menjalankan kebiasaan Masyarakat Adat. Satu contoh dari sekian banyak contoh, kebutuhan akan uang tunai untuk biaya pendidikan atau gaya hidup baru yang tidak bisa dipenuhi oleh lingkungan alam setempat, akan membawa pengaruh kurang baik bagi Masyarakat Adat dalam melihat kebiasaan ladang berpindah misalnya. Termasuk juga tekanan populasi atau pergeseran keyakinan akan mengubah tujuan dari kegiatan ladang berpindah. Perubahan ladang berpindah dari tujuan Adat sebagai usaha subsisten, yang mana padi dilarang dijual, lebih mengutamakan memenuhi kebutuhan sendiri. Kehidupan modern akan mendesak Masyarakat Adat sebagai peladang menjadi petani yang berorientasi pada uang tunai, dengan mengubah pola tanam dengan penggunaan pupuk pabrikan.
Demikian lah hal tersebut diperkuat dengan ancaman lain yang ada di komunitas yaitu larangan membakar lahan. Larangan tersebut bersamaan dengan amat mudah sekali izin konsesi, pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Hal ini sangat mengganggu keseimbangan kehidupan masyarakat Adat Dayak Meratus terutama bagi Perempuan Adat. Karena wilayah kelola mengalami kerusakan bahkan wilayah kelola Perempuan Adat tidak bisa lagi diakses sama sekali. Dampak dari rusaknya ekosistem itu juga salah satunya kenapa ritual Adat tidak mungkin lagi dilakukan, karena hubungan dengan alam sudah di putus.
Perempuan Adat melalui PHD Tilung Indung aktif melakukan komunikasi dan terlibat dalam merancang kebijakan dan keputusan dalam kegiatan musyawarah maupun diskusi lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kader Perempuan Adat yang menjadi Kepala Desa, BPD, Pengurus Lembaga Adat, dan Pemerintahan Desa di wilayah masyarakat adat.
Perempuan Adat kini berani menyampaikan pendapat di depan publik dan menyampaikan aspirasi, seperti dalam mendesak percepatan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, penolakan izin-izin tambang, maupun aktif mengikuti kegiatan yang ada di tingkat desa, kecamatan, dan di kabupaten.
Termasuk menjaga ekosistem alam semaksimal mungkin dari tangan-tangan yang merusak, serta secara sosial mampu mewariskan nilai-nilai Adat pada generasi selanjutnya. Nilai sosial yang diturunkan ke generasi mendatang disebut nilai imaterial sementara keberadaan biotik dan abiotik disebut nilai material. Seperti budaya ladang berpindah sebagai corak pertanian tradisional yang memanfaatkan sistem rotasi dalam model penggarapan lahan. Ladang berpindah diindikasikan dengan ladang tanpa irigasi, termasuk pupuk kimia dan obat pestisida kimia. ladang merupakan ekonomi subsisten. Begitu juga dengan aturan sosial yang dilakukan oleh Masyarakat Adat diantaranya:. (1) Balian Tuha /Guru Jaya, Kepala Balian, Kepala Adat dan Balian muda dipilih karena peranan kepercayaan adat sangat kuat pada ladang berpindah. (2) Pembekal atau Kepala Desa dan aparat desa memiliki informasi yang luas tentang data penduduk, termasuk perkembangan masyarakat menyangkut perubahan politik, sosial, dan ekonomi. (3) Peladang dengan rumah tetap dan yang hanya tinggal di gubuk ditunjuk untuk memahami perkembangan ladang. (4) lingkungan sekitar. (5) Tetuha/tokoh Adat atau sesepuh desa. (6) Anggota pendatang, Perempuan dan pemuda setempat memiliki informasi yang berharga tentang gambaran adat, sosial budaya dan perkembangan. Salah satu budaya yang sangat dipercaya mampu menangkis segala penyakit yang disebabkan oleh kesalahan tingkah laku dalam Adat Bahuma dan ilmu-ilmu perdukunan seperti tenung, dan guna-guna atau Bahayaga.
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954