Pengurus Harian Daerah (PHD)
Wilayah Pengorganisasian (WP) PHD Tano Batak berada di Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. PHD Tano Batak didirikan sejak 11 Januari 2017 oleh sejumlah 42 (empat puluh dua) Perempuan Adat yang berasal dari suku Batak dan Batak Toba. PHD Tano Batak didirikan sebagai sarana memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat, termasuk Perempuan Adat. Perempuan Adat tersebut berasal dari tiga komunitas Adat, yakni Komunitas Adat Tukko Nisolu, Matio dan Simahenak-henak.
Saat ini, anggota PHD Tano Batak berjumlah 66 (enam puluh enam) Perempuan Adat yang terbagi dalam tiga kategori usia, sebagian besar masuk kategori usia dewasa sebanyak 68,18% dari jumlah anggota, lansia 16,67% dan sebanyak 12,12% pemuda. Selain itu, anggota PHD Tano Batak sebagian besar berasal dari Komunitas Adat Tukko Nisolu, yakni sebanyak 66,67% dari jumlah anggota, sedangkan dari Komunitas Adat Matio sebanyak 24,24%, dan 13,64% berasal dari Komunitas Adat Simahenak-henak. Sementara persebaran anggota PHD Tano Batak tersebar di empat Desa di Kecamatan Habinsaran, yakni Desa Tukko Nisolu, Simahenak-henak, Parsoburan Barat dan Matio.
Anggota PHD Tano Batak hampir semua bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 93,94% dari jumlah anggota. Begitu juga dengan kecakapan yang dimiliki, sebanyak 81,82% memiliki kecakapan bertani. Kemudian kecakapan lainnya ialah memiliki kecakapan dan pengetahuan tentang benih sebanyak 22,73% dan 3,03% penggerak Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Program Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Kemudian, kelompok-kelompok Perempuan di WP PHD Tano Batak sebagian besar anggota mengatakan ada kelompok arisan sebanyak 66,67% anggota. Sedangkan Pengurus Adat 6,06%, organisasi keagamaan 4,55%, PKK 3,03%, dan 1,52% arisan tenaga. Sementara itu, kelompok atau tokoh yang memiliki pengaruh di WP PHD Tani Batak di antaranya hampir semua anggota menilai “tokoh masyarakat” yang paling banyak memiliki pengaruh, yakni 92,42% anggota menilai demikian. Kemudian tokoh agama 46,97%, pejabat atau pemerintah setempat 46,97% dan Pemangku Adat sebanyak 19,70% anggota.
Kemudian pengalaman yang dimiliki anggota PHD Tano Batak sebagian besar ialah pernah mengikuti aksi demonstrasi sebanyak 66,67%. Selain itu, pengalaman menjadi bagian dari kelembagaan Adat hanya 3,03%, penanggung jawab ritual atau upacara Adat 3,03%, serta pengalaman mengikuti beberapa pelatihan sebanyak 3,03%, dan hanya 1,52% anggota yang punya pengalaman mengurus organisasi. Salah satu Komunitas Adat yang paling aktif di PHD Tano Batak yakni Komunitas Adat Matio, terutama dalam kegiatan penggalian data Sustainable Development Goals (SDGs).
- Komunitas Adat Matio
Berdasarkan penggalian data SDGs yang dilakukan PHD Tano Batak di Komunitas Adat Matio memiliki wilayah kelola berupa sawah, ladang, kebun, dan kolam ikan. Setiap keluarga memiliki luasan wilayah kelola yang berbeda-beda, luasan sawah Komunitas Adat Matio bervariasi dari 1.000 m2 hingga 150.00 m2. Kemudian, ukuran kebun yang dimiliki dari 200 m2 hingga 20.000 m2. Sebagian besar atau 58,8% anggota Komunitas Adat Matio memiliki seluas 10.000 m2, sementara wilayah kelola lain luasannya belum diketahui secara pasti.
- Pemenuhan Pangan Komunitas Adat Matio (Kebutuhan Lauk, Sayuran dan Buah-buahan)
Sumber karbohidrat yang utama didapatkan dari sawah, yakni beras sawah. Semua anggota Komunitas Adat Matio sebanyak 100% mengonsumsi beras sawah. Sementara beras ladang, sagu, jagung, sorghum, dan umbi-umbian lainnya jarang di konsumsi. Sebagian besar atau 89,5% beras sawah yang di konsumsi sehari-hari didapatkan dari hasil tanam sendiri. Termasuk jagung yakni sebanyak 83,3% dari hasil tanam sendiri dan umbi-umbian 84,2%. Komunitas Adat Matio cukup berdaya dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan sumber pangan karbohidrat, karena sebagian besar dari kebutuhan tersebut dipenuhi dari perolehan hasil tanam sendiri.
Sumber menghasilkan kebutuhan lauk, sayuran dan buah-buah cukup beragam. Sebagian banyak mendapatkan lauk dengan cara membeli, yakni sebanyak 95%. Sementara, hanya 5,3% mendapatkan lauk dari hasil ternak sendiri. Kemudian kebutuhan sayuran sebagian besar didapatkan dari kebun, yakni sebanyak 93,8%. Sangat jarang sayuran yang didapatkan dari sawah dan rawa. Kebalikan dari pemenuhan kebutuhan lauk, kebutuhan sayuran sangat jarang didapatkan dengan cara membeli, yakni sebanyak 93,8% responden. Kemudian kebutuhan buah-buahan sebagian besar didapatkan dari hasil kebun, 88,9% responden menjawab demikian, sedangkan sumber lainnya sangat jarang.
Komunitas Adat Matio tidak pernah mengalami krisis pangan, tidak pernah mengalami kekhawatiran tidak ada pangan karena tidak ada uang tunai. Meskipun tidak memiliki uang tunai, komunitas Adat Matio tetap makan makanan bergizi dan tidak pernah tidak memutuskan tidak makan karena tidak ada uang tunai.
- Bahan Bakar Keluarga
Sumber bahan bakar yang sering digunakan ada tiga, yakni LPG (Liquefied Petroleum Gas) ukuran 3 kilo gram, minyak tanah dan kayu bakar. Sebanyak 70% responden menjawab menggunakan LPG , sedangkan minyak tanah 65% dan kayu bakar 65%. Hutan dan kebun merupakan tempat mencari kayu bakar yang utama.
- Pemenuhan Uang Tunai
Segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidup Komunitas Adat Matio sebagian besar mengandalkan sumber-sumber kehidupan atau sumber daya alam, terutama pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau penghasilan non-tunai. Akan tetapi, di samping memanfaatkan alam untuk kebutuhan keberlangsungan hidup, Komunitas Adat Matio juga mendapatkan penghasilan uang tunai, terutama dari kebun, sebanyak 94,7% responden. Selain itu, sumber penghasilan uang tunai lainnya ialah usaha kerajinan dan bisnis skala kecil, namun semua responden menyatakan bahwa usaha kerajinan sebagai sember penghasilan yang utama. Komunitas Adat Matio lebih mengandalkan sumber penghasilan non-tunai ketimbang tunai. Karena itu, sumber kehidupan yang teramat penting adalah alam.
- Sumber Air
Pada saat musim hujan, sebanyak 100% responden di Komunitas Adat Matio menggunakan sumber air sebagai sumber yang paling utama. Adapun sumber-sumber lain seperti ledeng dengan atau tanpa meteran, sungai, sumur, air isi ulang, dan air hujan jarang digunakan Komunitas Adat Matio untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga pada saat musim panas, sumber air yang digunakan ialah mata air. Sebanyak 100% responden menjawab demikian. Sama halnya dengan sumber lainnya pada saat musim hujan, jarang digunakan.
Sungai merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan air, akan tetapi sebanyak 40% responden menilai sungai sudah tercemar. Kemudian sebanyak 100% menjawab bahwa sebagian besar Komunitas Adat Matio masih membuang limbah cair dari rumah tangga ke got/solokan. Karena itu, air sungai tidak aman lagi di konsumsi bagi kebutuhan rumah tangga.
- Kriminalisasi Membakar Ladang
Praktik membakar lahan merupakan budaya Adat komunitas Adat Matio, akan tetapi budaya membakar landang tidak lagi di lakukan, karena pemerintah telah melarang praktik membakar ladang. Sebagian besar kini tidak lagi melakukan membakar ladang, hanya 10% responden yang masih melakukannya. Akan tetapi, meskipun ada larangan membakar ladang, hingga saat ini belum ada penangkapan atau denda kepada anggota Komunitas Adat Matio yang membakar ladang.
- Kekerasan terhadap Perempuan Adat
Sekitar 85% anggota Komunitas Adat Matio menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan oleh suami atau pacar. Dari jumlah tersebut, 15% responden mengatakan kekerasan seksual dan fisik 10% dilakukan oleh suami, termasuk pacar. Begitu juga kekerasan fisik atau seksual oleh anggota komunitas itu sendiri. Di samping itu, sebanyak 75% menyatakan bahwa setidaknya 10% Perempuan Adat mengalami kekerasan dari luar Komunitas Adat.
- Kegiatan PHD Tano Batak
Satu dari sekian banyak kegiatan PHD Tano Batak ialah kegiatan Swadaya pangan yang didukung oleh PB AMAN dan PEREMPUAN AMAN dengan sistem dana bergilir. Kegiatan ini bertujuan membangun kerja secara kolektif dalam bentuk kebun kolektif untuk memperkuat kebersamaan dan menciptakan kedaulatan pangan. Kebun swadaya pangan ini di mulai sejak tahun 2021, ketika masa Pandemi Covid 19.
Meskipun PHD Tano Batak tidak memiliki lahan garapan, kebun kolektif sempat berjalan satu tahun. Lahan yang digunakan untuk kebun kolektif ialah lahan garapan ketua PD AMAN yang dipinjamkan kepada PEREMPUAN AMAN dengan luasan 1 hektare. Lahan tersebut berada di Komunitas Adat Matio, sayangnya lahan tersebut kurang subur, karena lahan merupakan lahan bekas perkebunan Ekaliptus milik PT. Toba Pulp Lestari. Karena itu, kebun kolektif mengalami gagal panen, bahkan modal menggarap lahan saja tidak kembali modal. Tanaman yang ditanam di kebun kolektif salah satunya jagung.
Di samping kegiatan kebun kolektif, PHD Tano Batak juga mengadakan arisan rutin dan pertemuan rutin, paling tidak setiap tiga bulan sekali. Arisan dilakukan untuk menyiapkan tabungan atau uang kas PHD Tano Batak. Patungan uang ditujukan untuk biaya operasional kegiatan PHD Tano Batak. PHD Tano Batak sering kali diundang untuk hadir dalam berbagai kegiatan, misalnya untuk kegiatan rapat di kantor AMAN Tano Batak. Pertemuan rapat tersebut berisi kegiatan evaluasi dan refleksi Komunitas Adat terkait kegiatan yang sudah dilakukan. Selain pengurus, dalam rapat tersebut juga melibatkan anggota PDH Tano Batak. Termasuk membahas masalah-masalah yang dihadapi Masyarakat Adat, salah satunya membahas PT. Toba Pulp Lestari (TPL) perkebunan eucalyptus yang mengubah ruang hidup Masyarakat Adat Tano Batak.
Masalah yang dihadapi dan Perlawanan Masyarakat Adat
- Toba Pulp Lestari (TPL) telah mengalihfungsikan Hutan Adat untuk kepentingan memproduksi kertas, minyak kayu putih, dan triplek. Karena itu, kebiasaan menanam Padi ladang serta Ritual Adat hilang bersamaan hilangnya basis material kebudayaan Masyarakat Adat yakni Hutan Adat. Hutan Adat telah direbut oleh TPL sejak zaman Belanda, namun perlawanan dari Masyarakat Adat bertahan hingga saat ini. Misalnya saja, terhitung dalam rentang waktu delapan tahun belakangan ini komunitas Adat Matio tidak pernah pasrah dan tidak rela kehilangan Hutan Adat. Karena itu Komunitas Adat Matio tidak memberikan izin alih fungsi Hutan Adat kepada TPL. Bahkan jalan menuju komunitas Adat Matio dijaga ketat agar pihak TPL tidak bisa masuk ke wilayah Adat Komunitas Adat Matio. Ketika ada yang hendak masuk, maka mereka akan segera di usir saat itu juga.
Wilayah Adat Komunitas Adat Matio berada di tengah-tengah kepungan perkebunan monokultur eucalyptus, dampaknya menurunnya kesuburan tanah pertanian Komunitas Adat MAtio. Sehingga berbagai jenis tanaman perlu tamabahn pupuk kimia agar tanaman tumbuh. Hingga akhirnya Komunitas Adat Matio sangat tergantung dengan penggunaan pupuk kimia, akan tetapi, meski menggunakan pupuk kimia tidak menjamin hasil pertanian subur, malah sering kali gagal panen. Akibatnya, daya ekonomi semakin melemah. Di samping itu, Komunitas Adat Matio juga mengalami kesulitan mencari bahan-bahan untuk Ritual Adat. Seperti air bersih, tumbuhan di Hutan, binatang buruan dan seterusnya.
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- rumah-pa@perempuanaman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954