PHD Sipora Mentawai

Pengurus Harian Daerah Regional Sumatera
Pengurus Harian Daerah (PHD) PEREMPUAN AMAN (PA) Sipora

Wilayah Pengorganisasian PHD Sipora berada di Pulau Sipora, salah satu pulau di kabupaten kepulauan Mentawai yang berdiri pada 12 Oktober 1999 melalui UU RI No. 49 Tahun 1999. Pulau Sipora yang terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu kecamatan Sipora Utara dan Sipora Selatan. Sedangkan, posisi Pulau Sipora berada di tengah-tengah antara Kepulauan Pagai dan Pulau Siberut dan berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Di pulau ini pula terletak ibu kota kabupaten Kepulauan Mentawai, yaitu Tua Pejat. Hampir seluruh pulau ini merupakan hamparan hutan yang lebat dan terdiri dari rawa, sungai, pesisir pantai serta pegunungan. Hutan menjadi tempat berburu Masyarakat Adat karena banyaknya berbagai jenis hewan, seperti babi, monyet, ular dan lain sebagainya. Begitu juga dengan laut yang menyediakan kebutuhan hidup Masyarakat Adat di pulau terkecil di kabupaten kepulauan Mentawai ini.

Sumber- ArcGis Enterprise momi.minerba.esdm.co.id

Namun, sejak pemerintah menetapkan hutan sebagai hutan lindung, Masyarakat Adat di Sipora tidak leluasa lagi untuk masuk dan memanfaatkan hutan untuk keberlangsungan kehidupan. Belum lama ini, pada tahun 2020, pemerintah mengukuhkan kawasan hutan dengan keluarnya SK No. 6599/MENLHK-KUH/PLA.2/10/2021). Bahkan sebelum itu, pada 2013 hektare Menteri kehutanan telah mengeluarkan SK No. 35 yang berisi penetapkan kawasan hutan seluas 2.380.058 (dua juta tiga ratus delapan puluh lima puluh delapan juta). Berdasarkan data BPS pada tahun 2018, luas hutan di Pulau Sipora Selatan seluas 54.931,86 dan luas hutan Sipora Utara 42. 037,73, itu artinya luas hutan menjadi berkurang secara drastis. 

Pulau Sipora dihuni oleh Masyarakat Adat yang secara umum memiliki pengaturan ruang hidup didasarkan pada garis keturunan patrilineal yang disebut Uma (suku). Kelompok keturunan Uma tinggal satu rumah berukuran besar, dengan penghuni 30 sampai 80 orang dari 5 sampai 10 keluarga monogami yang disebut sebagai lalep. Masyarakat Adat Mentawai hidup di sepanjang aliran sungai, pantai dan di hutan. Begitu juga dengan kepemilikan tanah yang didasarkan atas keturunan Uma. Di sisi lain, Uma mewakili sebuah struktur yang egaliter tanpa ada bentuk tekanan dari hierarki politik atau pola kepemimpinan yang terorganisir dan setiap Uma memiliki otonomi. 

Masyarakat Adat Mentawai memiliki corak hubungan yang egaliter, termasuk juga Masyarakat Adat Sipora. Hal itu ditandai  dengan kenyataan bahwa bagi semua anggota Uma dewasa memiliki hak yang sama, kedudukan yang sama dan setara. Setiap keputusan di tingkat Uma dibicarakan melalui diskusi terbuka dan memakan waktu yang lama, bahkan hingga berbulan-bulan. Prinsip egaliter juga tidak jarang menyebabkan konflik yang kemudian diakhiri dengan perpecahan Uma. Setelah perpecahan, kemudian pembentukan Uma baru yang dilakukan oleh kelompok yang menyingkir ke lembah-lembah dan menunjuk Uma baru. Nama Uma biasanya diambil dari nama tempat tinggal, sungai, gunung, kayu yang dominan dan lain sebagainya.

Peraturan daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai No 11 Tahun 2017 yang bertujuan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap Uma sebagai kesatuan Masyarakat Adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pemerintah mengakui Uma dan menjamin hak-hak komunal dan perlindungan berdasarkan Uma. Uma ialah satuan komunitas dalam budaya Mentawai yang secara filosofi mengatur relasi antara individu maupun kelompok, termasuk mengatur hubungan manusia dengan alam. 

Masyarakat Adat Mentawai memiliki spesialis dalam kebudayaan yang disebut Sikerei, yaitu semacam dukun atau orang yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit yang diderita. Masyarakat Adat Mentawai berpandangan, Masyarakat Adat yang mengalami sakit itu merupakan pertanda ketidakseimbangan antara roh dan jasmaninya. Sikerei menjadi perantara kehidupan manusia dengan roh-roh tersebut. Sikerei bertugas  mengembalikan keseimbangan antara roh dan jasmani. Tidak semua orang bisa menjadi Sikerei. Seorang Sikerei harus melewati ritual khusus dan pantangan yang sangat berat. Sikerei merupakan figur penting dalam kepercayaan Masyarakat Adat Mentawai.

Nyaris tidak ada perbedaan kekayaan yang timpang satu sama lain, pembeda utama di antara Masyarakat Adat Mentawai ialah status kepemilikan tanah (sibakkat laggai) dan pendatang (si toi) dalam sebuah permukiman tertentu. Ciri lain, Masyarakat Mentawai secara historis tidak mengenal pembedaan pekerjaan. Secara tradisional, pembagian kerja sangat terbatas dan hanya terjadi untuk laki-laki dan perempuan. Setiap keluarga mampu menghidupi ekonomi rumah tangga secara mandiri dengan mengusahakan ladang, menanam sagu, beternak babi, dan sesekali memancing. Laki-laki lebih dominan dalam pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar sedangkan Perempuan Adat biasanya berperan dalam menyiapkan makanan tambahan.

Selama ini Perempuan Adat dipandang hanya sebagai pelengkap, Karena itu, Perempuan Adat di Pulau Sipora melahirkan sebuah inisiatif pembentukan organisasi Perempuan Adat Pada tahun 2019, agar Perempuan mampu terlibat dalam berbagai perjuangan lini kehidupan dalam Masyarakat Adat.  Sejumlah 42 Perempuan Adat yang berasal dari empat komunitas Adat (Gioso Oinan di Kecamatan Sipora Utara, Matobe, Saureinu, Sioban di kecamatan Sipora selatan) membentuk PHD Sipora sebagai wadah perjuangan Perempuan Adat. Tempat yang menjadi saksi pertemuan tersebut ialah suatu bangunan aula bernama Jelita di Desa Tuaperat, kecamatan Sipora Utara. Tidak lama setelah membentuk PHD Sipora, kemudian dilakukan Temu Daerah yang menghasilkan pemberian mandat kepengurusan PHD Sipora kepada; Ketua, Marnida, sekretaris Resmiana dan Bendahara Wenti Sutrianti.  

PHD Sipora termasuk mengalami penambahan jumlah anggota secara cepat, karena dalam kurun waktu kurang 3 tahun penambahan jumlah anggota sebanyak 39 Perempuan Adat dari berbagai komunitas atau Desa di kecamatan Sipora Utara dan Selatan. Hal itu mengindikasikan tingkat partisipasi Perempuan Adat di Sipora sangat tinggi dalam upaya membangun gerakan perjuangan Perempuan Adat. Anggota tidak saja berasal dari 4 komunitas di atas, akan tetapi anggota yang belakangan baru bergabung berasal dari Komunitas Adat Tua Pejat

Sementara, saat ini jumlah anggota PHD Sipora menjadi 81 Perempuan Adat yang berasal dari 5 komunitas Adat. Persebaran anggota PHD Sipora tersebar di 22 Dusun dalam 11 Desa, nama yang Desa antara lain: Desa Matobe, Goiso oinan, Sioban, Tuapejat, Saureinu dan lain sebagainya. Seluruh Desa tersebut secara administratif masuk dalam 2 kecamatan yaitu Kecaman Siopra Utara dan Sipora Selatan, kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Di samping itu, anggota PHD Sipora juga berasal dari 12 suku penghuni Pulau Sipora antara lain; Suku Mentawai, Sababalat, Sabebegen, Sakeda Asak, Tatubeket, Tanjung, Taillelu, Siritoitet, Saogo, Samangilailai, Saleleubaja dan Saleleu. 

Berdasarkan data yang di himpun oleh PEREMPUAN AMAN, anggota PHD Sipora terdiri dari beragam usia antara lain: pemuda ( usia 17 sampai 35 tahun) sebanyak 23,46% dari jumlah anggota, kemudian kategori usia dewasa (Usia 36 sampai 59 tahun) berjumlah 62,96% dan lansia (usia 60 tahun ke atas) sebanyak 13,58% dari jumlah anggota. Sementara itu, masing-masing anggota memiliki keahlian atau kecakapan cukup beragam, bahkan tidak jarang jarang anggota yang memiliki kecakapan dan pengalaman lebih dari satu. 

Sejumlah 2,47% dari jumlah anggota memiliki keahlian sebagai dukun beranak, kemudian kader penggerak Posyandu 11,11%, Kader penggerak PKK 13,58%. Selain itu juga, pengetahuan tentang benih dimiliki oleh anggota sebanyak 9,88%, kemudian mengelola hasil pertanian atau laut 27,16% dan kecakapan terbanyak adalah bertani dengan jumlah 79,01% dari jumlah anggota dan kecakapan lainnya 3,70% yang mencakup kecakapan CO/Community Organizer (Kader penggerak), menyanyi dan lain sebagainya. 

Selain kecakapan, anggota PHD Sipora juga memiliki pengalaman dalam berbagai hal, misalnya saja pengalaman terlibat dalam sebuah organisasi, kelembagaan Adat dan lain sebagainya. Begitu juga dengan pengalaman dalam keterlibatan atau ikut serta dalam kegiatan meningkatkan kapasitas atau pengembangan keahlian. Anggota yang punya pengalaman mengikuti pelatihan sebanyak 58,02% dari jumlah anggota, pengalaman tersebut meliputi pemberdayaan Perempuan sekaligus masyarakat, koperasi, pelatihan menganyam, Guru sejarah minggu, pelatihan kesehatan, masak-memasak dan seterusnya. 

Kemudian Pengalaman mengurus organisasi sebanyak 28,40%, sedangkan pengalaman menjadi bagian dari kelembagaan Adat sangatlah sedikit yaitu sebanyak 4,94%. Bahkan tidak ada anggota PHD Sipora yang dipercaya atau diberi tanggung jawab dalam mengurus ritual Adat atau upacara Adat. Selain itu, dalam Masyarakat Adat terdapat kelembagaan Adat, pemerintah maupun tokoh masyarakat yang masing-masing memiliki pengaruh dengan porsi berbeda. Berdasarkan penilaian anggota PHD Sipora, sebanyak 13,58%  anggota PHD Sipora, menilai pejabat setempat yang memiliki pengaruh, sedangkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 23,46%, pemangku adat 24,69%, tokoh agama 27,16% dan sebanyak 43,21% anggota menilai tokoh masyarakat yang paling berpengaruh.

Wilayah Kelola Komunitas Adat Goiso’oinan

Komunitas Adat Goiso’oinan merupakan salah satu Komunitas Adat penghuni Pulau Sipora, komunitas ini berada di Desa Goiso’oinan Kecamatan Sipora Utara. Secara administratif luas wilayah Desa Goiso’oinan 56,07 Km2 dengan garis pantai sepanjang 23.43 Km2 dan dihuni oleh  1.151 jiwa (601  jiwa perempuan dan 550 jiwa laki-laki) dengan kepadatan 21 jiwa/km². Desa ini memilki 4 dusun, Dusun Goisooinan, Kaliou, Pogari dan Aduru (BPS 2019).  Aktivitas ekonomi Masyarakat Adat Desa Goiso’oinan ialah bertani atau nelayan.

Masyarakat Adat Goiso’oinan berasal dari  nenek moyang (Pajolaik dan Takket Keliu) yang bermigrasi dari Pulau Siberut, suku pertama ini yang disebut Si Bakat Laggai atau pemilik pertama tanah. Para pendatang membawa anak beserta istrinya untuk tinggal bermukin di Pulau sipora hingga terun-temurun. Segala kebutuhan masyarakat adat Goiso’oinan didapatkan dari wilayah kelola yang berupa rawa atau biasa disebut Onaja, daratan atau susuk (daratan rendah), Leleu (pegunungan), dan hutan. Termasuk kebun, kolam (Babak) dan lain sebagainya. Berbagai ruang kelola tersebut tidak hanya menyediakan kebutuhan pangan semata, akan tetapi kebutuhan spiritualitas atau relasi dengan leluhur, alam dan sesama masyarakat adat.

Hal itu juga berlaku sama dengan komunitas Adat lain, seperti Matobe, Sioban, termasuk Komunitas Adat Saureinu yang terletak di Kecamatan Sipora Selatan, di Pulau Sipora di sebelah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Seperti masyarakat Mentawai pada umumnya, budaya masyarakat Saureinu’ mengenal Uma/suku. Peta partisipatif sudah dilakukan di wilayah adat Saureinu. Saat ini tantangan terbesar untuk penetapan wilayah adat Saureinu dan wilayah adat komunitas lainnya adalah Peraturan Bupati tentang kriteria dan persyaratan penetapan uma masih belum dibuat (mengacu Perda No 11 Tahun 2017 pasal 5 dan pasal 12). 

Masing-masing bentuk wilayah kelola memiliki fungsi bagi keberlangsungan hidup. Rawa sebagai tempat masyarakat Adat menanam bahan pangan seperti gette dan sagu serta tempat untuk puibaatda saina (budidaya ikan). Pengelolaan rawa pada umumnya dilakukan oleh para perempuan Adat. Akses untuk rawa pada dasarnya bersifat umum dan terbuka, semua warga suku di komunitas berhak untuk mendapatkan hasil dan mengelola rawa. Rawa tidak dimiliki oleh salah satu sibakkat polak dan dengan demikian tidak bisa di perjual-belikan. Warga komunitas adat hanya memiliki hak pakai, begitu juga dengan ruang hidup lainnya.

Sedangkan dataran (suksuk) juga merupakan ruang hidup yang utama. Suksuk adalah dataran rendah yang digunakan untuk perkampungan dan penanaman buah-buahan, beragam jenis keladi dan kelapa serta bahan pangan lainnya. Ruang hidup lainnya adalah pulaggaijat yang merupakan tanah perkampungan. Semua warga berhak menggunakan tanah perkampungan untuk membangun tempat tinggal dengan syarat meminta izin terlebih dahulu kepada sibakkat polak (pembuka tanah). 

kemudian Leleu (pegunungan) serta hutan juga merupakan ruang hidup yang sangat penting. Di pegunungan dan hutan, komunitas biasanya berkebun dengan menanam tanaman keras seperti cengkeh, pala, buah-buahan serta lainnya. Ruang hidup penting dan khas lainnya adalah babak atau sejenis kolam yang biasanya berada di dekat sungai. Babak dimiliki oleh sibakkat laggai (pemilik tanah) dan untuk pemanenan ikannya dilakukan secara bersama-sama oleh kaum perempuan atas persetujuan sibakkat polak.

Pengetahuan Perempuan Adat PHD Sipora

Pengelolaan wilayah kelola rawa/Onaja, biasanya digunakan oleh  Perempuan Adat untuk  menanam bahan pangan dan kebutuhan pokok seperti berbagai jenis keladi antara lain : gette, jalakjang, palapa, sikopkop, getai bogat, roti, sisurat. Aktivitas utama Perempuan Adat komunitas Adat Goiso’oinan yaitu menanam gette (keladi) yang merupakan makanan pokok masyarakat adat Mentawai. Selain keladi, makanan pokok lainnya adalah bagok (pisang) dan sagaik (sagu). Hampir semua tanaman tumbuh subur tanpa pupuk maupun pestisida kimia.

Selain itu, Onaja atau rawa juga merupakan tempat aktivitas Muiba, yaitu mencari ikan yang hidup di rawa, antara lain ikan kolomot, laitak, tuktuk, ilek, golak, gara-garau dan lainnya. Aktivitas muiba juga dilakukan musim hujan di sungai-sungai besar dan anak sungai yang ada di wilayah adat, termasuk di laut bagian bibir pantai, dan umumnya di dekat muara sungai. Kesuburan Onaja sangat bergantung pada kelestarian pegunungan dan rawa berfungsi sebagai resapan air yang bersumber dari pegunungan, sehingga terhindar dari banjir. 

Alat yang digunakan oleh Perempuan Adat untuk mendapatkan ikan disebut subba (tangguk), subba terbuat dari kulit kayu melinjo, rotan dan tingau (penyulam) yang dibuat benang kemudian dijalin. Biasanya mengerjakan subba dilakukan secara bersama-sama oleh Perempuan Adat, terutama Perempuan yang memiliki anak kecil, sambilan disela-sela menjaga anak di rumah. Selain membuat subba, Perempuan juga membuat tikar dari bahan tikai yang diambil dari sekitar rawa. 

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top