Pengurus Harian Daerah (PHD)

PEREMPUAN AMAN (PA) Sekatak

Pengurus Harian Daerah Sekatak adalah Wilayah Pengorganisasian yang berada di Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Anggota PHD Sekatak tersebar di beberapa desa di Kecamatan Sekataki: Desa Punan Dulau, Bekiliu, Paru Abang, Terindak, Bunau, Anjar Arip, dan Kelising. Secara administratif, Kecamatan Sekatak terdiri dari 22 (dua puluh dua) desa. Jumlah penduduk di Kecamatan Sekatak 7.683 jiwa (1.890 KK), terdiri dari 3.942 jiwa laki-laki dan perempuan 3.741 jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 3.85 jiwa/km².

Sejak bulan Juli 2016, Sejumlah Perempuan Adat yang berasal dari dua Komunitas Adat yakni komunitas Belusu Jalai dan Punan Dulau bersepakat mendirikan PHD Sekatak. Harapannya, PHD Sekatak akan menjadi ruang untuk mengembangkan kapasitas dan juga sebagai serana perjuangan Perempuan Adat. Termasuk mempertahankan wilayah Adat sekaligus merebut kembali wilayah Adat yang telah di renggut oleh berbagai pihak, terutama perusahaan penebangan kayu yang sejak dahulu mengancam hutan Adat hingga hari ini, dan ancaman lainnya.

Jumlah anggota PHD Sekatak sementara ini sebanyak 62 Perempuan Adat,  anggota terbagi menjadi tiga kategori usia,  dewasa sebanyak 48% dari jumlah anggota, pemuda 44%, dan lansia 8% dari jumlah anggota. Dengan jumlah anggota yang mayoritas usia relatif muda, anggota berpotensi turut aktif di berbagai kegiatan, seperti peningkatan kapasitas, penguatan ekonomi dan terlibat dalam ruang pengambilan keputusan. Berdasarkan musyawarah mufakat (Temu Daerah), tiga Perempuan Adat di antaranya dipercaya oleh seluruh anggota sebagai Pengurus PHD Sekatak, mandat kepengurusan diberikan kepada: Ketua: Narsih, Sekretaris: Natalia dan Bendahara: Juliarti. 

Dari berbagai Komunitas Adat yang bergabung dengan PHD Sekatak, Komunitas Adat Punan Dulau dan Belusu Jalai turut aktif dalam kegiatan penggalian data SDGs (penggalian data pembangunan berkelanjutan). Kegiatan ini merupakan salah satu upaya peningkatan kapasitas yang di fasilitasi oleh PEREMPUAN AMAN pusat. Selain terlibat dalam kegiatan penggalian data, Komunitas Adat Punan Dulau dan Belusu Jalai juga terlibat dalam kegiatan dukungan kedaulatan pangan (Tenure Facility). 

  • Mata Pencaharian

Sumber mata pencaharian Komunitas Punan Dulau dan Belusu Jalai sangat beragam, terutama dengan cara atau keterampilan mengolah sumber-sumber kehidupan di wilayah Adat termasuk pekerjaan lainnya. Sebanyak 12,9% responden menyatakan memiliki keahlian menganyam, kemudian sebanyak 3,2% responden memiliki keahlian membuat manik dan tikar, dan sebanyak 8% responden menyatakan sebagai petani. kemudian sebanyak 64,5% responden menyatakan sebagai Ibu Rumah Tangga. Selain itu juga terdapat sebagian anggota yang memiliki pekerjaan sebagai guru dan tutor Paud yang masing-masing pekerjaan tersebut dinyatakan oleh 4,8% responden. Hal tersebut menunjukkan bahwa Perempuan Adat di Komunitas Punan Dulau dan Belusu Jalai memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan.

Perempuan Adat di Punan Dulau dan Belusu Jalai memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di antaranya: sebanyak 24% responden menyatakan sering memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupan, sebanyak 26% menyatakan sering memanfaatkan kebun, dan sebanyak 38% menyatakan sungai sebagai sumber penghidupan. 

Selain mengandalkan sumber penghidupan dari alam, perempuan adat juga memiliki dasar kecakapan dalam kegiatan pemberdayaan keluarga, yaitu melalui PKK dan Posyandu. Sebanyak 27,4% memiliki kecakapan sebagai kader Posyandu dan 17,7% memiliki kecakapan sebagai kader penggerak PKK. Kecakapan lain yang dimiliki perempuan adat di Punan Dulau dan Belusu Jalai antara lain: menganyam rotan, menganyam tikar, menyulam, membuat bakul, merangkai bunga, membuat manik, serta membuat aneka kue. Walaupun demikian, terdapat sebagian perempuan adat yang merasa khawatir akan tidak adanya pangan karena tidak ada uang. Data menunjukkan sebanyak 42% responden menyatakan sering mengalami kekhawatiran tersebut. 

Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari komunitas Adat bergantung pada sumber pendapatan uang tunai yang diperoleh melalui kegiatan menjual anyaman dan kerajinan lain yang produksi. Termasuk pekerjaan yang mereka lakukan dalam rangka menghasilkan uang tunai. Namun, kenyataannya sebanyak 94,9% responden menyatakan rumah tangga mereka tidak pernah kehabisan makanan karena minim uang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan responden mengenai sumber pendapatan uang keluarga. Bahwa sebanyak 82,1% responden menyatakan kebun sebagai sumber pendapatan uang keluarga. Sebanyak 73,1% responden menyatakan memanfaatkan usaha kerajinan sebagai sumber pendapatan uang keluarga, dan beberapa orang memanfaatkan ladang, sungai, bisnis skala kecil, dan buruh upahan.

  • Keanekaragaman Makanan Tradisional

Keragaman suku dalam komunitas Punan Dulau dan Belusu Jalai mempengaruhi keanekaragaman makanan tradisional. Jenis makanan tradisional dalam komunitas tersebut antara lain: Amu, Angku, Bendana, Bobou, Botor, Inau, Lo’bia, Sobou, Songkolo, Tanok, Sagu, Tiwak, dan lain sebagainya.  Berbagai makanan tradisional tersebut merupakan makanan khas hasil budidaya masyarakat di komunitas yang diwariskan secara turun-temurun. Budidaya tersebut dilakukan melalui pertanian kebun maupun ladang, mayoritas Masyarakat  Adat  masih menganggap keberadaan makanan tradisional tersebut sangat penting sebagai makanan yang konsumsi sehari-hari.

  • Sumber Mata Air

Pemenuhan kebutuhan akan air bersih di komunitas Punan Dulau dan Belusu Jalai diperoleh dari beberapa sumber, di antaranya adalah mata air, ledeng meteran dan lainnya. Saat  musim panas, sebanyak 48% responden di komunitas menyatakan sering memanfaatkan mata air untuk konsumsi keluarga dan sebanyak 40% responden menyatakan sering menggunakan ledeng meteran. Sama halnya saat musim hujan perempuan adat di komunitas juga sering memanfaatkan mata air dan ledeng meteran untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air keluarga. Sebanyak 50% responden di komunitas menyatakan sering memanfaatkan mata air untuk konsumsi keluarga di  musim hujan. Beberapa di antaranya atau sebanyak 38% responden menyatakan sering menggunakan ledeng meteran.

  • Sumber Energi

Pemanfaatan sumber energi dalam kehidupan sehari-hari di komunitas masih banyak bergantung pada hasil kebun/hutan yang berada di wilayah adat mereka. Selain memanfaatkan dari hutan dan kebun untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, perempuan adat di komunitas juga memenuhinya dengan membeli LPG 3 KG dan minyak tanah. Mayoritas atau sebanyak 80% responden di komunitas menyatakan menggunakan kayu bakar/kayu api, sebanyak 58% responden di komunitas menyatakan menggunakan LPG 3 KG, dan sebanyak 50% responden di komunitas menyatakan menggunakan minyak tanah. 

  • Bahasa, Agama dan Kepercayaan Leluhur

Kehidupan sehari-hari masyarakat di komunitas erat kaitannya dengan penggunaan Bahasa Adat setempat dalam berhubungan sosial. Mayoritas responden di komunitas atau sebanyak 78% menyatakan Bahasa Adat masih dipergunakan dengan baik, meskipun Bahasa adat setempat ternyata tidak masuk menjadi bahasa formal yang diajarkan dalam pendidikan formal setempat. Dari hal tersebut sebenarnya dapat dilihat, bagaimana peran pemerintah daerah setempat dalam mengakui keberadaan budaya leluhur dan juga dinilai abai akan kelestarian budaya leluhur yang nyatanya masih erat dan dekat dengan masyarakat.

  • Representasi dan Partisipasi Perempuan

Representasi Perempuan Adat dalam ranah publik ataupun politik dapat juga dilihat dalam keterlibatan Perempuan pada beberapa bentuk kepemimpinan formal maupun non-formal. Sebagian responden di komunitas atau sebanyak 38% menyebutkan bahwa di wilayah adat mereka terdapat pembangunan infrastruktur dalam 5 tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur tersebut dalam bentuk fasilitas umum, jalan kampung, jalan produksi, dan jalan raya. Berdasarkan data yang ada masyarakat masih memiliki rasa percaya akan pemerintah/pejabat daerah setempat terbukti dari data yang memperlihatkan 22,6% responden di komunitas menganggap pemerintah masih memiliki pengaruh, sebanyak 24,2% menganggap pemangku adat masih memiliki pengaruh, sebanyak 11,3% menganggap tokoh masyarakat masih berpengaruh, dan 4,8% tokoh agama masih berpengaruh.

  • Wilayah Kelola Komunitas Adat Punan Tugung

Wilayah Adat Punan Tugung sebagian besar ialah pegunungan beserta hutan yang sangat luas dengan kayu-kayu besar menjulang tinggi. Pegunungan adalah tempat melangsungkan kehidupan Suku Punan Pugung secara berkelompok. Sejak zaman peperangan antar suku atau keluarga Suku Punan Tugung menguasai pegunungan sebagai medan perang yang di kuasi. Perang tersebut sebagai cara untuk bertahan hidup, siapa yang kuat dia lah yang bisa bertahan hidup. Salah satu strategi perang andalan Aki Tawang, seorang leluhur Suku Punan Pugung yakni dengan cara lari menuju gunung dan memasang perangkat di jalur yang laluinya. Dalam pelarian ke gunung, Aki Tawang membawa anak istrinya.

Hingga pada akhirnya hutan dan pegunungan menjadi tempat bermukim Suku Punan Pugung. Hutan sebagai wilayah kelola Suku Punan Pugung, di hutan terdapat hewan buruan seperti babi, rusa, ayam hutan dan bintang lainnya. Selain itu, suku Punan Pugung juga memanfaatkan tumbuhan untuk membuat kerajinan, makanan serta obat-obatan alami seperti tumbuhan ketimang, pulimayo, pilibuntung, pulinasom dan lain sebagainya. 

  • Kebun dan Ladang

Di Wilayah kelola Suku Punan Pugung berupa kebun banyak terdapat tanaman buah-buahan, seperti elay/sejenis durian, cempedak, rambutan, durian, mangga, pisang dan lainnya. kemudian sayuran, mulai dari lombok, tomat, cabai, sereh, kunyit, dan seterusnya. termasuk keladi dan singkong. ubi merupakan makanan pokok kami, dari dahulu sampai sekarang kebiasaan itu masih melekat. 

Sedangkan di ladang, digunakan untuk menanam padi dan sayuran, timun, labu, undur (sejenis lambu air), bayam, serai, ubi, pisang, dan lainnya. Ladang berada jauh dari pemukiman dan perpindah. Biasanya pada saat padi sedang menguning, ladang mesti di jaga karena banyak monyet dan babi. 

Padi di taman hanya sekali dalam setahun dan ketika padi sudah panen, ladang di jadikan kebun dengan cara jerami dibakar di kebun agar sumber. Tahun berikutnya padi di tanam di lahan yang lain, orang tua kami percaya dengan cara demikian memberikan tanah napas atau mengistirahatkan tanah agar kembali sumbur secara alami, tanpa pupuk. Ladang didiamkan selama 5 tahun. Jenis  bibit yang ditanam adalah jenis padi loka, yang disebut tupurau, punan, ulin, mayangselindam, ketan merah, hitam dan putih.

  • Kerajinan Perempuan Adat

Perempuan Adat PHD Sekatak memiliki kreativitas membuat berbagai kerajinan dengan bahan yang didapatkan dari Hutan. Satu dari sekian banyak bahan yang digunakan untuk membuat kerajinan ialah daun yang disebut daun opow, daun opow mudah ditemukan di hutan. Di tangan Perempuan Adat Punan, Daun opow bisa menjadi berbagai barang bernilai guna bahkan bernilai jual. Umumnya, daun opow digunakan untuk membuat ketupat, terawi/topi, anyaman berupa kipas tangan (terutama bagian pucuk daun),  bahkan atap rumah dan seterusnya. Termasuk membuat atau merangkai manik-manik, anting misalnya (aksesoris) dan lain sebagainya. Termasuk kerajinan berupa bakul, keranjang yang terbuat dari rotan. 

Selain digunakan untuk keperluan sendiri, kerajinan juga dijual untuk menambah pemasukan uang tunai, terutama melayani pesanan. Misalnya pengrajin mendapatkan pesanan dari Kabupaten Tana Tidung dan sekitar Kabupaten Bulungan. Selain itu, kerajinan Perempuan Adat juga diperkenalkan melalui beberapa pameran, mulai dari acara ulang tahun Kabupaten Bulungan, Mubes (Musyawarah Besar) Dayak Sekaltara di Kabupaten Bulungan dan pameran lainnya.

Kerajinan dikerjakan secara rutin, sering kali PHD Sekatak mengerjakannya bersama-sama di satu tempat dengan tujuan agar terjadi proses belajar bersama, berbagi teknik baru, saling mengajarkan dan menambah semangat bekerja. Selain itu, pekerjaan kerajinan juga dikerjakan di rumah masing-masing disela waktu mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Hasil penjualan kerajinan selain untuk kebutuhan sendiri dan kebutuhan modal berikutnya, hasil penjualan juga digunakan untuk konsumsi bersama pada saat ada kegiatan bersama dan uang kas PHD Sekatak. 

  • kebun kolektif 

Sejak 2021, Kebun kolektif PHD Sekatak berada wilayah kelola Suku Punan Tugung yang berjarak 52 Km dari Punan Dulau, tepatnya dari Kampung Sekatak Buji. Karena tidak ada pilihan lain, selain lahan yang  berada di wilayah kelola Suku Punan Pugung yaitu di Ikong, meskipun butuh waktu satu jam untuk tiba di kebun kolektif dengan medan jalan tanah. PHD Sekatak membuat kebun kolektif bekerja sama dengan ibu-ibu PKK. Termasuk komunitas Adat Bulusuk Rayo dan Belusuk Alung juga terlibat. Tanaman di kebun kolektif berupa sayuran, lombok, tomat, ubi, cabai, sereh, kunyit, keladi, dan seterusnya.

Hasil kebun kolektif digunakan untuk konsumsi sendiri dan juga beberapa menjual ke pasar. Selain itu, hasil kebun kolektif juga di sumbangkan kepada keluarga yang berduka karena salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Ada tradisi saling membantu sesama ketika berduka, Sebelum dilakukan upacara penguburan mayat, diadakan upacara duka yang dilaksanakan selama 7 hari atau 14 hari sebagai penghormatan atas kepulangan. Setiap warga setempat bahkan luar Desa patungan mengumpulkan sayuran, beras, minyak gula, bumbu-umbu bahkan daging dan kebutuhan lainnya. Semua kebutuhan tersebut kemudian diantar ke dapur keluarga yang sedang berduka. 

  • Suku Punan Tugung dipaksa Meninggalkan Ruang Hidupnya

Komunitas Adat Suku Punan Pugung hidup berkelompok dan berpindah-pindah (nomaden) di dalam hutan Adat seluas 22.139 hektare. Hutan tersebut tepatnya berada di bagian hulu Sungai Magong atau disebut daerah Ikong. Secara administratif daerah Ikong masuk Desa Punan Dulau, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan. Wilayah Adat Ikong berjarak 52 kilo meter (km) dari Desa Punan Dulau, tepatnya dari Kampung Sekatak Buji. Dahulu, untuk tiba di Ikong, tidak ada jalan darat yang bisa tempuh, hanya bisa ditempuh melalui sungai Magong menggunakan perahu. Sedangkan jalur darat nyaris tidak mungkin dilalui, karena masih berupa hutan belantara dengan medan terjal dan pohon-pohon besar menjulang tinggi.

Keberlangsungan hidup Komunitas Adat Punan Pugung disandarkan pada layanan alam (ikong) yang memberikan kelimpahan segala kebutuhan hidup: mulai dari makanan, air, rumah, obat-obatan, dan lain sebagainya. Aktivitas keseharian Suku Punan Pugung antara lain: berburu binatang hutan, mencari tumbuhan hutan, kebun, ladang berpindah dan aktivitas membuat perkakas, peralatan rumah tangga, seni dalam bentuk kerajinan/tari dan lain sebagainya. 

Akan tetapi, sekitar tahun 1967 sampai 1970-an, Pemerintah orde baru mulai berupaya memindahkan Komunitas Adat Ikong ke Punan Pungung ke Sekatak Buji, yang berdekatan dengan pemerintahan Desa Punan Dulau (resettlement atau pemukiman kembali bagi wilayah tertinggal). Berbagai argumen pemerintah atas Pemindahan tersebut di ntaranya, supaya anak-anak suku Punan Pugung bisa sekolah, mendapat pemukiman yang layak versi pemerintah, mempunyai agama selain agama leluhur dan lain sebagainnya. Termasuk sejumlah janji pemerintah, yang sekilas terkesan baik dan mulia.

Di balik itu semua, pemerintah hendak mengobral hutan Suku Punan Pugung kepada PT. Intracawood Manufakturing (Intraca) dengan skema yang diberikan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Konsesi  tersebut seluas 226.326 hektare dengan masa penebangan atau operasi dalam kurun waktu 75 tahun, dimulai sejak tahun 1970-an. Pembabatan hutan sebenarnya sudah berlangsung di beberapa titik tanpa sepengetahuan Suku Punan Pugung. Akan tetapi, Suku Punan Pugung sama sekali tidak menyangka akan ada perusahaan masuk, mengingat sangat sulit dan jauh menempuh sungai untuk bisa masuk ke Ikong. Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. 

Sekitar 3 sampai 4 tahun pemerintah mengalami kesulitan memindahkan Suku Punan Tugung dari ruang hidupnya, berbagai cara di lakukan pemerintah, mulai dari cara manipulatif  hingga diskriminatif. Berawal dari anjuran, perlahan bergeser menjadi intimidasi hingga pada akhirnya Suku Punan Pugung ditelantarkan. Tentara dikerahkan untuk memaksa Suku Punan Pugung pindah. Berbagai ancaman dan tuduhan mulai digunakan Pemerintah, misalnya jika Suku Punan Pugung tidak ingin pindah maka akan ditenggelamkan di Sungai Magong, kemudian di cap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia) atau pembangkang Pemerintah dan lain sebagainya. 

Meski tidak terang-terangan dan frontal, berbagai siasat dan strategi dilakukan suku Punan Pugung untuk menghindari dari paksaan Tentara. Mulai dari memberikan ayam kampung sebagai tanda permohonan kepada Tentara setiap kali mereka datang, hingga berpindah-pindah membangun rumah di beberapa titik. Seorang Kakek bernama Tawang membangun rumah hingga 6 kali di tempat yang berbeda, untuk menghindari Tentara. Hingga pada akhirnya pada tahun 1972 Suku Punan Pugung menyerah dan terpaksa pindah ke Sekatak Buji, tempat bermukim suku Tidung  di pinggir sungai. Namun secara diam-diam, beberapa Suku Punan Pugung sesekali tetap ke Ikong bahkan beberapa orang menetap di sana dan membangun rumah kembali.

Di Sekatak Buji, semua janji-janji pemerintah tidak ada satu pun yang dilakukan, mulai dari tidak disediakannya rumah, kebun dan layanan lainnya. Suku Punan Pugung malah disuruh untuk bermukim di pinggir sungai untuk sementara waktu sembari mempersiapkan pemukiman yang dikerjakan oleh Suku Punan sendiri. Hampir setiap hari suku Punan bolak-balik dari pemukiman suku Tidung ke lahan yang sudah disediakan Pemerintah yang berada di atas bagian atas sungai. 

Beberapa tahun kemudian, Suku Tidung menuntut lahan agar dibayar, terutama lahan yang dijadikan pemukiman oleh Suku Punan Pugung. Tuntutan Suku Tidung hingga mengundang perseteruan dan terjadi konflik yang cukup tegang antara kedua suku tersebut. Hingga beberapa kali sempat bentrok karena Suku Punan Pugung merasa bukan merekalah yang bertanggung jawab untuk membayar lahan tersebut, melainkan Pemerintah Desa, karena mereka yang memaksa untuk pindah. Suku Tidung mengklaim daerah tersebut sejak dahulu merupakan wilayah kekuasaannya. Hingga pada akhirnya pemerintah Desa diminta untuk menyelesaikan konflik tersebut. Sebagai solusi Pemerintah membayar sebidang lahan yang digunakan untuk pemukiman oleh Suku Punan Pugung di Sekatak Buji. Akan tetapi hanya lahan pemukiman yang dibayar pemerintah, sedangkan tidak dengan kebun. Sementara itu, Suku Punan Pugung berkebun menggunakan lahan pinjaman atau sewa yang secara umum tanah di Sekatak Buji tidak sumbur.

Pada tahun 2020, PT  Intracawood Manufakturing kembali datang ke Ikong untuk meneruskan penebangan kayu hutan. PT. Intracawood Manufakturing meminta izin kepada pemerintahan Desa Punan Dulau termasuk Komunitas Punan Pudung. Kali ini suku Punan Pugung dilibatkan dalam musyawarah dan memberikan izin kepada  PT  Intracawood Manufakturing dengan syarat membuat jalan menuju ke Ikong (perjanjian hitam di atas putih). Meski teramat sulit memutuskan, situasi mengalami dilema, karena tahun 1970-an PT. Intracawood Manufakturing tidak menepati janji. Karena itu antara percaya dan tidak percaya bisa menepati janji, tetapi karena Suku Punan Tugung teramat membutuhkan akses jalan menuju ke wilayah kelola di ikong, tidak ada pilihan lain dan mempercayai janji  PT. Intracawood Manufakturing. 

Hingga pada akhirnya di tahun 2020 jalan menuju ke  Ikong dibangun, meski jalan masih berupa tanah bahkan seperti solokan dan teramat sulit dilalui kendaraan, tetapi itu sedikit memudahkan ketimbang jalur sungai. Selain itu, Program Desa rumah layak huni sudah mulai masuk termasuk sanggar seni atau rumah adat. Akan tetapi, sejak HPH masuk membabat hutan Suku Punan Pugung perubahan banyak terjadi, mulai dari Susah mendapat hewan buruan, tumbuhan obat-obatan, rotan, kayu dan lain sebagainya. Termasuk sumber air menjadi keruh, termasuk air sungai. Orang tua dahulu mengistilahkan “di sungai itu bisa lempar ema, dan jarum masih bisa kelihatan”, saking jernihnya air. 

  • Tambang Emas Rakyat 

Di samping perubahan yang diakibatkan HPH, belakangan ini juga semakin banyak lokasi-lokasi tambang emas rakyat. Hampir di setiap Desa di Kecamatan Sekatak terdapat aktivitas rambang emas rakyat. Salah satu lokasi tambang di sebut lokasi Mewet di Desa tenggiling atau di Desa Sekatak Buji. 

Kerusakan yang diakibatkan tambang emas mulai dari merusak struktur tanah, kemudian penggunaan obat kimia bahan berbahaya dan beracun (B3) mencemari air, tanah bahkan udara yang ditimbulkan dari proses pembakaran pengolahan emas. Pencemaran ditimbulkan dari tiga jenis metode pengolahan emas berupa tromol, tong dan rendaman. Ketiga jenis pengolahan tersebut menggunakan beberapa obat kimia mulai dari merkuri atau air raksa (hydrargyrum), sianida/carbon nitrogen (CN), kaustik soda atau NaOH dan lain sebaginya. Tempat pengolahan emas biasanya tidak jauh dari rumah, bahkan persis di belakang rumah. Limbah pengolahan dari ketiga jenis pengolahan emas tersebut sering kali dibuang ke sungai dan sekitar pemukiman penduduk. Ikan-ikan di sungai banyak yang mati.

Bahaya penggunaan obat kimia dan resiko kecelakaan di dalam lubang tambang hingga meninggal dunia sudah sering Sosialisasi  dilakukan PHD Sekatak maupun pemerintahan desa. Akan tetapi hal itu tidak menghentikan aktivitas tambang emas. Sebagian besar penambang adalah pendatang dari luar pulau, misalnya dari Tasik, Jawa Barat, Manado, Sulawesi dan lain sebagainya. Karena mungkin banyak orang dari luar sehingga mereka tidak peduli dengan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas tambang emas. 

Pada awalnya, lokasi penambangan bersifat terbuka untuk siapa pun dan dari mana pun. Namun, belakangan ini penduduk setempat mulai mengatur dan memungut uang dari aktivitas hilir mudik penambang, dari pelobang (penambang), peleles maupun kongsi. Kongsi adalah sekelompok penambang dengan satu bos, sedangkan peleles adalah seorang Perempuan yang datang ke lokasi penambang dan minta bahan mentah batu emas. Terdapat kesepakatan tidak tertulis di antara para penambang, Perempuan diperbolehkan meminta dan penambang harus memberi, itu merupakan kesepakatan antara penambang.  Hal semacam ini sering ditemui di berbagai daerah pertambangan rakyat. 

Selain pertambangan rakyat, banyak juga perusahaan perkebunan sawit yang masuk di beberapa titik, terutama di Bulusuk. Akan tetapi warga setempat sangat sedikit sekali yang bisa bekerja di Perusahaan kelapa sawit, karena perusahaan tidak mau mempekerjakan orang yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan juga tidak punya pengalaman. Apalagi stigma perusahaan sering kali buruk kepada suku Dayak. Ada stigma negatif dari perusahaan bahwa suku Dayak sering kali membuat masalah di perusahaan.

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top