Pengurus Harian Daerah (PHD)

PEREMPUAN AMAN (PA) Paser

Wilayah Pengorganisasian PHD Paser berada di kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Sejak April 2017,  sejumlah 40 Perempuan Adat berinisiatif mendirikan PHD Paser sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat. Perjuangan dalam mempertahankan wilayah Adat, terutama hak Perempuan Adat yang sering kali diabaikan oleh berbagai pihak. Pada awalnya, ada tiga komunitas Adat yang  bergabung dengan PHD PA Paser yaitu komunitas Rangan, Batu Kajang dan Bente Tualan. 

Kepengurusan pertama PHD Paser pada periode 2017 sampai 2022 terdiri dari Ketua: Emi Pebriana, Sekertaris: Rosa Pegi Alvisa dan Bendahara: Ratna. Temu Daerah tersebut dilakukan di Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser. Sementara itu, pada periode 2022 sampai 2027, Temu Daerah ke -2 kembali dilaksanakan 28 Maret 2021 di Desa Rangan, hasil musyawarah memberikan mandat kepengurusan PHD Paser kepada: Ketua: Yurni Sadariah, Sekretaris: Anita Tahlina dan Bendahara: Mardiana. 

Komunitas yang bergabung bersama PHD PA Paser berasal dari 14 komunitas Adat antara lain: Komunitas Batu Sopang, Rangan, Long Ikis, Long Kali, Muara Komam, Busui, Mandik, Bente Tualan, Muara Toyu, Sungai Terik, Pait Das Adang, Modang, Batu Kajang dan Songka. Sedangkan jumlah anggota PHD PA Paser yang berasal dari 14 komunitas tersebut saat ini sejumlah 54 Perempuan Adat.  Anggota terbagi menjadi tiga kategori usia, pemuda sebanyak 33,33% dari jumlah anggota, dewasa 62,96% dan lansia 3,70% dari jumlah anggota. Persebaran anggota PHD Paser tersebar di kabupaten Paser meliputi tujuh kecamatan antara lain: Kecamatan kuaro, Long Ikis, Batu Sopang, Long Kali, Muara Komam dan Panajam, Jumlah anggota terbanyak berasal dari kecamatan kuaro dan Batu Sopang. 

Selain itu, anggota PHD Paser memiliki berbagai kecakapan di antaranya sebagai berikut: kecakapan dukun beranak sebanyak 1,85% dari jumlah anggota, kader penggerak Posyandu 24,07%, kader Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK) 24,07% dan pengetahuan tentang benih 35,56% dari jumlah anggota. Sementara kecakapan terbanyak ialah bertani, sebanyak 54,93% dari jumlah anggota, kemudian kecakapan menganyam/menenun dimuiliki oleh 12,96% anggota dan mengolah hasil pertanian/laut 7,42%. Sementara keahlian lainnya di luar kategori di atas sebanyak 12,96%, di antaranya menari, memasak, Bina Keluarga Balita (BKB) Sama Taka , advokasi konflik dan mengurus organisasi  sosial.

Keberadaan kelompok Perempuan yang ada di desa atau kampung di PHD Paser, diantaranya sebanyak 33,33% anggota mengatakan kelompok PKK, kemudian kelompok arisan 33,33%, dan arisan Tenaga 1,85%. Termasuk, organisasi keagamaan 20,37% dan pengurus Adat 7,41%. Sedangkan kelompok lainnya sebanyak 11,11% dari jumlah anggota, meliputi kelompok Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI), Pusat Kegiatan Gugus (PKG) Paud, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Himpaudi, IGTK, BKB (Bina Keluarga Balita). Termasuk himpunan pendidik, Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (HIMPAUD), kelompok Pengajian, Sanggar Tari Kinsai dan kelompok lainnya. Itulah kelompok-kelompok Perempuan yang ada di PHD Paser, kelompok PKK dan arisan paling banyak.

Kemudian lembaga atau tokoh yang berpengaruh di PHD Paser (komunitas, kampung, atau desa), sebanyak 38,89% anggota menilai tokoh Agama yang memiliki pengaruh, kemudian tokoh masyarakat 38,89%,  pejabat/pemerintah  setempat 37,04%,  Pemangku Adat 12,96%, dan lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 1,58%. 

Di samping itu, anggota PHD Pasaer juga memiliki beragam pengalaman dan sering kali satu orang memiliki pengalaman lebih dari satu. pelatihan di antaranya pengelolaan Ikan, diklat kepala taman Kanak (TK) tingkat kabupaten Paser, Guru hebat, PKG,  Kongres IGTK, Bela Negara, remaja siaga bencana, water resque dan lain sebagainya. Termasuk menganyam dan menjahit dan  Pelatihan Peternakan bebek. Pengalaman lainnya adalah aksi atau demonstrasi sebanyak 4 orang (7,41%) dari jumlah anggota mengaku pernah ikut dan pengalaman menjadi pengurus organisasi sebanyak 6 orang (11,11%). Hanya satu orang yang Pernah menjadi penanggung-jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di komunitas dan tidak ada yang pernah menjadi bagian dari kelembagaan adat. 

Sejarah Singkat  Masyarakat Adat Rangan 

Secara administratif Desa Rangan masuk di Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Desa Rangan terbagi menjadi 3 dusun dan 12 Rukun Tetangga (RT). Sebagai Wilayah Adat, Komunitas Adat Rangan dihuni oleh Suku Paser Migi, sejarah mengatakan Suku Paser Migi memiliki dua sub suku yaitu Suku Migi Saing Puak dan Migi Batang Saing. Suku Paser migi tersebar ke berbagai wilayah di sekitar Rangan antara lain: Paser Mayang, Batang Saing/Sunge Terit, Lolo, Muru hingga Seratai. Setiap sub suku yang berada di berbagai lokasi persebarannya, masing-masing suku memiliki perbedaan bahasa, logat dan Adat Istiadat. 

Sebelum menjadi wilayah bernama wilayah Adat Rangan, dahulu Rangan bernama Sunge Lomu, sunge yang berarti sungai, sedangkan nama Lomu diambil dari jenis pohon yang tumbuh di sekitar tepi sungai. Pohon Lomu dikenal tempat bersarangnya lebah madu. Menurut tutur orang tua, dahulu di sungai tersebut hidup seekor buaya ganas yang sering memangsa hewan apa saja yang lewat, termasuk binatang peliharaan dan manusia. Karena buaya tersebut cukup meresahkan, berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi serangan buaya tersebut, namun tak kunjung berhasil. Akhirnya masyarakat mengadakan Bepekat (musyawarah), kemudian bersepakat untuk  mengundang seorang Tempun Bayo atau pawang buaya dari daerah Adang. Setelah Tempun Bayo berhasil mengatasi buaya tersebut, daerah itu pun terbebas dari serangan buaya dan berganti nama menjadi Rangan.

Pemimpin daerah Sunge Lomu yang pertama bernama Dana, seorang tokoh yang berasal dari wilayah Batu Botuk diundang khusus dan diminta menetap, sekaligus memimpin daerah Sunge Lomu. Awalnya, Dana merupakan Siwi Raja (pesuruh). Terpilihnya Dana sebagai pemimpin di Sunge Lomu berdasarkan usulan Raja Semunte, Dana dipilih berdasarkan pertimbangan; pertama, Batu Botuk merupakan daerah tertua di Paser yang masyarakatnya memegang teguh  hukum Adat serta memiliki unsur kelembagaan Adat yang kuat. Kedua, Dana adalah Pangontuo Kampong (Tetua kampung) di Batu Botuk yang memiliki jiwa pemimpin dan memiliki pengalaman dalam kelembagaan adat.

Wilayah Adat Rangan berbatasan dengan beberapa wilayah adat lainnya, yaitu wilayah Adat Kuaro, wilayah Adat Sunge Terit, wilayah Adat Modang, dan wilayah Adat Pekeso. Batas-batas wilayah adat Rangan ditandai oleh penanda alam seperti pertemuan kepala sungai (awin), kepala sungai (utok lowak), punggung gunung (tunjur), sungai, dan laut.

Situs Ritual Masyarakat Adat Rangan

Komunitas Adat Rangan memiliki beberapa situs penting, salah satunya adalah Batu Untung atau Batu Hamil, kedua situs tersebut adalah tempat Ritual Masyarakat Adat Rangan. Konon katanya, Batu Untung dahulu ialah seorang Perempuan yang sedang hamil, yang kemudian terkena kutukan dari Nayu atau leluhur (Dewa  berlambang petir/api). Kutukan itu terjadi karena kecemburuan sang suami, sehingga suaminya melakukan hal konyol pada acara Belian dan menimbul tawa. Nayu marah karena gelak tawa orang-orang yang hadir pada acara Adat Belian (Ritual adat semacam selamatan) yang dilakukan di Kuta (Rumah Ketua Adat atau Pengawa), lokasi sekarang bernama Utok Kendarom Idik (Kepala Sungai Kendarom kecil). Saat ini, situs yang tersisa hanya Batu Untung dan Sopan Baras, itu pun dalam kondisi yang kritis. 

Selain orang-orang yang terkena kutukan menjadi batu, pada acara ritual Belian itu, lokasi atau tempat acara ritual Belian tersebut kemudian berubah menjadi rawa dan ditumbuhi pohon Sunsung (sejenis salak hutan) yang biasa digunakan sebagai alat/bahan ritual Belian. Di samping itu, juga tumbuh pohon Sunsung (tengah-tengah rawa) oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Saing Losek atau Gunung Becek. Tempat ini merupakan tempat keramat bagi Masyarakat Adat Rangan, tetapi saat ini sudah dimanfaatkan menjadi kebun oleh Masyarakat Adat. 

Wilayah kelola Masyarakat Adat Rangan

Masyarakat Adat Rangan memiliki pengetahuan dalam mengelola dan menjaga hutan, pengetahuan tersebut dibalut dengan Ritual Adat yang dipersembahkan kepada leluhur atau dewa. Hutan dibagi menjadi lima wilayah berdasarkan fungsinya. Pertama, Hutan Alas, wilayah atau bagian hutan yang paling utama, biasanya ditumbuhi beragam jenis pohon dengan diameter yang relatif besar. Hutan Alas tidak dijamah atau garap dalam jangka waktu puluhan tahun bahkan ratusan tahun. 

Kedua, Hutan Alas Mori. Hutan ini merupakan hutan Keramat atau angker, tidak boleh digarap. Terkecuali dengan mengadakan Ritual Adat/Belian terlebih dahulu. Ketiga, Hutan Sipung, hutan yang berada di tengah-tengah lahan garapan, hutan Simpung ditanami berbagai jenis buah-buahan dan pohon kayu tertentu. Keempat, Hutan Lati, ladang yang sudah tidak digarap atau ditinggalkan selama 10 tahun bahkan lebih. Hutan Lati dimiliki oleh orang yang menanam (Tanam tumbuh) atau menggarap lahan tersebut. Kelima, Hutan Orap, ladang atau kebun yang gagal ditanami pada tahun sebelumnya, di hutan Orap biasanya tumbuh pohon/perdu.

Pengetahuan Masyarakat Adat Rangan dalam mengelola hutan berperan penting terhadap keberlangsungan huta, di samping tetap mendapatkan manfaat. Manfaat tersebut meliputi berbagai hal, mulai dari kayu hutan yang digunakan untuk kebutuhan membangun rumah, perkakas, kayu bakar dan lain sebagainya. Kayu tersebut beragam jenis antara lain : kayu meranti, ulin, mayas, nansang, sungkai, lomu, bilas, pekalung, dan seterusnya. Di samping kayu, ada juga jenis bambu hutan yang dimanfaatkan antara lain: Bambu Temiang, Bekuan, Tolang, Tolang Bule, Lempake, Pring dan bali.

Sedangkan hasil lainnya berupa rotan sega, manau, wani/madu, damar, gaharu, Pandan hutan, Enau/aren dan lain sebagainya. Begitu pun dengan jenis buah salak yang tumbuh di hutan,  salak sunsung dan remburan. berbagai jenis akar-akaran/Bako, akar raya dan jangir. Kemudian binatang buruan yang bisa didapat dari hutan yaitu Bawi atau babi hutan, payau, kijang, kancil, landak dan berbagai jenis unggas/burung.

Masyarakat Adat Rangan dikenal memiliki keahlian menganyam rotan menjadi berbagai jenis barang kebutuhan sehari-hari, peralatan rumah tangga dan pajangan antara lain : Apai, Teppa’, Siru, Kirai, Solong, Bengkuteng, Kepit, Solong Penias, Kelompo’, Kompe’, keranjang. aktivitas menganyam umumnya dilakukan oleh Perempuan di waktu senggang, terutama Perempuan Adat yang sudah berumur. Anyaman yang di buat memiliki beberapa jenis motif Kelopak Peseu, Jangang, Benutin Bias dan Maton Pune. Keterampilan membuat motif dimiliki oleh perempuan dibandingkan laki-laki, yang biasanya mencari bahan anyaman. Selain itu, mengolah nira menjadi gula atau proses menyadap aren dikenal dengan sebutan Nyarap. Aktivitas ekonomi ini  bergantung pada ketersediaan pohon aren di hutan, pohon aren yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tanpa harus ditanam.

    • Sungai 

Kebutuhan akan air bisa dimungkinkan tetap tersedia jika hutan dan gunung tetap terjaga dengan baik, aehingga pemenuhan air Masyarakat Adat Rangan tetap terpenuhi, terutama di sekitar sungai/Sunge. Pada tahun 1983, air Sungai masih sangat jernih, nyaris seperti kaca, bahkan binatang sungai dan benda yang berada di dasar sungai dapat terlihat dengan jelas, salah satunya di sungai Sarikutan. Kemudian sungai yang berada di Kampung Pait, Kecamatan Long Ikis, diperkirakan membutuhkan waktu 2,5 jam dari Balikpapan menggunakan kendaraan roda empat untuk tiba di sana. Berbagai jenis ikan hidup di Sungai, ikan-ikan tersebut antara lain: Udang, kepiting, krimat, Ntime, osi, telagi, lukan, Tirom dan seterusnya. 

Di sela-sela waktu sekolah dan membantu orang tua, anak-anak sering menghabiskan waktu bermain di sekitar sungai, itu merupakan momen membahagiakan bagi anak-anak. Sembari bermain, mereka bisa menikmati beraneka buah-buahan khas yang tumbuh subur dan beragam (buah tunduk, ketungon, layung, duyan, puak, onsom buyung, onsom bulau, onsom payang, kramu semayap, rengarai, siwo, bukes, letan, puak, dan lain sebagainya). Air sungai bersumber dari gunung yang mengalir melalui punggung pegunungan hingga bertemu di sungai dan akhirnya bermuara di laut.

    • Siklus berladang Masyarakat Adat Rangan

Berladang merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi Masyarakat Adat Rangan. Dalam ilmu perladangan (sistem pengetahuan berladang) Suku Paser secara umum mengenal istilah “Jalan Pangontuan”, yaitu perhitungan waktu berladang berdasarkan kalender musim (penanggalan/bulan berladang) dengan cara melihat posisi bintang yang muncul di langit. Beberapa nama bintang tersebut (bintong dalam bahasa Paser) dalam sistem perladangan Suku Paser yaitu; Tolu’, Turu, Bemanuk, Dayang Mawat dan Torung Totak. Kalender musim (waktu berladang) mengacu pada bintang yang muncul di langit, dan dihitung dengan menggunakan “Papan Pembilang Pangontaun”, yaitu sebuah papan yang memiliki tanda/simbol dan tulisan, yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu saja. Jenis tanaman utama yang di tanam di ladang ialah padi disertai dengan tanaman lainnya atau tumpang sari antara lain: di samping padi, terdapat tanaman jagung, ubi dan beragam sayur-sayuran. sekaligus binatang ternak seperti ayam, babi dan kerbau.

Pemenuhan pangan PHD Paser sebagian besar mengonsumsi beras yang diperoleh dari hasil ladang. Seperti halnya komunitas Batu Kajang yang mayoritas mengandalkan beras sebagai sumber karbohidrat. Berdasarkan penggalian data SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2021 yang dilakukan PEREMPUAN AMAN, sebanyak 97% komunitas Adat Batu Kajang menyatakan mengonsumsi beras. Sebanyak 58% beras berasal dari ladang sendiri dan 41% beras yang dibeli dari warung-warung terdekat. Di samping beras, jenis pangan pengganti atau  tambahan adalah jagung dan umbi-umbian, meski terbilang jarang mengonsumsi jagung dan umbi akan tetapi tetap menjadi makanan pengganti. Sebagian besar jagung didapatkan dari kebun dan ladang sendiri sebanyak 70,8% dan umbi-umbian juga didapatkan dari ladang sendiri sebanyak 75%. Sedangkan umbi yang dapatkan dengan cara membeli sebanyak 25% dan jagung 29,2%. 

Sementara, kebutuhan lauk, sayur dan buah-buahan komunitas Adat Batu Kajang 100% didapatkan dari membeli, kebutuhan lauk yang jarang dipenuhi dari ternak sendiri. Kemudian kebutuhan sayuran terpenuhi dari hasil kebun sendiri, yaitu sebanyak 78,3% dari jumlah responden dan 25% membeli. Di samping kebun, sumber sayuran juga berasal dari hutan, sawah, ladang dan kebun di sekitar kolam ikan. Pangan yang sudah sebut di atas tadi di masak menggunakan kayu bakar, penggunaan kayu bakar menjadi andalan Komunitas Batu Kajang di samping LPG (Liquefied Petroleum Gas), terutama LPG ukuran 3 Kg.

Masalah-Masalah Yang Dihadapi PHD PEREMPUAN AMAN Paser

    • Transmigarasi 

Program Transmigrasi masuk ke Rangan sejak 1984 hingga 1986, pemerintah memberikan wilayah kelola adat Rangan Kepada transmigran untuk ditanami kelapa sawit dan jadikan pemukiman. Hampir seluruh lokasi transmigran ditanami kelapa sawit, karena begitu masifnya tanaman sawit, masyarakat adat Rangan juga ikut menanam sawit, akibatnya luasan hutan makin berkurang dari waktu ke waktu. Namun kepemilikan perkebunan kelapa sawit didominasi transmigran memiliki 90%, sedangkan Masyarakat Adat Rangan hanya 10%. Lokasi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman transmigran berdekatan dengan Pemukiman Masyarakat Adat Rangan berjarak 50 sampai 200 meter sebagai berikut:

    1. Rangan Timur, lokasi paling berdekatan dengan Masyarakat  Adat Rangan.
    2. Rangan Barat, saat ini telah berubah nama menjadi Desa Padang Jaya.
    3. Rangan Barat, saat ini bernama Desa Kandarom, 
    4. Mondang Dalam, saat ini bernama Desa Kerta Bumi
    5. Pekasau, Lokasi transmigran menyerobot Kebun dan pemukiman di Wilayah Adat Rangan sekitar 40%.

Pada tahun 1983, pembukaan hutan mulai mengepung wilayah kelola Masyarakat Adat Rangan, berbagai alat berat, senso/chainsaw dan gergaji digunakan orang-orang asing untuk membabat hutan. Kebun rotan dan buah-buahan habis ditebang, bentangan hutan menjadi rata dan tanah bagian dalam menjadi permukaan. Pembongkaran hutan untuk perkebunan kelapa sawit atau lebih dikenal di Rangan “pembukaan lapangan” kala itu mempekerjakan sebagian warga setempat, PT. SUBA sebagai penyalur pekerja. Bagi siapa pun yang ingin mendapatkan bagian lahan atau garapan, syarat utamanya harus rajin bekerja. Jika pekerja terlambat masuk kerja dan libur selama 3 hari maka tidak akan diberikan lahan dan perumahan (catatan hitam).

Di samping itu, dalam perkebunan sawit ada Pekerja Harian Lepas (KHL) yang bekerja merawat bibit sawit, dengan bayaran hanya 30-40 ribu dalam satu hari,  bayaran tersebut sejak 1996 hingga 2021. KHL bekerja sejak jam 8 pagi hingga sore hari dan Jika ingin menjadi buruh tetap, syaratnya tidak boleh izin atau alpa bekerja selama 3 bulan.

Hal itu membuat seorang pekerja laki-laki harus berangkat pagi buta dan pulang malam, akibatnya, tak jarang seorang Perempuan harus bekerja sendirian di kebun atau ladang. Tidak ada pilihan lain, kalaupun tidak ikut membuka lapangan/perkebunan, toh tidak ada lagi rotan di hutan yang bisa dibawa pulang ke rumah untuk dijadikan berbagai kerajinan. Kehidupan Masyarakat Adat Rangan semakin sulit dengan masuk program transmigrasi, lebih dari separuh hutan dan kebun, ladang masyarakat di alih fungsikan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah. Bahan bangunan (kayu, bambu dan lainnya) alat/bahan ritual, tumbuhan obat, rotan dan binatang buruan semakin langka, sehingga pemenuhan kebutuhan tersebut semakin sulit didapat. 

Pada tahun yang sama dengan dimulainya program transmigrasi, untuk  menopang pembangunan pemukiman transmigrasi, beberapa unit perusahaan pengolahan kayu Somel/Sawmill beroperasi di wilayah Adat Rangan dan Tempayang. Namun masa operasi perusahaan tersebut tidak lama, ditutup setelah selesai membangun pemukiman. Selain perusahaan di atas, banyak para transmigran juga membuka usaha kayu dan akhirnya diikuti oleh beberapa masyarakat Adat Rangan, kehadiran usaha kayu juga mempercepat penggundulan hutan. Selain itu, Pemerintah juga mengalih-fungsikan wilayah kelola masyarakat Adat Rangan menjadi Kawasan Hutan Produksi (KHP). Lahan diserahkan kepada PT. DONG HWA sejak tahun 1970 dan PT. Telaga Mas pada tahun 1992.

Masyarakat Adat Rangan takut di penjara atau di kriminalisasi jika melakukan perlawanan, karena hal itu dianggap melawan ketentuan negara. Di samping itu, program transmigrasi bersifat diskriminasi. Suatu ketika, seorang Perempuan Adat Rangan mendaftar program transmigrasi, namun di tolak, dengan alasan kondisi suaminya yang sudah tua, sering sakit-sakitan dan dianggap tidak akan mampu bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Meski ada beberapa Masyarakat Adat Rangan masuk menjadi anggota program transmigran, bukan berarti hidupnya menjadi lebih mudah. Setiap keluarga diberikan lahan seluas 2 hektare untuk ditanami kelapa sawit, bibit, pupuk dan pestisida sudah disediakan. Pemberian itu tidaklah cuma-cuma, di akhir nanti, lahan, rumah dan modal menanam sawit itu harus bayar dengan cara di cicil setiap kali panen. Selain itu, kondisi rumah tidak cukup layak, karena rumah transmigran berukuran 4×6 meter (termasuk kecil), berdinding papan alakadarnya dan beratap seng tanpa plafon. 

    • Krisis Air

Pada musim kemarau, Masyarakat Adat Rangan kesulitan mendapatkan air, sungai menjadi kotor tercemar pestisida dan limbah rumah tangga dari pemukiman transmigran yang berada di hulu sungai. Di tambah lagi kondisi sungai menjadi dangkal karena debit air dari gunung berkurang secara signifikan. Karena itu, untuk mendapatkan air kami harus pergi ke sumber air yang cukup jauh dan harus antre selama berjam-jam, karena di samping banyak orang, debit air sangat kecil dan hanya ada satu sember mata air. Perempuan dan anak-anak rela mengantre dan bersabar untuk mendapatkan air bersih. Sedangkan pada musim hujan bencana banjir kerap kali melanda Masyarakat Adat Rangan dan sekitarnya, karena serapan dan penahan air tidak lagi mampu menahan deras hujan.

Penyebab sungai menjadi kotor adalah posisi pemukiman transmigran berada di hulu sungai. sering kali ada aktivitas mencari ikan dengan menggunakan racun pestisida. Oleh sebab itu, Masyarakat Adat Rangan kehilangan air bersih dan berbagai ikan sungai, yang biasanya menjadi aktivitas  Perempuan Adat beramai-ramai mencari ikan sungai, kini tidak ada lagi. Hal ini makin parah dengan banyaknya sampah dan lumut yang mengotori air. Bahkan ketika sedang mandi atau mencuci di sungai, masyarakat sering kali dikejutkan dengan ikan-ikan yang telah mati di racun yang ikut terbawa di aliran sungai. 

Masyarakat Adat Rangan dahulu cukup mencari tangkapan di sekitar kampung, kini harus pergi jauh ke arah Danum masin (muara sungai yang berair payau/asin) jika ingin mencari ikan dan tangkapan lainnya, itu pun cukup sulit memperolehnya karena jumlah tangkapan semakin hari semakin sulit didapat. 

    • Ladang menyempit

Luasan lahan untuk berladang secara drastis menyempit. Dalam setahun, umumnya Masyarakat Adat Rangan mengelola lahan dengan luasan 6 sampai 10 blek (1 hektare setara dengan 1,5 blek)  dalam satu keluarga. Luasan itu menurun menjadi 3 blek paling luas di kelola satu keluarga setelah datang perkebunan sawit. Kehilangan lahan perladangan dan hutan itu berarti kehilangan pohon-pohon besar yang dahulu berdiri tegak tumbuh di hutan,  sehingga kayu yang dahulu menjadi andalan bahan membangun rumah, kini tidak ada. Jangan kan untuk membangun rumah, bahkan untuk membuat papan penyekat kuburan “dingding ari” tidak ada, harus membeli ke toko material bahan bangunan. 

Aktivitas mencari buah-buahan di hutan dan madu telah hilang, meski pun tersisa beberapa pohon buah, namun saat ini sudah bukan lagi milik bersama, akan tetapi dikuasai perorangan. Begitu pun dengan Tradisi Sempolo yang merupakan tradisi berupa aktivitas membuka lahan, menanam padi, panen dan lainnya yang dilakukan secara gotong royong, tradisi tersebut sekarang tergantikan dengan bekerja upahan yang dibayar harian. Hal itu di picu oleh munculnya perkebunan kelapa sawit swadaya atau inti plasma sejak tahun 1995. 

    • Kendala dalam Berladang

Masyarakat Adat Rangan tetap berladang di lahan yang tersisa, namun terdapat beragam kendala yang menyertainya. Perempuan Adat tidak lagi memiliki kebun yang dekat dengan rumah untuk menanam kebutuhan sayuran dan bumbu, adapun kebun yang tersisa berjarak sangat jauh dengan medan perjalanan melewati bukit dan berbatu. Itu pun sudah terancam bintang liar yang kelaparan karena hutannya sudah tidak ada. Lokasi ladang yang masih tersisa merupakan lahan yang tidak mampu di jangkau oleh perusahaan kayu, karena tidak ada akses jalan menuju ke sana. Lokasi tersebut berada di sisi kiri mudik sungai Kendaten.

Tanaman di gempur penyakit hama dan bintang hutan, seperti wareng, tikus, monyet, tupai dan lain sebagainya. Hal itu memaksa peladang perlu mengeluarkan biaya dan tenaga lebih, sehingga pada akhirnya membuat banyak orang enggan untuk berladang. Kesulitan berladang membuat pemenuhan kebutuhan pangan bergantung pada uang tunai. 

Hilangnya habitat bagi hewan liar berakibat pada pemukiman manusia menjadi tempat tujuan mengungsi berbagai hewan liar untuk mencari makan. binatang liar itu ialah beberapa spesies ular, tikus, tupai dan lainnya, mereka menyasar kebun dan ladang, bahkan tak jarang binatang peliharaan (ayam) menjadi hewan buruan bagi ular. Kendala lainnya yaitu ternak sapi milik transmigran, soal gangguan ternak sapi sudah sering dilaporkan kepada polisi dan pemerintahan Desa, namun tak kunjung ada tindakan atau solusi dari mereka. 

    • Tambang Batu bara

Sejak tahun 2007, tanpa sepengetahuan masyarakat izin Kelola Pertambangan (KP) diberikan oleh kepala Desa kepada PT. Madhucon Pasir Makmur (MPM) perusahaan tambang batu bara.  Pemberian izin tersebut mendapat penolakan dari Masyarakat, namun penolakan itu terlambat. Karena Kepala Desa Rangan telah membuat SK (Surat Keputusan) yang berisi pernyataan sekian hektare tanah untuk pertambangan batu bara sejak Mei 1995, SK pertama menyebutkan luas lahan 48 ha dan kedua 30 ha. Belakangan para pemilik lahan yaitu masyarakat Adat mempersoalkan tanah tersebut, karena rupanya tanah itu merupakan tanah komunal yang telah disepakati oleh pada tanggal 12 Juli 1997. Klaim itu disertai bukti atas kepemilikan lahan serta bukti pembayaran pajak pada tahun 1967 masing-masing lahan yang dimiliki. Lahan tersebut berupa kebun rotan, pohon buah-buahan, kayu dan kuburan salah satu masyarakat yang menggugat mantan kepala desa tersebut. 

Kemudian di tahun 2008, Masyarakat Adat sepakat membawa kasus ini ke ranah hukum, menuntut kepala desa dan PT. MPH. Selang setahun kasus berjalan, selama itu juga PT.MPH tetap beroperasi. Hingga keputusan pengadilan akhirnya tidak memenangkan salah satu pihak dan masyarakat mencurigai kuasa hukum mereka bermain dengan PT.MPK dan pengadilan. Masyarakat tentu saja kecewa dengan keputusan pengadilan, karena tidak ada yang dimenangkan secara adil. Padahal pengorbanan Masyarakat Adat cukup besar, hingga rela mengumpulkan dana sumbangan untuk membiayai sidang tersebut, dalam sekali sidang menghabiskan dana 5 juta rupiah.

Pada tahun 2015, kasus lahan kembali dibawa ke jalur hukum dengan kuasa hukum yang berbeda, kali ini biaya sidang lebih murah dengan tuntutan hanya ditujukan kepada mantan Kepala Desa. Soal biaya kembali di galang dana sumbangan dari masyarakat Adat, sekali sidang menghabiskan biaya 3 juta rupiah, namun hasilnya tetap sama, tidak ada yang dimenangkan. Pada akhirnya masyarakat menyerah setelah mengajukan banding hingga ke Mahkamah Agung yang tidak ada hasilnya. 

Setelah dilakukan pengukuran lahan komunal oleh masyarakat Adat Rangan, termasuk ahli warisnya yang terdiri dari 8 orang saksi, ternyata lahan komunal tersebut lebih luas, yaitu 124 ha dan tanah tersebut terus diupayakan. Kasus terus berlanjut di pengadilan, mengandalkan sumber pembiayaan dari pembayaran lahan yang dijual kepada para transmigran. Pada awalnya lahan masyarakat Adat Rangan tidak berniat menjual lahan, akan tetapi lahan seluas 53 ha sudah terlanjur ditanami sawit oleh 27 orang transmigran dan masyarakat Adat Rangan meminta lahan tersebut dibayar dengan harga satu kavling/ 2 ha 20 sampai 30 juta rupiah. Uang itulah yang diandalkan untuk mengurusi kasus dan biaya menggarap lahan yang masih tersisa.

Hingga akhirnya aktivitas tambang batu bara terus beroperasi, banyak mobil dump truk berlalu lalang melewati ruang jalan lintas kabupaten Paser menjuju pelabuhan kecil yang terdapat di muara-muara sungai. Di samping itu, sejak tahun 2000 terdapat 2 buah pelabuhan besar yaitu pelabuhan pinang (Blok Barat) dan pelabuhan Bindru (Blok Timur). Kemudian ada tiga lokasi penampungan Batu Bara (Lokpon) sekaligus pelabuhan yang lebih besar di pinggir sungai Tempayang, yaitu Pelabuhan milik PT.Madukon, PT.Interex dan PT.Gapura.

Capaian PHD Paser

    • Pemetaan Wilayah Adat  dan Pengajuan Pengakuan Hutan Adat 

Pemetaan Wilayah Adat Rangan merupakan inisiatif PHD PEREMPUAN AMAN Paser dengan melibatkan AMAN Paser, AMAN Kalimantan Timur serta kelembagaan Adat Rangan. Pemetaan tersebut berlangsung sejak 5 hingga 7 Agustus 2019, tujuan pemetaan sebagai upaya memastikan batas wilayah Adat Rangan dengan sesegera mungkin. Pemetaan harus segera dilakukan waktu itu, karena konsesi telah mengancam dan mengepung wilayah Adat Rangan dan sekitarnya. Dengan adanya peta, harapannya, hasil pemetaan akan menjadi syarat pengajuan Hutan Adat. 

Dalam pemetaan berbagai hal yang menyangkut syarat keberlangsungan hidup Masyarakat Adat  di masukan dalam komponen peta dan segara dikukuhkan batas-batas wilayah Adat. Seperti pegunungan, sungai, hutan dan lainnya, termasuk perbukitan yang sedang terancam oleh pertambangan nikel. Pemetaan merujuk pada batas wilayah versi kedua dengan luasan wilayah diperkirakan 9000 ha. Termasuk menyertakan potensi wilayah Adat dalam peta (potensi wisata, ekonomi dan hutan mangrove).  Misalnya saja pengelolaan hutan mangrove di muara Sungai Rangan, Sungai Muru dan muara Sungai Tempayang yang masih menjadi sumber mata pencarian Masyarakat Adat Rangan. 

Tahapan dan proses pengajuan Hutan Adat, tahap pertama melakukan pertemuan konsolidasi internal desa yang dilakukan pada tahun 2017. Hasil konsolidasi memutuskan melayangkan surat undangan pada DPMDP (Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan) untuk membuka pertemuan membahas pengajuan hutan Adat. Namun, selama tiga tahun tidak ada kabar, DPMDP mengundang berbagai pihak untuk konsolidasi lanjutan mengenai pengajuan Hutan Adat Oktober 2019. Konsolidasi tersebut beberap pihak yang terlibat antara lain : kelembagaan Adat, Pemerintahan Desa, Masyarakat Adat Rangan, PHD PEREMPUAN AMAN Paser, AMAN Paser dan  AMAN Kaltim. Sebagai fasilitator dalam konsolidasi tersebut adalah AMAN Kaltim dan PHD PEREMPUAN AMAN Pasar. 

Konsolidasi tersebut menghasilkan keputusan mempersiapkan berkas-berkas untuk pengajuan Hutan Adat antara lain: sejarah kampung (hukum adat), struktur Kelembagaan Adat, hasil kesepakatan/konsolidasi kampung dan peta Wilayah Adat. Pengajuan ditujukan ke DPMPD setingkat kabupaten. Proses pengajuan Hutan Adat Rangan cukup lama, sehingga sempat diserahkan kepada AMAN KALTIM dan BPMDP akan tetapi tak kunjung di proses karena berbagai alasan. Februari 2021 tim Pengajuan diundang oleh BPMDP untuk ikut rapat di kabupaten dan mereka mengirim surat permohonan pengakuan Masyarakat Adat kepada Bupati, sebagai syarat pengakuan Hutan Adat mesti ada pengakuan Masyarakat Adat terlebih dahulu. 

Namun Pemda (Pemerintah Daerah) tidak menghendaki pengakuan Masyarakat Adat karena di curigai punya kepentingan di wilayah Adat Rangan dan momen covid menjadi alasan kelambanan proses pengakuan. Pada 22 November 2021 tim verifikasi  turun ke lapangan namun dengan terang-terangan di tolak oleh Kades (kepala Desa) yang baru menjabat. Hal yang ditakuti oleh Kades, termasuk Bupati, Masyarakat Adat  mempunyai kekuatan hukum untuk menolak berbagai konsesi yang masuk ke wilayah Adat Rangan, itulah yang kiranya ditakuti Kades, begitu juga dengan Bupati. 

Perdebatan sengit sempat terjadi antara Kades dan Masyarakat Adat Rangan, sehingga DPMPD mengundang kedua belah pihak untuk berunding, pada 2 Januari 2022 tempat pertemuan di kantor Kabupaten. Dalam pertemuan tersebut Kades seolah-olah sepakat dan mendukung upaya pengajuan Hutan Adat. Semua berkas pengajuan Hutan Adat sudah diserahkan kepada DPMPD dan sempat ditandatangani Bupati 16 maret 2022.

Pada 17 Maret 2022, tim verifikasi kembali turun ke lapangan, namun peran Pemerintahan Desa kembali menggagalkan upaya upaya tersebut. Kades menuduh kelembagaan Adat akan menjual wilayah Adat setelah mendapatkan pengakuan hutan Adat. Di samping itu, Pemerintah daerah tidak berani bertindak lebih jauh, karena desa yang paling punya otoritas terhadap wilayah Adat  Rangan. Meskipun Paser sudah syah menjadi wilayah Adat berkat perjuangan AMAN Paser. 

Namun pada kenyataannya tidak sungguh-sungguh diterapkan, hutan di hulu sudah dibuka atas perintah dari kpala desa, tanah luas di Rangan, aset desa, pelabuhan dan lokasi buangan sampah batu bara, hampir semua di kuasi Kadas. Konsesi baru terus berdatangan, investasi tambak udang dan pelabuhan di muara hutan mangrove. Bagian hulu akan ada tambang nikel, land clearing sudah terjadi di mana-mana untuk perkebunan kelapa sawit, termasuk juga kontraktor tambang yang sudah menguasai wilayah kelola Masyarakat Adat Rangan. 

Kegiatan PHD PA Paser Peningkatan Ekonomi

    • Pelatihan Kerajinan

Peningkatan ekonomi dilakukan dalam berbagai pelatihan, salah satunya adalah pelatihan  membuat kerajinan Solong Betongaq. Di samping meningkatkan ekonomi, pelatihan ini juga bagian dari upaya melestarikan anyaman sebagai bentuk pengetahuan yang bergantung pada rotan, bambu dan pewarna alam. Pelatihan ini dilaksanakan di Balai Desa Rangan, kecamatan Kuaro, Paser. Pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelatihan antara lain; Pemdas Rangan, Yayasan Mahakam Lestari dan PHD PA Paser. 

Termasuk juga membuat kerajinan gelang dari bahan rotan, hasil kerajinan dijual secara langsung maupun dijual stand sebagai tempat memamerkan kerajinan tangan hasil Perempuan Adat Paser. Sebagian hasil berjualan kerajinan digunakan untuk uang kas PHD Paser. Kerajinan Perempuan Adat Paser cukup dikenal,   sering kali mendapatkan orderan yang cukup banyak, bahkan sempat ada turis dari Finlandia  dan Prancis yang sengaja ke Paser untuk membeli hasil kerajinan Bawe Paser.  

Setiap rapat bulanan yang rutin dilakukan, di sela-sela waktu rapat selalu diisi dengan membuat kerajinan membuat anting dari Lisoi. Selain itu, PHD juga Paser menyelenggarakan pelatihan menganyam gelang rotan untuk komunitas Long Kali dengan peserta sebanyak 12 orang dan pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membuat demplot  sayuran yang akan dilakukan oleh seluruh PEREMPUAN AMAN di Paser. Peningkatan penghasilan juga diupayakan dalam bentuk membuat demplot, kebun berlokasi di dekat  Sungai Terik dan Batu Kajang. Termasuk membuat keramba ikan dengan dana mandiri atau dana patungan. Sebagian hasil usaha keramba ikan di alokasi untuk kebutuhan anggota yang akan berangkat menghadiri temu nasional setiap tahun.

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top