Pengurus Harian Daerah (PHD)
Wilayah Pengorganisasian PHD Massenrempulu berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Anggota PHD Massenrempulu tersebar di 19 Desa dalam 11 kecamatan di Kabupaten Enrekang. Nama-nama Kecamatan tersebut antara lain : kecamatan Alla, Anggerasa, Anggeraja, Baroko, Buntu-Buntu, Enrekang, Maiwa, Malua dan Masalle. Sedangkan nama 17 Desa sebagai berikut: Desa Baringin, Benteng Alla Utara, benteng ala, Buntu Batuan, Buntu Sugi, Kalupini, Kambiolangi, Ledan, Masalle, Mataran, Mundan, Orong/Rante Mario, Orong, Patongloan, Pekalobean, Puserren dan Tapong. Seluruh Perempuan Adat PHD Massenrempulu berasal dari Suku Massenrempulu dan dari 11 komunitas Adat. Nama-nama komunitas tersebut antara lain : Komunitas Baroko, Baringin, Kalupini, Marena, Mundan, Orong, Pana, Patongloan, Tangsa, Uru dan Tapong.
Saat ini, anggota PHD Massenrempulu berjumlah 40 Perempuan Adat yang terdiri tiga kategori usia antara lain: pemuda sebanyak 30,95% dari jumlah anggota, dewasa 66,67% dan lansia 2,38%. Sementara itu, secara umum pekerjaan anggota PHD Massenrempulu cukup beragam, mulai dari Tokoh Adat, pedagang, petani, tenaga kesehatan, guru honorer dan PNS, buruh Kontrak, kepala dusun, bidan, bendahara desa, kader Posyandu, Dukun Beranak, Ibu rumah tangga, apoteker, mahasiswi dan seterusnya.
Di Samping itu, kecakapan yang dimiliki oleh anggota PHD Massenrempulu cukup variatif dan tidak sedikit anggota yang memiliki kecakapan atau pengalaman lebih dari satu. Misalnya saja, selain pernah mengikuti berbagai pelatihan, anggota juga pernah menjadi mengurus atau menjadi bagian organisasi dan lain sebagainya. Tidak jarang juga anggota PHD Massenrempulu di samping memiliki kecakapan bertani, sekaligus memiliki kecakapan mengolah hasil pertanian.
Kecakapan yang dimiliki oleh anggota PHD Massenrempulu antara lain : Dukun beranak sebanyak 2,38% dari jumlah anggota, tanggung jawab ritual adat 2,38%, Kader Penggerak Posyandu dan PKK sebanyak 16,67%, bertani 23,81% dan mengolah hasil Pertanian atau Laut 30,95%. Kemudian Kecakapan lainnya sebanyak 14,29%, (Kader Kesehatan, komputer, Kader Keluarga Berencana/BKKBN, Kader Kesehatan, memasak, Komputer dan Ekonomi Komunitas Adat). Kecakapan terbanyak anggota PHD Massenrempulu adalah mengolah hasil pertanian.
Selain itu, Pengalaman anggota PHD Massenrempulu juga cukup beragam, mulai dari pengalaman pernah mengikuti aksi demonstrasi sebanyak 4,76%, kemudian pengalaman pelatihan sebanyak 57,14%, pelatihan tersebut antara lain: Workshop Perempuan Adat dan Gender, pengkaderan desa siaga, penyuluh kesehatan, kader CO AMAN Sulsel, pemetaan partisipatif, pelatihan dasar kepemimpinan, pelatihan pertanian/tanaman pangan, pelatihan keuangan dan lain sebagainya.
Perempuan Adat PHD Massenrempulu juga memiliki pengalaman mengurus organisasi sebanyak 7,14%, organisasi yang diurus antara lain: Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrempulu (HPMM), Ketua kelompok wanita tani Perempuan Adat, karang taruna, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Kemudian pernah menjadi bagian dari kelembagaan adat sebanyak 2,38%, sedangkan penanggung jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di komunitas adat 4,76%, dan pengalaman lainnya 11,90% yaitu sosialisasi pertanian, sosialisasi AMAN di komunitas Baringin dan lain sebagainya. Sementara, kelembagaan atau tokoh yang paling berpengaruh di Komunitas, Kampung atau Desa sebagai berikut: Pemangku Adat sebanyak 80,95% dan pemerintah/Pejabat setempat sebanyak 80,95%, keduanya memiliki pengaruh yang sama. Tokoh agama sebanyak 61,90%, tokoh masyarakat 73,81% dan lainnya sebanyak 9,52% (PEREMPUAN AMAN PHD Massenrempulu dan Pemuda).
Kapan PHD PEREMPUAN AMAN Massarempulu dibentuk?
Semenjak 28 Maret 2016, PHD Massenrempulu didirikan oleh 31 Perempuan Adat suku Massenrempulu yang awalnya berasal dari 5 komunitas Adat antara lain : Baroko, Dana, Marena dan Mudan, Kalupini, di Enrekang. Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas ke-1) yang dilaksanakan di Jakarta pada 20 sampai 22 April 2016, selain dalam rangka menyusun program kerja, acara ini sekaligus mengesahkan PHD Massenrempulu sebagai rumah perjuangan bagi PEREMPUAN AMAN. Termasuk melaksanakan Temu Daerah dan menyepakati dan memberikan madat kepengurusan PHD Massenrempulu kepada: Keuta: Jaisa, Sekretaris: Hasriani dan Bendahara: Darmiati.
Kemudian Temu Daerah ke-2 yang dilaksanakan pada tanggal 10 samapi 11 November 2021 yang berlokasi di Mandatte, Enrekang. Penyelenggaraan Temu Daerah ini di pimpin oleh tiga Perempuan Adat PHD Massenrempulu dalam sidang, Darmiati sebagai ketua sidang, Hasriani Sekretaris dan Rosmawati. Hasil Temu Daerah ini menyepakati pengurus PHD Massenrempulu sebagai berikut: Ketua: Jaisa, Sekretaris: Fatmawati Lodi dan Bendahara: Darmiati.
Komunitas Adat Tangsa
Komunitas Adat Tangsa ialah salah satu Komunitas Adat yang bergabung dengan PHD Massenrempulu. Komunitas adat Tangsa memiliki wilayah adat seluas 1.370 hektare yang dihuni sekitar oleh 929 kepala keluarga dan berpenduduk 3.751 jiwa. Dalam Komunitas Adat Tangsa hidup tiga keyakinan berbeda, hidup berdampingan yaitu Islam, Kristen, dan Aluk. Secara administratif, wilayah adat Tangsa tersebar di dua kabupaten yaitu Enrekang dan Toraja. Karena itu, dalam bahasa sehari-hari mereka juga menggunakan dua bahasa.
Kemudian secara administratif, Wilayah Adat Tangsa sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Buntu, Kecamatan Gandang Batu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja. Di bagian selatan berbatasan dengan Wilayah Komunitas Adat Patongloan, Desa Patongloan, Kecamatan Baroko, Kabupaten Enrekang. Di bagian timur berbatasan dengan Kelurahan Buntu, Kecamatan Gandang Batu Sillanan, Kababupaten Tana Toraja. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Lembang Rumandan, Lembang salu Kuse, Kecamatan Rano, Kabupaten Tana Toraja.
Selain itu, perbatasan secara bentang alam, wilayah Adat ini sebelah utara berbatasan dengan Salu Pessak, Salu Kaluppini. Sebelah selatan berbatasan dengan Karumisik, Buntu Pasang, Buntu Massila, Buntu Kalando, Buntu Dama. Sebelah timur berbatasan dengan Pasa Malai. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Buntu Pongkamisi, Buntu To’ Tallang, Buntu Rea, Buntu Sangbua.
Masyarakat Adat Tangsa dikenal dengan nama A’pa Tepona Bua’ dan terdiri dari 4 komunitas kecil. Keempat komunitas tersebut ialah Bua’ Tangsa, Bua’ Alla, Bua’ To’ue, dan Bua’ Kaduaja. Kemudian ada sebuah Kesepakatan pergantian nama Komunitas Masyarakat Adat A’pa Tepona Bua menjadi Komunitas Adat Tangsa, musyawarah yang diadakan pada tanggal 24 Oktober 2004.
Komunitas Adat Tangsa memiliki beberapa situs-situs penting sebagai tempat beragam ritual Adat, di antaranya adalah: (1) Pa’puangan yang merupakan tempat yang dipercaya makam leluhur orang Tangsa (Masoang); (2) Benteng Alla yang merupakan gugusan gunung karst; (3) Sumur Pa’puangan; (4) Kampung Tua Alla’ yang merupakan lokasi perkampungan tua Masyarakat Adat Tangsa yang berada di atas gunung benteng Alla’; (5) Loko’ Bulan yang berupa lokasi tempat tinggal kelelawar danAdat Tangsa .
Wilayah Kelola Komunitas Adat Tangsa
Di dalam pengelolaan ruang hidup, terdapat tiga jenis pengelolaan tanah dan hutan, pengelolaan secara komunal (tanah/wilayah adat), secara bergiliran (tana mana’) dan pengelolaan secara perorangan. Dalam pengelolaan sumber-sumber kehidupan, terdapat nilai-nilai ajaran (Pangngadaran) yang dikenal dengan istilah Pepasan. Pepasan merupakan pesan-pesan leluhur, sedangkan aluk merupakan dasar keyakinan/pedoman spiritual Masyarakat Adat Tangsa yang harus ditaati dan dijalankan oleh anggota komunitas Adat Tangsa maupun pihak-pihak dari luar.
Pepasan yang dituturkan leluhur Masyarakat Adat Tangsa sebagai berikut: “Pangngala parallu di kampai, kandi’ na di rusak, nasaba’tomatuanta” (hutan harus dijaga, tidak boleh di rusak karena hutan adalah ibu dan sumber kehidupan kita). Sementara “Iyatu padan tae’ na di balu, nasaba’ tomatuan ta’ (tanah tidak boleh di jual-belikan, karena tanah adalah ibu (sumber kehidupan kita). Dan “Intengkai randan jali” (melanggar aturan adat akan mendapatkan Mabusung/mendapat musibah atau karna karena melanggar aturan adat), Tangna Pakendek Sangmata Jarun (susah mendapat rejeki) dan didosa (denda).
Ruang hidup utama Masyarakat Adat Tangsa terbagi menjadi empat, berupa pekarangan, kebun, sungai dan hutan. Perempuan Adat memiliki peran penting dalam pengelolaan ruang hidup. Di pekarangan, pengaturan dan keputusan ada pada Perempuan Adat, termasuk aktivitas yang didominasi Perempuan Adat, menanam, ternak ayam kampung dan kambing. Begitu juga di di kebun, Perempuan Adat menentukan jenis benih tanaman apa yang akan ditanam. sedangkan di sungai, Perempuan Adat menjaga kebersihan dan kelestarian sungai. Hal itu dilakukan Perempuan Adat karena sungai sebagai sumber air untuk persawahan dan kebun (menyiram tanaman sayur mayur pada musim kemarau). Peran Perempuan Adat termasuk dalam pengaturan hutan. Hak kolektif yang melekat di dalam akses dan kontrol atas hutan juga dimiliki oleh Perempuan Adat. Perempuan Adat Tangsa menjaga pengetahuan dan pangan bagi keluarga dan komunitas. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup, Perempuan Adat juga melakukan pekerjaan seperti memetik atau memanen dan juga memasarkan hasil tanaman yang dikerjakan dengan cara atau pengetahuan lokal yang mereka miliki.
- Pekarangan
Di Pekarangan, terdapat tanaman obat-obatan yang ditanam oleh masing-masing keluarga, untuk kebutuhan obat keluarga, kerabat dan tetangga, termasuk sayur dan bunga ditanam di pekarangan. Di pekarangan, terdapat beragam jenis tanaman obat, yang paling banyak ditanam adalah jahe, kunyit, sereh, dan lengkuas. Sedangkan jenis tanaman sayuran adalah kacang panjang, bawang prei, daun seledri, bayam, dan cabai.
- Kebun
Sedangkan kebun sebagai lahan untuk menanam sayur, ternak sekaligus ladang penggembalaan. selain itu, Sungai berfungsi sebagai sumber mata air dan penyedia air untuk menyiram kebun. Sementara hutan berfungsi sebagai sumber mata air, tempat mengambil kayu bakar, tempat mengambil getah pinus, tempat mengambil pakan ternak, tempat untuk tanaman keras dan tanaman perkebunan sekaligus sebagai sumber obat-obatan tradisional.
Di kebun, Masyarakat Adat Tangsa juga mendapatkan beragam hasil sayuran seperti kol, wortel, daun bawang, kentang, buncis, sawi, tomat, lombok besar/kecil dan seterusnya. Sedangkan tanaman perkebunan ditanami tanaman komoditas mulai dari kopi, cengkeh, vanili, kayu manis. Termasuk buah-buahan, seperti alpukat, kelapa, durian dan lain sebagainya. sedangkan hasil hutan berupa kopi, getah pinus, madu, kayu, binatang buruan dan sebagainya.
- Hutan dan sungai
Jauh sebelum diterapkannya sistem udang-udang perlindungan kawasan hutan yang diatur negara, Masyarakat Adat Tangsa sudah mengatur hutan dengan konsep Adat. Masyarakat Adat Tangsa memberi penamaan jenis-jenis hutan berdasarkan kegunaannya dan prinsip keberlangsungan layanan hutan. Pertama, Pangala’ wilayah hutan primer, yakni wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh dikelola oleh aktivitas manusia, baik untuk berladang maupun berkebun, kecuali atas izin pemangku Adat. Tubuhan utama yang yang terdapat di hutan pangala’, berbagai jenis kayu keras, bambu, tumbuhan pakis, binatang-binatang buruan dan tanaman obat-obatan tradisional.
Penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan pangala’ bersifat komunal dan tidak dapat dimanfaatkan secara sembarangan, akan tetapi mesti berdasarkan aturan Adat dan kesepakatan Masyarakat Adat yang dilakukan lewat ”Ma’tongkonan” (musyawarah). Kemudian kawasan hutan sekunder yakni disebut hutan Randan Pangala’, Randan Pangala’ merupakan bekas ladang yang telah menjadi hutan kembali atau kawasan hutan yang berdekatan dengan pemukiman yang sebagian digarap menjadi perkebunan warga. Tanaman utama yang terdapat dalam kawasan ini adalah kayu dan bambu dengan berbagai jenis dan ukuran, serta padang rerumputan yang dimanfaatkan pakan ternak dan sebagian merupakan tanaman obat-obatan.
Salah satu aktivitas komunitas Adat Tangsa yakni mengambil madu hutan tanpa merusak hutan/pohon tempat lebah madu bersarang. Pengetahuan dan aturan adat lain yang dimiliki Masyarakat Adat Tangsa disebut “pemali”, berisi dilarangan melakukan penebangan kayu terutama di wilayah hutan larangan demi menjaga keberlangsungan sumber mata air yang ada dalam kawasan hutan. Selain itu terdapat juga aturan Komunitas Adat Tangsa yang dimiliki Masyarakat Adat Tangsa yaitu kewajiban menanam pohon Karopi di areal tertentu apabila ada pemangku Adat yang utama meninggal.
Masyarakat Adat Tangsa memanfaatkan air sungai untuk menyiram kebun dan mengambil material batu sebagai bahan bangunan. Sementara di hutan, hasil yang didapatkan oleh masyarakat adat adalah beragam jenis kayu dan tanaman keras untuk bangunan rumah seperti pinus, jati putih, bambu, kilo-kilo, kolongan, kabutu, solo’, rassi-rassi, dan beragam jenis hasil hutan non kayu seperti enau, getah pinus dan madu, serta tanaman perkebunan seperti kopi, vanila, dan kakao.
Di dalam beragam ruang tersebut, selain memanfaatkan hasil untuk konsumsi sehari-hari, Perempuan Adat juga memanfaatkan hasil hutan, pekarangan, dan kebun untuk tujuan perdagangan (komersial). Berikut beberapa hasil yang dijual agar mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil pekarangan yang di jual-belikan ialah tanaman obat, berupa jahe, kunyit, lengkuas, sereh dan lain sebagainya sedangkan sayuran antara lain: kacang panjang, bawang prei, daun seledri, bayam, Lombok dan seterusnya. Sementara ternak: ayam kampung dan kambing.
Masalah-masalah yang dihadapi PHD Massenrempulu
Hutan, sebagai ruang hidup Perempuan Adat PHD Massenrempulu sudah sejak tahun 1960 ditetapkan oleh negara menjadi hutan lindung. Karena itu, Masyarakat Adat Tangsa dan lainnya tidak boleh mengakses hutan, berkebun, berladang dan memanfaatkan hutan. Segala aktivitas Perempuan Adat di hutan dianggap sebagai perambahan yang merusak hutan. Misalnya saja aktivitas berkebun atau sekadar mengambil kayu bakar di hutan. Meski dalam situasi ketakutan akan dihukum, Perempuan Adat terpaksa menanam kopi dengan dihantui rasa ketakutan. Perempuan Adat sering mengalami diskriminasi bahkan di kriminalisasi bahkan di penjara.
Krisis Ekonomi
Aktivitas ekonomi Perempuan Adat Tangsa utamanya bertani. Pertanian yang banyak dilakukan Masyarakat Adat yakni pertanian hortikultura beragam jenis sayuran. Namun karena perubahan iklim yang membuat banyak petani mengeluhkan kegagalan panen atau kurangnya hasil panen akibat cuaca yang tidak menentu. Situasi ini di perburuk oleh banyaknya bantuan pemerintah yang mengintroduksi benih, pupuk dan cara bertani. Banyak benih yang dibagikan oleh pemerintah tidak cocok dengan jenis tanah dan cara pengelolaan tani Masyarakat Adat. Akibatnya, banyak pertanian masyarakat yang mengalami gagal panen atau kurang berhasil.
Selain beberapa hal tersebut, Perempuan Adat juga mengeluhkan rendahnya nilai tukar pertanian, khususnya hasil panen kopi. Rendahnya nilai tukar ini di antaranya disebabkan oleh kebiasaan untuk menjual kopi dalam bentuk biji mentah (gabah). Belum banyak Masyarakat Adat yang memiliki tehnologi tentang pengolahan dan pemrosesan biji kopi pasca panen. Selain itu, rantai perdagangan kopi di kampung juga banyak dikuasai oleh tengkulak yang kerap kali mempermainkan harga. Masyarakat Adat juga merasakan kurangnya pembibitan pohon kopi. Pohon kopi yang dahulu banyak berkurang utamanya pada masa Orde Baru. Pada masa itu, para petani merasa dibohongi oleh pengelola Koperasi Unit Desa yang membeli biji kopi dengan harga murah. Akibatnya, banyak petani yang menebang pohon kopi karena merasa rugi, marah dan frustasi dengan harga biji kopi yang tidak sebanding dengan curahan modal dan tenaga produksi. Karena itu juga, Masyarakat Adat cenderung membudidayakan tanaman komersial untuk mendapatkan uang tunai dan mengabaikan beragam tanaman lokal.
Krisis Ekologi
Aktivitas pertanian tidak lepas dari bahan dan pemupukan kimia, seperti halnya dalam pembasmian hama dan penyakit tanaman. Beragam hama dan penyakit kerap kali menghinggapi tanaman kopi dan kakao. Jenis penyakit tanaman berupa akar tanaman mengalami pembusukan, busuk buah dan lain sebagainya. Hal tersebut diakibatkan oleh penggunaan pupuk dan bahan kimia, lambat laun tetapi pasti, kualitas dan kesuburan tanah menjadi menurun. Padahal, seberapa banyak pun penggunaan bahan dan input kimia, tidak membuat hama dan penyakit tanaman semakin berkurang, melainkan hama dan penyakit semakin kembal terhadap pestisida kimia.
Di samping itu, Penggunaan pupuk kimia secara eksesif juga mengakibatkan pencemaran sungai. Pembukaan kebun baru bertambah banyak, penggunaan pupuk kimia juga semakin berlebihan. Banyak limbah penggunaan bahan kimia yang terbuang ke sungai, Akibatnya sungai mulai tercemar. Bahkan saat menggunakan air sungai untuk mandi, banyak Masyarakat Adat. Sungai tidak bisa lagi digunakan untuk mandi dan minumt. Sementara, banyak ikan di sungai yang dahulu melimpah seperti ikan mas, lele, gabus dan belut sekarang mulai menghilang. Untuk mendapatkan sumber protein dari ikan, Perempuan Adat harus membeli dari para penjual ikan dari Luwu dan Parepare.
Selain mengalami krisis lingkungan, Krisis sosial juga dialami oleh komunitas Adat Tangsa. Krisis sosial tersebut berkurangnya minat pemuda untuk memahami nilai-nilai, sejarah dan pengetahuan Adat. Kemudian masalah lainnya ialah kurangnya keterlibatan Perempuan Adat dalam forum diskusi dan pengambilan keputusan. Perempuan lebih banyak diam terutama jika laki-laki duduk di dalam forum mendominasi pembicaraan. Perempuan Adat lebih akan bersuara dan mengutarakan pendapat jika mereka dikelompokkan dalam satu kelompok tanpa dicampur dengan laki-laki.
Keberhasilan PDH Massenrempulu
Pengurus Harian Daerah Massenrempulu PEREMPUAN AMAN terlibat dalam advokasi “Mendorong Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan Hutan Adat. Masyarakat Adat melalui Peraturan Daerah di Kabupaten Enrekang” bekerja sama dengan Pengurus Wilayah AMAN Sulawesi Selatan dan Pengurus Daerah AMAN Massenrempulu sejak tahun 2015. Pada masa itu, wilayah Adat Tangsa termasuk kategori wilayah yang paling kuat untuk mendapatkan pengakuan. Perjuangan itu pada akhirnya mendapat hasil di tahun 2018. Keluarkannya Surat Keputusan Bupati Enrekang No. 156/Bupati/11/2018 tentang Pengukuhan terhadap Masyarakat Hukum Adat Tangsa di Kabupaten Enrekang. Selain Tangsa, terdapat sembilan Komunitas adat lainnya yang mendapat pengakuan melalui SK Bupati tersbut, yaitu Komunitas Adat Baringin, Orong, Marena, Patongloan, Pana, Uru, Andulang, Pasang, dan Tondon.
Tidak hanya itu, Perempuan Adat Tangsa bersama empat Komunitas Adat lainnya kemudian berjuang untuk pengakuan hutan Adat seluas 130,86 hektare. Harapannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menetapkan hutan menjadi Hutan Adat secara hukum. Setahun kemudian, pada tahun 2019, KLHK Mengeluarkan 7 Surat Keputusan Penetapan Hutan Adat dengan total luasan keseluruhan 4.100 Ha di tujuh komunitas, Komunitas Adat Uru, Pasang, Tondon, Andulang, Marena, Orong dan Tangsa..
Pasca pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat serta penetapan Hutan Adat, Perempuan Adat PHD Massenrempulu mulai konsentrasi pada pengelolaan dan pemulihan wilayah Adat sekaligus menata ulang kekuatan ekonomi Masyarakat Adat. Salah satu upaya itu adalah program Kedaulatan Pangan yang bukan hanya sekedar mimpi bagi PHD Massenrempulu, meski dengan berbagai keterbatasan. Dengan sumber daya dan kemampuan yang terbatas, PHD Massenrempulu perlahan berupaya mewujudkan mimpi berdaulat secara pangan dan berkelanjutan. Awalnya, upaya tersebut dilakukan di Komunitas Adat Mundan dan Marena, kedaulatan pangan diupayakan dalam bentuk budidaya ikan, menanam sayuran di pekarangan maupun kebun kolektif.
Konsentrasi pada ekonomi terbukti dengan berdirinya lembaga ekonomi Perempuan Adat yang sudah di legalisasi. Lembaga ekonomi tersebut antara lain: pertama, Akte Notaris Paundanan Embong Bulan No. 26, tanggal 29 September 2020 mengenai Kelompok Ekonomi KASITURUTAN KALUPPINI di Komunitas Adat Kaluppini, Desa Kaluppini Kecamatan Enrekang. Kedua, Akte Notaris Paundanan Embong Bulan Nomor 06 Tertanggal 4 November 2020 mengenai Kelompok Ekonomi SIPAKATURU yang berkedudukan di Komunitas Adat Uru, Desa Ledan Kecamatan Buntu Batu. Ketiga, Gerai Masyarakat Adat Massenrempulu (GEMAS) sebagai unit usaha dari BUMMA Massenrempulu, sebagai wadah pemasaran produk Komunitas Adat di Kabupaten Enrekang.
Lewat program kedaulatan pangan berkelanjutan, Perempuan Adat dapat meningkatkan ekonomi keluarga dan kelompok Perempuan Adat. Aktivitas gerakan ini salah satunya yaitu pembibitan, sebagian bibit ditanam dan sebagian di jual. Kebun- kebun kolektif Perempuan Adat dikerjakan dan dikelola secara bersama-sama, dari mulai mengolah lahan, panen hingga pasca panen.
Kelompok ekonomi Perempuan Adat di komunitas Kaluppini fokus pada mengolah jahe merahmen jadi produk minuman herbal Sari Jahe. Jahe sebagai bahan baku memproduksi minuman herbal dihasilkan dari kebun kolektif Perempuan Adat. sedangkan kelompok ekonomi Perempuan Adat Uru, mengolah kopi arabika Uru yang dihasilkan dari kebun kolektif Perempuan Adat. Tersedianya Gerai Masyarakat Adat GEMAS Massenrempulu sebagai wadah pemasaran produk komunitas Adat di kabupaten Enrekang, produk-produk yang dijual dihasilkan oleh kelompok ekonomi perempuan adat PDH Massenrempulu. GEMAS yang merupakan unit usaha dari Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Massenrempulu, dikelola oleh PHD PEREMPUAN AMAN Massenrempulu. Gerai GEMAS beralamat di Jalan Poros Enrekang Toraja, Desa Mendatte, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Selain itu, keberhasilan yang dicapai oleh PHD Massenrempulu adalah Perempuan Adat kini berada pada posisi strategis seperti BPD, SEKDES, KEPALA DESA, Lembaga Adat dan lainnya sebagainya. Bahkan Perempuan Adat berani mencalonkan diri menjadi Kades (kepala Desa), BPD (Badan Pengawas Daerah) dan lainnya sebagainya.
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954
PEREMPUAN AMAN
- Jl. Sempur Kaler No.6, RT.04/RW.01, Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16129
- +62 811 920 2062
- perempuanaman@aman.or.id
AMAN
- Jl. Tebet Timur Dalam Raya No.11 A, RT.8/RW.4, Tebet Tim., Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12820
- (021) 8297954