PHD Manyalitn

Pengurus Harian Daerah Regional kalimantan

Pengurus Harian Daerah (PHD) PEREMPUAN AMAN (PA) Manyalitn

Wilayah Pengorganisasian (WP) PHD Manyalitn berada di Kecamatan Manjalitn, Kabupaten Landak, Sumatera Barat. Sebagian besar anggota PHD Manyalitn tersebar di Kecamatan Manjalitn yang secara administratif berbatasan dengan beberapa kecamatan. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Mempawah Hulu, di bagian timur dengan Kecamatan Mador/Sompak, Kabupaten Pontianak dan bagian Barat dengan Kabupaten Potianak. (BPS 2017). Berdasarkan data BPS tahun 2021, jumlah penduduk kecamatan Manjalitn sebanyak 21.871 jiwa, penduduk terbanyak berada di Desa Manjalitn yaitu sebanyak 1.801 jiwa. Kecamatan Manyalitn memiliki luas wilayah 349,07 Kmyang terdiri dari 8 Desa antara lain: Desa Lamoanak, Bengkewe, Menjalin, Sepahat, Raba, Nangka, Rees, dan Tempoak. Pada tahun 1999, Kecamatan Menyalin dibentuk dari Kabupaten Pontianak yang mengalami penambahan Kabupaten Menyalitn, sekaligus dengan penambahan Kecamatan Menyalitn. Sementara itu, secara letak geografis, Kabupaten Landak terletak di antara 0010’-1010’ Lintang Utara dan 10905’-1010010’ Bujur Timur.

Kabupaten Landak dihuni oleh sebagian besar Suku Dayak Kanayatn, serta sebagian kecil suku melayu dan suku pendatang atau transmigran yang berasal dari Pulau Jawa. Ritual Adat yang dimiliki daerah ini yaitu Naik Dango, semacam ritual syukuran hasil padi yang diadakan sekali dalam setahun. Dalam bahasa Dayak Kanayant, kata Dango atau Dangau berarti pondok atau lumbung padi “Dango Padi” atau Angko (Rumah Padi). Suku Dayak Kanayant memperlakukan padi layaknya seperti manusia yang butuh tempat tinggal. Naik Dango menjadi wajib dibangun setelah menuai padi sebagai rumah padi.

Selain itu, budaya yang juga terkenal adalah Tumpang Nagari yang mulanya sebagai budaya suku melayu yang bermukim di pesisir laut di daerah sekitar Landak. Ritual atau upacara Adat ini pada praktiknya membuang telur ke air, antar bubur abang, kemudian mencuci barang pusaka, sedekah selama tiga hari berturut-turut, ziarah ke makan dan seterusnya. Ritual Tumpang Nagari merupakan bentuk penghormatan dan permohonan kepada leluhur. Dengan cara membuang tujuh jenis makanan ke sungai yang di letakan di atas perahu rakit. Ritual ini dipercaya sebagai simbol kesuburan tanah yang dibawa oleh air sungai serta permintaan keselamatan secara halus dalam simbol atau bentuk perahu rakit. Dalam kepercayaan Masyarakat Adat di Landak, upacara Adat Tumpang Nagari bertujuan agar roh-roh jahat tidak memberikan malapetaka,karena itu roh-roh jahat perlu dijauhkan dari pemukiman dengan cara diantar menggunakan perahu rakit ke tempat yang jauh. 

Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Landak adalah Kecamatan Menjalint. Kecamatan ini dihuni oleh beberapa komunitas adat antara lain: Binua Manyalitn, Binua Kaca, Binua Lumut, Benua Dait Hulu dan lain sebagainya. Sejumlah Perempuan Adat dari komunitas tersebut mendirikan sebuah organisasi PEREMPUAN AMAN yang diberi nama Pengurus Harian Daerah PEREMPUAN AMAN Manyalitn, dengan anggota terbanyak berasal dari komunitas Binua Mayanlit. PHD Manyalitn berjuang membangun kembali kedaulatan Perempuan Adat di atas tanah kelahirannya, yaitu tanah adat. Selain itu, PHD Manyalitn juga berupaya mengenal lebih dalam tenang diri sendiri sebagai Perempuan Adat, wilayah adat atau Kampung, dan Masyarakat Adat secara luas. Termasuk mengenal hak-hak Masyarakat Adat, terutama hak-hak Perempuan Adat. 

Perempuan Adat yang bergabung dengan PHD Manyalitn memiliki Jenis-jenis Pekerjaan secara umum sebagai berikut: ibu rumah tangga, PNS, guru honorer, pedagang, petani, penari tradisional, mahasiswi/pelajar dan seterusnya. Sementara itu, kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh anggota PHD Manyalitn juga beragam. Mulai dari kecakapan ritual sebanyak 4,44% dari jumlah anggota, kemudian kecakapan mengelola hasil pertanian/laut sebanyak 11,11%, penggerak Posyandu sebanyak 17,78%, begitu pun dengan penggerak PKK sama banyaknya dengan penggerak Posyandu yaitu 17,78% dari jumlah anggota. Perlu dicatat bahwa tidak sedikit anggota yang memiliki kecakapan lebih dari satu. Kemudian memiliki anggota yang memiliki kecakapan dan pengetahuan tentang benih 20,00%, kecakapan terbanyak adalah bertani sebanyak 53,33%. Sedangkan kecakapan lainnya (Kecakapan di luar kategori) sebanyak 16,67% yang mencakup keahlian, Penari Tradisional Dayak, menganyam, tata rias, membangun dan mengelola Sekolah Adat, serta aktivis kerohanian. 

Di samping memiliki kecakapan yang cukup variatif, anggota PHD Manyalitn memiliki penilaian terhadap berbagai kelompok sosial di lingkungannya yang mewadahi kepentingan Perempuan Adat. Kelompok tersebut antara lain: kelembagaan Adat 7,78%, kelompok arisan tenaga 20,00%,  kelompok arisan uang atau barang 25,56%, PKK 25,56% dan kelompok lainnya 7,78%, yang mencakup kelompok organisasi politik, Sekolah Adat Samabue, Kelompok Tani Repo Barage, Kelompok Tani Repo Barage, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan PEREMPUAN AMAN.

Sedangkan dari sisi pengalaman, anggota PHD Manyalitn memiliki pengalaman dalam berbagai hal, pengalaman tersebut juga beragam dan  beberapa anggota memiliki pengalaman lebih dari satu. Mulai dari pengalaman pernah ikut aksi/ujuk rasa sebanyak 4,44%, kemudian pengalaman menjadi bagian kelembagaan adat 4,44%, pengurus organisasi 18,89%, pengalaman mengikuti pelatihan 30,00% dan pengalaman lainnya 4,44%. Pengalaman lainnya meliputi pengalaman pemimpin gereja, ketua Satgas (satuan tugas) anti narkoba. anggota BPD (Badan Pengawas Desa), penari dan pelatih Tari Adat Dayak. Sementara pengalaman mengikuti pelatihan antara lain:  jurnalisme warga, anyaman bambu, menjahit, pembekalan Jambore Pemuda Indonesia, dan Penyanyi Dayak dan seminar tentang “Perempuan Pemimpin Perubahan Sosial”. 

Sementara, kelompok di dalam Masyarakat Adat yang memiliki berpengaruh menurut penilaian anggota PHD Manyalitn sebagai berikut: Pemangku Adat 37,78%, Pejabat/Pemerintah Setempat 33,33%, tokoh masyarakat 25,56%, lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 1,11%, dan kelompok lainnya 1,11%.

Bentang Alam Masyarakat Adat Manyalitn

Masyarakat Adat Manyalitn memiliki bentang alam berupa dataran dan pegunungan serta bukit-bukit yang tinggi. Termasuk Sungai, danau, rawa-rawa dan hamparan hutan menyelimuti setiap sudut. Masyarakat Adat Manyalitn memiliki cara pengobatan secara adat yang disebut pengobatan secara Babore (dukun).  Pengobatan tersebut menggunakan ramuan dan tanaman-tanaman berkhasiat yang dihasilkan dari ladang, kebun, hutan dan sekitar Sungai serta rawa. 

Ladang, sawah dan kebun merupakan sumber pemenuhan kebutuhan setiap keluarga, sedangkan sebagian Masyarakat Adat manyalitn juga memiliki mata pencarian atau pekerjaan sehari-hari yakni menoreh karet, bertani, pelihara ternak babi dan ayam. Tidak hanya itu, kebutuhan yang menopang semua itu adalah lahan, sungai dan hutan. 

Dari hasil pertanian ladang, Masyarakat Adat Manyalitn tidak bergantung kepada pasar untuk pemenuhan kebutuhan sayuran. Di samping tanaman padi gunung dan padi lainnya, terdapat aneka tanaman seperti jagung, talas, dan sayuran-sayuran. Segala jenis tanaman tumbuh dengan sumbur, karena Masyarakat Adat Manyalitn percaya bahwa itu berkah dari leluhur atas Ritual Adat yang telah dilakukan sebelum bertani, termasuk tidak adanya hama-hama tanaman.

Padi ladang ditanam beragam jenis yang diberi nama berdasarkan tempat menanamnya, ada yang disebut padi  Mototn atau padi gunung, padi rawa disebut Tawakng, padi tanyukng (padi tepi sungai) dan Padi pupuk (sawah). Di samping tanam padi, tumbuh sumbur berbagai tanaman sayur,  Sayur biasanya ditanam untuk jadi tanaman tumpang sari seperti odoi, antimun, gamang, paranggi, tumalatn, labu, kacang uma, kaladi, bawang uma, ansabi, limocot, jagung, ubi batang, ubi jalar, anyali, dan lajan.

Masyarakat Adat Manyalitn memiliki hubungan yang erat dengan Sungai. Dalam Masyarakat Adat PHD Manyalitn, Sungai yang paling dekat adalah Sungai Sabunga dan Sungai Pahaja. Kedua Sungai tersebut sebagai ruang hidup yang paling dekat dengan kehidupan PHD Manyalitn, terutama Perempuan Adat. Sungai adalah sumber air, tempat mencari ikan, tempat bermain anak-anak, mandi atau berenang dan lain sebagainya. Di sana pula terdapat berbagai jenis pohon buah-buahan yang dimanfaatkan hasilnya. Selain itu, terdapat kebiasaan pada musim kemarau, ada tradisi memburu ikan secara beramai-ramai (nyamah) dengan alat sederhana (Tuba). Di sepanjang tepi sungai terdapat banyak pohon-pohon besar, salah satunya pohon sagu,  sebagai bahan pohon yang menghasilkan makanan pokok. 

Masalah-masalah yang dihadapi PHD Manyalitn 

Pemenuhan kebutuhan air yang kami gunakan adalah air Sungai. Namun, belakangan ini kami tidak lagi menggunakan air sungai, ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak menggunakan air sungai. Faktor yang pertama, listrik masuk desa atau PLN (Perusahaan Listrik Negara), semenjak itu, setiap rumah rata-rata memiliki sumur dengan mesin sedot air atau mesin pompa listrik. Kedua, kebangkrutan layanan sungai yang diakibatkan program pemerintah, yaitu normalisasi Sungai. Normalisasi dilakukan di Sungai Sabunga tahun 2008 dan sungai Pahaja di tahun 2011. Pemerintah berargumen bahwa normalisasi Sungai bertujuan untuk pencegahan banjir. Tetapi, pada kenyataannya kami mengalami kekeringan, tidak hanya krisis air yang kami alami, normalisasi sungai juga mengakibatkan masyarakat tidak lagi mungkin menanam padi lokal (padi tawang) yakni padi rawa, karena lahan menjadi area penumpukan material sungai dan aktivitas pembangunan.

Sebelum kedua Sungai tersebut di normalisasi, di sepanjang tepi sungai banyak pohon-pohon besar yang bermanfaat bagi kami. Namun setelah digusur semuanya tidak tersisa, bahkan kami mengalami kekeringan 1 sampai 2 minggu, banyak orang mengantre mandi, orang-orang dari pasar banyak yang mandi di Sungai dan Pakaian kotor berkarung-karung menunggu giliran untuk dicuci. Sementara air sungai sangat dangkal. Berdasarkan tuturan orang tua kami, sekitar tahun 80-an terjadi kemarau panjang hampir 6 bulan lamanya, akan tetapi, masyarakat tidak kesulitan atau kesusahan mendapatkan air, karena sungai masih asri dan banyak lubuk-lubuk dalam berisi air. 

Perusahaan kelapa Sawit

Hal itu makin parah dengan kedatangan beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit, seketika ladang diubah atau beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2008 PT. Sawita Jasa Sejahtera (SJS) salah satunya yang memaksa masyarakat menyerahkan ladang. Perusahaan mengancam tidak akan mempekerjakan orang yang tidak menyerahkan ladang, secara gratis kepada perusahaan sebagai syarat jika ingin dijadikan buruh. Hampir setiap hari Perusahaan melakukan sosialisasi dengan cara bujukan dan rayuan manipulatif, iming-iming, hingga berbagai ancaman. Beberapa keluarga yang menyerahkan ladang berkelahi dengan anggota keluarganya sendiri, karena menyerahkan tanah kepada perusahaan tanpa kompromi dengan seluruh anggota keluarga. 

Setelah 4 tahun beroperasi, PT. SJS membatalkan izin beroperasi karena ketersediaan lahan tidaklah cukup bagi perusahaan. Hal itu menandakan tidak banyak masyarakat yang menyerahkan tanahnya. Akibatnya Perusahaan menarik izin yang beroperasi. Perusahaan kelapa sawit menyebabkan babi-babi peliharaan jadi liar (area pengembalaan), karena tidak ada lagi ladang penggembalaan yang dekat dengan pemukiman. Rute perjalanan babi mencari makan kini menjadi jauh. Pertumbuhan babi kadang dengan yang babi lepas, lebih cepat perkembangan babi yang di lepas, karena banyak bahan makanan yang babi temukan di ladang pengembalaan, bahkan ketika babi sakit, rerumputan bukan hanya sekedar makanan bagi babi, namun juga obat. 

Sementara, orang-orang yang menyerahkan lahan dan sempat bekerja perkebunan sawit tidak diupah, karena itu hampir setiap hari kami melakukan demo-demo di kantor PT SJS.  Namun tidak kunjung ada keputusan dari pihak perusahaan, karena itu kami sempat membongkar kantor perusahaan dan mengambil barang yang bernilai, serta berkas-berkas dibakar sebagai bentuk kekecewaan. Pada akhirnya kami kembali merawat perkebunan sawit itu sebagai wilayah kelola kami. Akan tetapi beberapa dari kami menjual lahan kepada PT.Sawit Hilton. Perkebunan sawit di Wilayah Adat kami adalah lahan bekas perkebunan PT. SJS yang telahl lama bangkrut. Tetapi ada juga yang memang sengaja menanam sendiri. 

Perkebunan sawit adalah salah satu penyebab kami tidak lagi melakukan pertanian ladang. Hama tanaman semakin kebal. Dahulu, ketika tanaman diserang hama, dengan melakukan Ritual Adat hama-hama itu dapat hilang. Tetapi sekarang, meskipun kita melakukan Ritual Adat, hama-hama tetap datang dan menyebabkan gagal panen. Karena itu, cara menangani hama tanaman berubah, Masyarakat Adat mulai menggunakan berbagai jenis pestisida-pestisida kimia untuk mengatasi hama-hama tanaman padi dan lainnya, mesti itu tidak benar-benar mengatasi hama tanaman. 

Di sepanjang aliran sungai Sabunga, ada bekas-bekas kolam tambang emas ilegal. Di beberapa titik terdapat kolam- kolam bekas tambang yang ditimbun dan dijual ke PT kelapa sawit. Aktivitas pertambangan sempat memakan korban jiwa, karena tertimpa runtuhan tanah ketika sedang menggali. Selain itu, tentu saja banyak dari burung-burung yang dahulu sering didengar kicauannya di pagi hari, kini sudah tidak ada. Begitu juga dengan binatang-binatang lainnya.

Alih fungsi lahan juga menyebabkan babi-babi peliharaan jadi liar. Rute perjalanan mereka kini makin jauh dan mereka memakan apa saja yang ditanam di ladang. Selain itu, meski pemerintah terus-menerus melakukan sosialisasi agar hewan ternak selalu berada di kandang, akan tetapi kami tidak mau menurutinya, karena babi yang di gembala lebih sehat dan pertumbuhan lebih baik. Misalnya saja ketika babi sakit, rumput-rumput yang mereka makan adalah obat. 

Kedua, yakni hama, zaman dahulu, ketika tanaman diserang hama, kami melakukan ritual Adat dan hama-hama itu mampu teratasi atau hilang. Tetapi kini, meskipun kami melakukan ritual, hama-hama tetap datang dan menyebabkan gagal panen. Mulai saat itu juga masyarakat mengenal berbagai pestisida-pestisida untuk mengatasi hama-hama tanaman padi dan lainnya.

Selain itu, pohon buah-buahan lokal saat ini nyaris sulit dijumpai di Wilayah Adat. Selain karena perkebunan sawit, masyarakat juga menebangi pohon-pohon buah tengkawang menggunakan mesin sinsow (chainsaw, mesin gergaji) untuk tujuan menjual kayunya. Tidak hanya pohon tengkawang, tetapi juga tanaman cempedak, durian dan lain sebagainya. Faktor yang mendorong banyaknya buah-buahan ditebangi karena harga buah sangat rendah ketika itu bahkan sering kali tidak laku dijual. Sementara, kayu-kayu balok pohon buah-buah lokal memiliki harga jual tinggi. 

Hal yang sama juga terjadi pada pohon karet. Ketika berbagai perusahaan kelapa sawit masuk, harga karet benar-benar jatuh. Sebagian besar masyarakat menebangi pohon-pohon karet dengan harapan kelapa sawit jadi pengganti, bisa diandalkan. Namun, hal yang sama juga terulang, harga komoditas kelapa sawit menurun drastis hingga saat ini.

Sementara itu, hanya hanya wilayah kelola berupa sawah dengan tanaman padi unggul yang tersisa. Itu pun sudah menggunakan bibit unggul dan bahan pertanian kimia (pabrikan) yang sudah terjadi sejak tahun 2016. Meskipun pertanian model tersebut masa panennya singkat, dalam waktu 1 tahun bisa 3 kali panen. Namun , perlu biaya produksi yang cukup mahal, membutuhkan tenaga kerja upahan, pupuk pestisida lain sebagainya.

Di wilayah Adat kami, tanah didapatkan bukan dari hasil membeli, tidak ada istilah membeli tanah. Sungguhpun kami tidak setuju dengan pandangan sebagian orang menilai di tempat lain sumber ekonomi lebih berlimpah, mereka selalu mengatakan tanah di tempat kami gersang. Itulah sebabnya, jumlah penduduk tidak mengalami penambahan yang signifikan, banyak orang yang menikah lalu mencari wilayah lain untuk hidup dan menetap. Sementara Masyarakat Adat yang tersisa terus mengalami ancaman hingga menyerahkan tanah kepada perusahaan kelapa sawit dan  pertambangan (PT.Antam) yang sudah kembali masuk dan gencar melakukan sosialisasi. 

Salah satu Kampung yang terancam adalah kampung Sabunga. Kampung Sabunga adalah Wilayah Adat  yang diwariskan secara turun-temurun, Kampung Sebungga berada sekitar dua kilo dari pusat kecamatan Menjalint. Pada tahun 2019, Kampung Sebunga dihuni kurang lebih 60 Kepala Keluarga (KK), tetapi keluarga yang menetap di Kampung Sebunga kurang dari 50 keluarga, mayoritas tinggal di area perkebunan kelapa sawit sekaligus bekerja di perusahaan kelapa sawit. Infrastruktur jalan Kampung Sabunga rata-rata sudah beraspal, walaupun sekarang sudah banyak berlubang karena hampir setiap hari dilalui kendaraan truk besar perusahaan kelapa sawit yang lalu lalang di daerah kecamatan Menjalint. Di Kampung Sibunga, Kami mulai mengenal memperoleh uang dengan menjual tengkawang kepada peraih atau tengkulak. Tengkawang dapat diolah dan dibuat menjadi minyak. Biasanya kita jual basah atau dikeringkan terlebih dahulu. Banyaknya kebun kelapa sawit di Kalimantan Barat menyebabkan pabrik-pabrik Tengkawang tutup total. 



PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top