Pengurus Harian Daerah (PHD)

PEREMPUAN AMAN (PA) Makelega

Semenjak Oktober 2017, Perempuan Adat yang berasal dari enam (6) Komunitas Adat sepakat membentuk sebuah sarana perjuangan kedaulatan di Wilayah Adat. Komunitas Adat tersebut antara lain: Gura, Modole, Lina, Morodina, Morodai dan Mumulati. Sejumlah 36 Perempuan Adat dari enam komunitas Adat tersebut memprakarsai pertemuan dalam rangka membentuk PHD Makalega, bertempat di Tobelo Luari, Kecamatan Tobelo Utara, Halmahera Utara. Dari semua Perempuan Adat yang bergabung di PHD Makalega, paling banyak berasal dari Komunitas Adat Mumulati. Di samping itu, sebagian Perempuan Adat dari empat Komunitas Adat Morodai, Morodina, Modole dan Mumulati juga membentuk Pengurus Harian Komunitas (PHKom), hanya dua Komunitas yang tidak membentuk PHKom yaitu Komunitas Adat Gura dan Lina. 

Perempuan Adat yang bergabung dengan PHD Makelega berasal dari lima suku, suku Galela, Morodai, Morodina dan Tobelo. Sejauh ini, PHD Makalega memiliki anggota 63 Perempuan Adat yang dibagi menjadi tiga kategori usia, pemuda sebanyak 58,06% dari jumlah anggota, dewasa 33,87% dan lansia 8,06%. Anggota PHD Makelega tersebar di 18 Desa yang berada di enam kecamatan, Halmahera Utara. Enam kecamatan tersebut antara lain: Kecamatan Galela  Barat, Tobelo, Tobela Utara, Tobelo kota, Galela Selatan, dan Galela. Sedangkan nama-nama 18 Desa sebagai berikut:  Dukulamo, Gamsungi, Gorua, Gorua Selatan, Gotalamo, Gura, Gura Belakang, Igobula, Kakara, Kira, Kumo, MKCM (Morotai Klapperen Clusteren Maatschappij), Ngidiho, Popilo, Pune, Soakorona, Togawa dan Tolonuo. Anggota terbanyak berasal dari Desa Togawa, Kecamatan Galela Selatan. 

Anggota PHD Makelega memiliki berbagai pekerjaan di samping pekerjaan mengurus rumah tangga, mulai dari guru honorer dan Pekerja Negeri Sipil (PNS), operator sekolah, buruh kontrak, petani, wiraswasta dan lainnya. Dari berbagai pekerjaan tersebut, paling banyak anggota PHD Makelega bekerja sebagai guru. Selain itu, lembaga atau tokoh yang berpengaruh di komunitas, kampung atau desa antara lain” sebanyak 4,84% anggota menilai Pemangku Adat memiliki pengaruh, sedangkan tokoh agama 14,52%, kemudian pejabat/pemerintah setempat 20,63% dan Tokoh masyarakat dinilai paling berpengaruh, yakni sebanyak 29,03% dari jumlah anggota.

Di samping itu, anggota PHD Makelega juga memiliki kecakapan yang beragam dan tidak jarang satu orang memiliki kecakapan lebih dari satu kecakapan, meski terkadang kecakapan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang sekarang dijalani. Kecakapan tersebut terdiri dari, kecakapan bertani sebanyak 30,65% dari jumlah anggota, mengelola hasil pertanian/laut 27,42%, dan pengetahuan tentang benih 9,68%. Selain itu, kecakapan kader Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebanyak 17,74% dari jumlah anggota, Kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) 17,74%, tanggung jawab untuk ritual 3,23%, pernah ikut Aksi (demonstrasi) 1,61% dan kecakapan lainnya 8,06% (mengoperasikan microsoft office). 

Pengalaman Anggota PHD Makelega

Pengalaman anggota PHD Makelega menjadi pengurus organisasi sebanyak 22,58% dari jumlah anggota, meliputi pengalaman Pengurus Organisasi PKK, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Indikator Nasional Mutu (INM), Pengurus Organisasi Intra Sekolah (OSIS),  Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI ), dan lain sebagainya. 

Pengalaman mengikuti pelatihan sebanyak 14,52% dari jumlah anggota antara lain: PNPM dan PPIP, Bimtek TKD, Pramuka, Advokasi, jurnalistik Maluku Utara Pos, Bimbingan Teknis Kurikulum, Osis, Pendamping Desa, Pendidikan Pemuda Kader Adat, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan lainnya. Kemudian pengalaman menjadi bagian dari kelembagaan Adat sebanyak 3,23%, sedangkan penanggung jawab pelaksanaan ritual, upacara, perayaan di komunitas Adat 4,84%, dan pengalaman ikut aksi 4,84%. Termasuk pengalaman lainnya 11,29%, meliputi pengalaman menjahit, Mengoperasikan Microsoft Office, menganyam, Jurnalistik, mengajar, membuat kue, dan penyiar radio. 

Komunitas Adat Gura

Komunitas Adat Gura berada di Desa Gamsungi, Kecamatan Tabelo Utara. Desa Gumsungi memiliki luas 10,16 Km2 dengan jumlah penduduk 8.856 Jiwa. Batas Wilayah Desa Gamsungi di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gura atau Desa MKCM, masih masuk Kecamatan Tabelo Utara, kemudian dibagian selatan berbatasan dengan Desa Rawajaya/Desa Gosoma, Kecamatan Tabelo Tengah, sedangkan dibagian Timur berbatasan dengan Desa Kumo dekat Laut dan sebelah barat berbatasan dengan perkebunan masyarakat, hutan atau jalan pemerintah. (http://gamsungi-tobelo.desa.id/). 

Menurut sejarah yang pernah ditulis, Komunitas Adat Gura berasal dari Komunitas Adat Kao yang memiliki wilayah adat di Pulau besar Halmahera, terutama di Halmahera Utara. Halmahera utara dan timur merupakan daerah yang menjadi tujuan migrasi bangsa austronesia dan kemudian terjadi pergaulan budaya dengan penduduk setempat yakni bansga non-austronesia di wilayah kepulauan maluku. Kedua bangsa tersebut membangun pemukiman yang berdampingan di Halmahera Utara, terutama kawasan pantai. Hingga akhirnya suatu ketika terjadi bencana besar sehingga memaksa Komunitas-komunitas lari dari kawasan pantai ke pedalaman tanah Kao yakni telaga Lina dan membangun komunitas baru. (Wimbish, 1991 dalam Handoko 2014). 

Komunitas Adat Telaga Lina adalah leluhur bagi berbagai komunitas adat yang berada di Halmahera Utara. Komunitas Adat Telaga Lina dilahirkan oleh percampuran dari dua bangsa yang berbeda yakni bangsa austronesia dan non-austronesia. Telaga Lina berada di lereng gunung Rau, pedalaman, tepat berada di tengah-tengah wilayah Halmahera Utara. 

Kemudian beberapa Komunitas Adat pindah secara besar-besaran dari Komunitas Telaga Lina dan membuka pemukiman baru, misalnya saja komunitas Adat Gura pindah ke Tobelo bersama tiga komunitas adat lainnya yaitu komunitas Mumulati, Huboko dan Lina. Sedangkan sebagian komunitas berpindah ke wilayah Kao, Kao Utara, Kao Pusat, ada yang tetap di Telaga Lina dan seterusnya. Salah satu Komunitas Adat yang pindah selain empat komunitas di atas ialah Komunitas Adat Tiwilako yang pindah dari Telaga Lina ke Kao Pusat (Kao Staat). Menurut tuturan Masyarakat Adat yang berkembang, Suku Tiwilako ialah sebagai Komunitas Adat yang dianggap orang tua bagi Komunitas Adat lainnya di Tobelo. Komunitas Adat Tiwilako memiliki komitmen hidup bersama, terikat menjadi satu, jangan terpisah, hidup bersama dan makan bersama, jika berpisah bersama-sama. (Papilaja, 2011  dalam Handoko dkk, 2014). 

Secara umum, Komunitas Adat di Tobelo memiliki struktur sosial yang sederhana dan kehidupan yang mengutamakan kolektivitas keluarga (hoana). Dalam satu struktur komunitas Adat terdiri dari empat Komunitas Adat dan salah satunya sebagai inti. Karena itu juga, orang Ternate menyebut diri mereka “manusia soa raha” (empat dari empat rumah atau empat keluarga). (Amal, 2010; Naping, 2013, dalam Handoko 2014). 

Keberhasilan dan Masalah yang dihadapi PHD Makelega

Kegiatan atau inisiatif kebun pangan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan di PHD Makelega, termasuk di Komunitas Adat yang ada di dalamnya. Akan tetapi, kebun kolektif di beberapa Komunitas Adat tertimpa banjir dan binatang ternak warga yang dibiasakan berkeliaran sehingga merusak dan memakan tanaman, seperti yang terjadi di Komunitas Morodina. Oleh sebab itu, tidak semua Komunitas Adat bisa menjalankan kebun pangan kolektif secara berkelanjutan. Komunitas Adat yang nyaris tidak mengalami kendala ialah Komunitas Adat Mumulati, PHD Makelega dan komunitas lainnya. Di Komunitas Adat Mumulati misalnya, kebun pangan kolektif masih terus berjalan dan cukup menghasilkan. Tanaman yang di tanam berupa Kasbi (singkong kayu), buah naga, dan jagung.

Untuk mendorong dan membuka lebar gerakan kebun pangan secara kolektif dan pengembangan keterampilan, PHD Makelega sempat mengadakan workshop pertanian pangan. Dalam workshop tersebut turut mengundang Dinas pertanian dan workshop tersebut tidak hanya untuk Perempuan Adat melainkan terbuka untuk umum. Banyak yang terlibat dalam workshop tersebut dan juga banyak warga yang langsung mempraktikkan pengetahuan yang didapat dari workshop, alhasil kebun yang dikelola warga cukup menghasilkan dan lebih produktif. Di samping workshop tentang Pangan, secara bersamaan PHD Makelega juga mengadakan workshop tentang pelecehan seksual dan perlindungan anak di bawah umur dari pelecehan seksual dan kekerasan. Dalam workshop ini, PHD Makelega mengundang Komisi Perlindungan anak dan Perempuan. 

Kegiatan yang sifatnya rutin, selain kegiatan berkebun pangan, PHD Makalega juga telah berhasil mendorong pembentukan Pengurus Harian Komunitas, komunitas adat Morodina, Modole, Mumulati dan Morodai. Di tahun ini, rencananya akan dibentuk PHKom baru, yakni komunitas Lina, Gura dan komunitas Adat Boeng yang berada di Kecamatan Kao. PHD Makelega mempunyai agenda yang rutin yakni memperkenalkan PEREMPUAN AMAN secara terus menerus dan mendorong pembentukan Komunitas Adat. 

Pembentukan Wilayah Pengorganisasian (WP) tidak secara tiba-tiba, perlu ada suatu kegiatan yang disepakati bersama dan juga dilakukan bersama. Seperti yang sebelumnya pernah dilakukan oleh PHD Makelega di Komunitas Adat Morodina sebelum Komunitas Adat Morodina dan komunitas lainnya membentuk PHKom, PHD Makelega bersama Perempuan Adat Morodina melakukan konsolidasi sembari menanam padi bersama.  Selain itu, PHD Makelega juga sudah melibatkan calon WP yaitu Komunitas Adat Morodina, Mumulati, Gura dan Lina dalam diskusi atau dialog bertema “meningkatkan Kapasitas Perempuan Adat dan meningkatkan kedaulatan pangan” di Tobelo. 

Upacara Adat Komunitas Adat Gura

Komunitas Adat Gura berada wilayah di pesisir atau pantai, komunitas Adat Gura memiliki sebuah upacara adat yang dikenal dengan Upacara Falaor atau Pariaman. Upacara ini dilakukan setiap tahun pada bulan Mei dan dilakukan di pantai menyambut musim ulat atau kakara, semacam ikan teri yang menjadi sumber protein bagi komunitas adat yang berada di PHD Makelega. Upacara Pariaman ini merupakan sebuah ekspresi rasa syukur atas kelimpahan ikan falaor. Setiap orang membawa aya-aya sebagai alat tangkap yang digunakan untuk mendapatkan Falaor atau ulat laut. Sebelum menangkap ikan secara bersama-sama, upacara ini diawali dengan tari-tarian yang disebut dengan tari salumbe, tarian ini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Falaor atau ulat laut biasanya di konsumsi dengan terlebih dahulu di masak yang dicampur menggunakan kelapa parut atau hanya di jemur di atas terik matahari di atas wadah atau alas tempurung kelapa dan bisa langsung dimakan. 

Wilayah kelola PHKom Morodina 

Kebun merupakan salah satu wilayah kelola PHKom Morodina, terdapat banyak tanaman yang menjadi sumber konsumsi sehari-hari dan pendapatan uang tunai. Di kebun, tanaman dibagi menjadi tanaman tahunan dan bulanan. Tanaman tahunan berupa kelapa, pala, cengkeh, aren dan lain sebagainya. Sedangkan tanaman bulanan terdiri dari kacang, tomat, Jagung (Tongkol/lokal), sayuran, umbi-umbian (ubi kayu/kasbi, batatas/ubi jalar), cabai dan lain sebagainya. 

Selain kebun, wilayah kelola PHKom Morodina juga termasuk ladang, tanaman utama di ladang yaitu padi, terutama padi Galela. Jenis padi lokal yang ditanam dua kali dalam setahun, biasanya musim tanam dilakukan pada bulan Desember dan Agustus. Setiap keluarga memiliki bibit yang sengaja disisihkan dari hasil panen sebelumnya dan sering kali satu keluarga dengan keluarga lainnya saling meminjam bibit ketika kekurangan bibit. Selain padi, di ladang juga terdapat umbi-umbian, buah semangka, tomat, rica/cabai, tebu, pohon aren, bobotene (semacam gandum) dan seterusnya. 

Bobotene merupakan salah satu tanaman istimewa Halmahera, karena bahan baku yang membuat makanan wajik yang enak, bahan baku membuat wajik yakni bobotene, gula aren dan kelapa. Wajik dibuat sebagai salah satu hidangan yang diharapkan semua orang disela-sela waktu istirahat saat panen padi ladang. Selain hidangan wajik, padi biasanya dipanen berbarengan dengan buah semangka, tebu dan juga bobotene, pisang, batatos dan lain sebagainya. Berbagai tanaman tersebut menambah semangat di kala sedang panen padi, orang yang membantu panen sering kali dipersilahkan memanen tanaman lainnya, untuk di cicipi atau dibawa pulang.

Pada dasarnya, tidak ada batasan jenis tanaman apa yang ditanam di kebun maupun di ladang atau di wilayah kelola komunitas Adat Morodina. Prinsip berkebun dan ladang, di samping tanaman utama, ada berbagai jenis tanaman yang bertujuan untuk mencukupi segala kebutuhan sendiri terlebih dahulu, setelah itu berbagi dengan saudara dan tetangga. Akan tetapi, di samping itu tetap menghasilkan uang, untuk mendapatkan uang sering kali Perempuan Adat secara langsung menjual hasil bercocok tanam di pasar, terutama sayuran. Uang tunai juga bisa didapatkan dari hasil tanaman kelapa, cengkeh, pala, dan aren. Terutama aren yang diolah sendiri menjadi gula dan cenderung menghasilkan karena harganya cukup stabil dan pasarnya mudah. 

Selain pengetahuan berkebun dan ladang, Perempuan Adat juga memiliki pengetahuan sekaligus keahlian membuat anyaman menggunakan bahan yang disebut daun kulewe, semacam daun pandan hutan. Kelewe diolah menjadi bahan anyaman membuat berbagai barang, seperti tikar, nyiru (tampian/alat rumah tangga berbentuk bundar). Aya-aya, termasuk barang pajangan. Tanaman kulewe merupakan tanaman liar yang tumbuh di hutan atau di kebun dan ladang. Namun, belakangan ini tanaman tersebut sudah dibudidayakan oleh banyak orang.  Membuat anyaman sangat identik dengan pekerjaan perempuan, yang dikerjakan disela-sela waktu mengurus rumah, keluarga, kebun, ladang dan aktivitas sosial lainnya. 

Kerajinan berupa tikar yang dibuat oleh Perempuan Adat lekat dengan nilai kultural Komunitas Adat Morodina, karena tikar ini menjadi atribut yang penting pada acara pernikahan dan kematian. Pada acara pernikahan, tikar, cindra mata dan lainnya merupakan barang-barang yang mesti ada pada acara pernikahan. Selain itu, ketika ada yang meninggal, seorang anak atau menantu wajib menyediakan tikar yang menjadi pembungkus kedua setelah kain kafan, tikar ikut dikubur bersama mayat. Akan tetapi, belakangan ini tidak banyak yang membuat tikar dan barang-barang anyaman lainnya. Selain karena bahan baku yang sudah mulai berkurang, waktu Perempuan Adat banyak tersita pada pekerjaan lain, mengurus rumah tangga, kebun, ladang, berjualan sayuran di pasar dan lain sebagainya. Sudah jarang yang membuat anyaman, Akibatnya kini harga kerajinan anyaman cukup mahal, dalam satu tikar dengan lebar 2 meter dan panjang 3 meter orang berani membayar 2 juta bahkan lebih. Satu tikar dengan ukuran tersebut dibuat dalam waktu paling lama satu bulan, yang dikerjakan disela-sela waktu pekerjaan lain.

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top