Pengurus Harian Daerah (PHD)

PEREMPUAN AMAN (PA) Deli

Wilayah Pengorganisasian PHD Deli berada Kabupaten Deli Serdang,  Sumatera Utara. Persebaran anggota PHD Deli tersebar di tiga Desa yakni Desa Percut, Desa Saentis dan Desa Sampali. Desa tersebut berada tiga di Kecamatan, yaitu Kecamatan Percut Sei Tuan, Medan Tembung dan Hamparan Perak. Sementara itu, terdapat tiga Komunitas Adat yang bergabung dengan PHD Deli, yakni Komunitas Adat Kampung Tampak Bayak (Saentis), Komunitas Adat Klambir dan Kampung Adat Sampali. Sedangkan Anggota PHD Deli berasal dari sebelas (11) suku yang berbeda-beda, yaitu suku Batak Toba, Melayu, Batak, Nias, Karo Melayu, Aceh, Jawa, Padang, India, Mandailing dan Tapanuli. 

Desa Saentis adalah salah satu Desa yang telah mendapat pengakuan Masyarakat Adat secara legal formal, terbukti dari dikeluarkanya Surat Keterangan Keberadaan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu dan Wilayah Adat di Nomor 471.11/678/SK/2020. Pengakuan tersebut bukanlah suatu capaian yang didapatkan dengan hanya berpangku tangan, namun hasil dari perjuangan yang keras dan terus-menerus dilakukan oleh Perempuan Adat. Pengakuan tersebut tidak lepas dari keterlibatan Perempuan Adat, yang sedari awal terlibat dalam mengumpulkan data pendukung sebagai bagian dari syarat utama pengakuan, hingga upaya konsolidasi dengan Masyarakat Adat dan berbagai pihak. Termasuk AMAN (Aliansi Masyarakat Adat) dan PHD PEREMPUAN AMAN Deli. 

Sejak 2016, PHD Deli didirikan oleh sejumlah 35 Perempuan Adat sebagai sarana perjuangkan hak Perempuan Adat dan pengakuan Masyarakat Adat. Kemudian PHD Deli secara resmi disahkan melalui Rakernas (Rapat Kerja Nasional) yang dilaksanakan pada 2016. Meskipun pertambahan jumlahnya tidak signifikan namun tercatat saat ini total jumlah anggota dalam kepengurusan PEREMPUAN AMAN PHD Deli sebanyak 49 Perempuan Adat, kenaikannya dalam kurun waktu 4 tahun hanya sebesar 7%. 

Akan tetapi, PHD Deli dan Masyarakat Adat Deli Serdang cukup aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan yang di fasilitasi oleh PEREMPUAN AMAN, termasuk beberapa kegiatan penggalian data: SDGs (Sustainable Development Goals) , GBV (Gender Based Violance), dan Tenure Facility. Seluruh kegiatan yang di fasilitasi oleh PEREMPUAN AMAN secara tidak langsung berdampak pada masyarakat Deli. Di antaranya sebanyak 36 orang di Tampak Bayan terlibat penggalian data SDGs dan 44 orang dari Percut, Saentis, Kelambir, Sampali terlibat penggalian data GBV. Berdasarkan 49 anggota tersebut, jika di jabarkan lebih detail berdasarkan kelompok usia, sebanyak 51% termasuk dalam kategori usia dewasa, 22,4% pemuda, dan 18,4% lansia. 

Anggota PHD Deli sebagian besar memiliki “kecakapan bertani”, yakni sebanyak 57,14% dari jumlah anggota dan sebanyak 37,50% memiliki kecakapan “mengolah hasil pertanian/laut”. Sementara itu, pengalaman yang dimiliki anggota PHD Deli sebagian besar pernah terlibat dalam aksi demonstrasi sebanyak 58,93% dari total anggota, sedangkan anggota yang mempunyai pengalaman menjadi pengurus organisasi sebanyak 5,36% dan 3,57% menjadi pengurus Adat. 

Selain itu, kelompok-kelompok Perempuan yang berada di komunitas atau Desa di PHD Deli antara lain: organisasi keagamaan sebanyak 50,00%, kemudian Pengurus Adat 14,29%, kelompok arisan sebanyak 12,50% dari jumlah anggota, dan hanya 2,57% kelompok arisan tenaga. Kemudian kelompok atau tokoh yang berpengaruh di komunitas atau Desa sebagai berikut: tokoh masyarakat  yakni 51,79%, pemangku Adat sebanyak 35,71%, dan pejabat setempat 3,57% 

    • Aktivitas Kebun kolektif

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, perempuan adat memiliki usaha komunal/kolektif yang dilakukan bersama komunitas atau antar kelompok dalam komunitas. Upaya ini bertujuan menciptakan kedaulatan pangan bagi Perempuan Adat. Karena itu, kebun kolektif dan sawah kolektif dibangun sebagai wujud dan kehendak Perempuan Adat untuk menjawab persoalan.  Cita-cita kedaulatan pangan mendapat dukungan berupa mesin pembajak sawah mini (Jetor).

Meskipun sebagian besar Masyarakat Adat tidak pernah merasa kekurangan atau kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama pangan. Akan tetapi, sebagian Perempuan Adat di komunitas yaitu sebanyak 44,4% menyatakan terkadang mengalami kekhawatiran akan tidak adanya pangan karena tidak ada uang. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Perempuan Adat sudah  mulai bergantung pada sumber pendapatan uang tunai.

Namun, kenyataannya sebanyak 58,3% responden menyatakan tidak pernah memutuskan tidak makan karena kurangnya uang. Pernyataan responden mengenai sumber pendapatan uang keluarga, bahwa sebanyak 58,3% responden menyatakan sering menjadikan kebun sebagai sumber pendapatan uang keluarga dan sebanyak 63,9% responden memanfaatkan ladang. Kemudian sebanyak 61% memanfaatkan sawah, sebanyak 55,6% memanfaatkan usaha kerajinan sebagai sumber pendapatan uang tunai, meskipun masing-masing keluarga membuat kerajinan dengan intensitas jarang.

Kepemilikan lahan di PHD Deli  berdasarkan data, terdapat 27,8% responden menyatakan memiliki sawah, sebanyak 33,3% responden menyatakan memiliki kebun, dan sebanyak 52,8% menyatakan memiliki ladang. Masyarakat memiliki lahan dengan ukuran yang beragam dan merupakan kepemilikan keluarga. Kepemilikan lahan di komunitas cenderung rendah, hal tersebut merupakan salah satu alasan masyarakat di komunitas memiliki kekhawatiran terhadap pemenuhan pangan.

    • Sumber Mata Air

Pemenuhan kebutuhan akan air bersih di komunitas diperoleh dari beberapa sumber, di antaranya adalah mata air dan ledeng meteran. Saat  musim panas, sebanyak 58,3% responden di komunitas menyatakan sering membeli air isi ulang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, dan beberapa responden lain menyatakan memanfaatkan mata air, sumur, sungai, air hujan, dan membeli air kemasan bermerk dengan intensitas yang jarang. Saat musim hujan, sebanyak 69,4% responden menyatakan sering memanfaatkan mata air, dan sebanyak 50% responden air hujan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air bersih. Serta beberapa responden lain menyatakan memanfaatkan ledeng, sumur, sungai, dan membeli air kemasan isi ulang. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim hujan ketersediaan air di  komunitas memadai dengan memanfaatkan mata air dan air hujan tanpa harus membeli dari pihak lain. Sedangkan saat musim panas, kebutuhan air bersih diperoleh dengan membeli air.

    • Sumber Energi

Pemanfaatan sumber energi dalam kehidupan sehari-hari di komunitas mayoritas dipenuhi dengan membeli dari pihak lain dan diperoleh dari hasil kebun/hutan. Sebanyak 88,9% responden di komunitas menyatakan memanfaatkan Liquefied Petroleum Gas (LPG) ukuran 3 kilogram sebagai bahan bakar memasak keluarga, selain itu sebanyak 33,3% responden di komunitas menyatakan memanfaatkan kayu bakar/kayu api sebagai bahan memasak keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas atau sebagian besar Masyarakat Adat di Tampak Bayan tidak bergantung pada hasil hutan/kebun di sekitar wilayah adat mereka dalam hal pemenuhan sumber energi atau bahan bakar memasak di keluarga.

    • Bahasa, Agama dan Kepercayaan Leluhur

Bahasa merupakan salah satu aset penting yang harus tetap dijaga oleh Masyarakat Adat setempat. Di Komunitas Adat Tampak Bayan hanya sebagian kecil responden di komunitas atau sebanyak 38,9% yang menyatakan masih menggunakan Bahasa Adat dalam komunikasi sehari-hari. Sebanyak 11,1% menyatakan tidak menggunakan Bahasa Adat dan sisanya 50% tidak menjawab. Walaupun begitu, Bahasa Adat diajarkan dalam pendidikan formal, sebanyak 41,7% responden di komunitas menyatakan hal tersebut. Demikian menunjukkan peran pemerintah Daerah yang masih menganggap penting budaya Adat.

    • Representasi dan Partisipasi Perempuan

Representasi Perempuan Adat dalam ranah publik maupun politik dapat juga dilihat keterlibatan Perempuan Adat dalam kepemimpinan formal maupun non formal. Namun, di Komunitas Tampak Bayan keterlibatan dalam berbagai kegiatan organisasi mayoritas pemimpin laki laki atau sebanyak 90,9% responden di komunitas menyatakan bahwa kedudukan mereka di organisasi adalah sebagai anggota. Perempuan Adat di komunitas banyak terlibat dalam kegiatan umum yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Selain itu, dalam kegiatan pembangunan, sebagian responden di komunitas atau sebanyak 22,2% menyebutkan bahwa di Wilayah Adat terdapat pembangunan infrastruktur dalam 5 tahun terakhir. Namun Perempuan Adat tidak pernah dilibatkan secara formal dalam penyusunan dan perencanaan pembangunan di wilayah Adat. Padahal berdasarkan data yang ada sebanyak 59,2% Masyarakat Adat masih memiliki rasa percaya terhadap tokoh masyarakat dan sebanyak 40,8% mempercayai pemangku adat sebagai kelompok yang berpengaruh di wilayah mereka.

    • Sejarah Perlawanan Perempuan Adat

Perempuan Adat Kampung Percut Saentis dan Rakyat Penunggu menyimpan bekas luka dan kisah-kisah kekerasan yang harus mereka hadapi dalam perjuangan melindungi tanah, keluarga dan rumah. Bahkan rela melakukan apa pun untuk mempertahankan Tanah Adat, yang sejak dahulu menjadi ruang hidup kami. Nenek moyang kami selalu bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah dari sisi hutan satu ke sisi hutan lainnya, atau yang biasa mereka sebut dengan tradisi berladang Reba.

Namun sejak penjajah Belanda menguasai Wilayah Adat, Masyarakat Adat tidak punya lahan lagi untuk ladang berpindah, karena ladang di tanami tembakau. Masyarakat Adat ibarat tanaman benalu di areal perkebunan Belanda, ketika perkebunan Belanda usai panen, Masyarakat Adat mencuri-curi kesempatan untuk menanam dalam waktu yang relatif singkat.

Di masa Indonesia merdeka, harapan utama Masyarakat Adat yakni kembali mengelola Tanah Adat.  Namun kekuasaan berpindah tangan ke Negara Indonesia yang kala itu baru merdeka. Seluruh tanah Adat, termasuk kebun tembakau milik Belanda itu lalu dinasionalisasikan dan menjadi milik PT. Perkebunan Nusantara II. 

Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sejak itu dilarang keras menanam di lahan terebut. PTPN dan preman-preman yang disewa Perusahaan tidak segan membakar rumah dan ladang warga, mengintimidasi, menangkap dan melukai. Sering kali Masyarakat Adat berbondong-bondong masuk ke lahan yang sudah dikuasai PTPN, bertanam dan mendirikan rumah yang kemudian berujung pada pengusiran. Pada tahun 1995, sekitar 200 masyarakat Adat masuk ke wilayah yang telah dikuasai PTPN dan menanam jagung dan kacang di lahan tersebut.

Saat tanaman kami sudah mulai tumbuh tinggi, preman-preman PTPN II merusak dan membabat habis semua tanaman kami dan kami diusir secara paksa. Banyak yang ketakutan dan memutuskan untuk  pergi. Tersisa sekitar 100 dari kami yang masih bertahan karena tidak ada lagi pilihan lain.

Perjuangan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu melalui BPRPI tak kunjung menyelesaikan konflik agraria dengan PTPN dari tahun ke tahun. Namun belum ada hasil memuaskan yang bisa menjawab tuntutan. Kantor malah BPRPI pernah dibakar holeh PTPN, alat-alat berat didatangkan untuk meluluhlantakkan semua rumah dan perkebunan yang sudah dibangun warga.

Konflik malah terulang kembali di tahun 1996 dan 1997, preman-preman PTPN 2 tidak hanya membakar tanaman. Akan tetapi konflik secara fisik juga terjadi antara warga dengan preman, bahkan korban dari bentrokan itu salah satunya seorang ibu hamil mengalami luka-luka setelah di dorong hingga jatuh beberapa kali. Selain itu ada juga yang di pukul hingga giginya patah dan masih banyak lagi yang terluka dan harus larikan ke rumah sakit. 

Satu dari sekian banyak warga yang dikriminalisasi seorang ketua kampung Percut Saentis, yang sempat dikriminalisasi hingga dipenjara 10 tahun karena perlawanannya terhadap PTPN II. Begitu juga dengan warga yang bermukim di lahan perkebunan tidak lantas membuat perjuangan menjadi mudah. Di tahun 2007 beberapa warga masih mendapatkan serangan-serangan intimidatif yang dilakukan oleh pihak PTPN II. Bahkan hingga tahun 2012, seorang warga yang membangun rumah di tanah adat kami didatangi beberapa anggota PTPN II.

Sejumlah 27 kampung yang menjadi tempat tinggal masyarakat adat Rakyat Penunggu, kami kelompok perempuan adat Rakyat Penunggu ini saya sering merasa kami ini seperti lebah yang setia kawan. Kalau ada sarang lebah lain yang diserang atau membutuhkan bantuan maka kami segera berbondong-bondong membantu. Kami hadang alat-alat berat yang dibawa masuk ke lahan adat kami. Apa yang kami perjuangkan ini penting bagi kami, walaupun kami harus mati di atas tanah adat kami. 

Perempuan Adat mempunyai peran penting dalam berbagai upaya perjuangan tanah adat. Salah satunya menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah, sehingga salah satu capaiannya, Kampung Percut Saentis akhirnya mendapatkan pengakuan tentang keberadaan masyarakat adat Rakyat Penunggu di kampung Percut Saentis. Proses pengakuan itu berlangsung dari tahun 2020 hingga 2021. selain itu, Perempuan Adat juga besar andilnya dalam mengorganisir diri untuk membuat kebun kolektif dalam upaya kedaulatan pangan di Kampung, terutama selama masa pandemi covid 19. 

    •  Ancaman Baru  di Depan Mata

Tanah Adat kini terancam digusur demi pembangunan perusahaan Ciputra Group yang diberi nama proyek Deli Megapolitan. Proyek mendirikan komplek perumahan dan kawasan industri premium di atas tanah Adat masyarakat Rakyat Penunggu. Proyek yang telah dirancang sejak tahun 2011 dan akan mulai bisa dibangun pada 2021 ini merupakan kerjasama PTPN II dan Ciputra Group yang akan dibangun di atas tanah seluas 8.077 hektar dan akan menelan biaya sekitar 128 triliun rupiah. Kami tetap berharap bahwa UU Masyarakat Adat segera disahkan lalu tanah adat kami ini bisa menjadi rumah dan sumber hidup bagi anak-anak kami. Mimpi kami adalah kami bisa hidup tanpa gangguan perusahaan-perusahaan apapun lagi. 

PEREMPUAN AMAN

AMAN

PEREMPUAN AMAN

AMAN

Scroll to Top